Senin, 29 Juni 2009

KEKERASAN ANAK JALANAN SEBAGAI DAMPAK PENYIMPANGAN FUNGSI SOSIAL MASYARAKAT

(Analisis Kasus Kekerasan Anak Jalanan di Sanggar Pelangi)

By. Antonius Agus Sumaryono

Pendahuluan

Banyak perhatian ditujukan kepada anak jalanan. Setiap hari media massa di kota Malang menyuguhkan tentang kejahatan. Sebagian besar diantaranya melibatkan anak kecil sebagai korban kejahatan. Beranjak dari keprihatinan ini, kelompok mencoba untuk menganalisis masalah kekerasan anak untuk mencapai objektivitas dan mendapat fakta tentang kekerasan pada anak.
Tindak kekerasan bukan lagi menjadi suatu realitas yang dirahasiakan. Dewasa ini banyak terjadi tindak kekerasan dalam masyarakat, keluarga, maupun dalam suatu institusi-institusi tertentu, baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Tindak kekerasan terhadap anak jalanan merupakan salah satu bentuk kekerasan yang kurang mendapat perhatian dari banyak pihak. Bahkan, kekerasan itu dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah yang mulai melenceng dari fungsinya. Selain itu, kekerasan terhadap anak jalanan juga sebagian besar dilakukan oleh keluarga atau kerabat dekat si anak.
Analisis pertama kelompok berpijak dari hipotesa hubungan antara kemiskinan dan kekerasan terhadap anak jalanan. Semakin tinggi tingkat kemiskinan semakin tinggi tingkat kekerasan. Pemicu kekerasan karena faktor kemiskinan ini lebih dominan karena keadaan perekonomian keluarga. Faktor keadaan perekonomian keluarga menjadi alasan utama, akan tetapi masih ada faktor-faktor lain yang juga menjadi sebab terjadinya kekerasan.
Untuk mempersempit sudut pandang pendalaman terhadap anak jalanan, disini hanya akan dipaparkan tentang tindak kekerasan yang dialami anak jalanan yang ada di Sanggar Pelangi sebagai sebuah institusi sosial. Kebanyakan anak jalanan yang ada di Sanggar Pelangi adalah mereka yang masih mempunyai orang tua, keluarga dan sebagian besar dari mereka memilih turun ke jalanan karena pilihan.

Tujuan penelitian

1. Penelitian ini kami lakukan karena semakin maraknya tindakan kekerasan yang terjadi pada anak jalanan.
2. Mengidentifkasi dan memberikan gambaran terhadap bentuk-bentuk kekerasan yang dialami anak jalanan yang ada di Sanggar Pelangi Malang.
3. Untuk mengetahui terjadinya kekerasan pada anak jalanan berhubungan dengan faktor-faktor penyebabnya baik secara individual maupun struktural (struktur sosial).
4. Sebagai ajakan untuk menanamkan tanggungjawab dan perhatian terhadap anak jalanan.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan kelompok dalam penelitan ini adalah metode deskriptif melalui quisioner, wawancara dan studi pustaka. Tujuannya ialah mempelajari masalah kekerasan yang timbul seiring dengan perubahan sosial. Sejauh mana indiviu dan sistem sosial mempengaruhi fenomena kekerasan anak jalanan.
Kelompok memilih sample di daerah Lowokwaru yang mewakili masyarakat perkotaan Malang. Lowokwaru dianggap memiliki variable yang cukup seimbang dalam hal komposisi penduduk miskin dan kaya. Sedangkan untuk penelitian kekerasan anak jalanan dipilih Sanggar Pelangi. Sanggar ini menjadi rumah singgah dan pusat rehabilitasi anak jalanan daerah Lowokwaru. Setelah konsultasi dengan pengurus Sanggar, kami memilih 17 orang untuk dijadikan responden yang mewakili populasi anak jalanan dengan standar kehidupan dibawah UMR kota Malang. Dari 17 responden dianggap mewakili variasi kekerasan yang terjadi di kota Malang. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah metode quisioner, lalu dilanjutkan dengan wawancara dengan anak atau pengurus Sanggar jika ada yang perlu penyelidikan lebih lanjut. Yang terkait dengan sistem sosial dan kekerasan kami menggunakan studi pustaka.
UU No. 4 tahun 1979 mengatakan bahwa yang dikategorikan anak ialah mereka yang berusia dibawah 21 tahun. Maka responden yang kami gunakan ialah usia 10–15 tahun yang dianggap sangat labil dalam kekerasan dan perlu mendapat perhatian lebih karena usia seperti itu sangat kondusif dengan tindak kekerasan, krisis identitas, sulit menyesuaikan diri, konflik mental dan menjadi objek kekerasan baik secara fisik maupun mental.
Untuk mengetahui latar belakang tingginya tindak kekerasan terhadap anak jalanan, diadakan pendekatan individual dan struktural. Dalam pendekatan individu, individu menjadi pemicu kekerasan yang ada terjadi atasnya. Sedangkan pendekatan sistim lebih pada bagaimana sistim sosial membuat dan melanggengkan kekerasan. Dalam penelitian diketemukan bahwa ada refleksi diri antara tindakan anak dengan kekerasan yang dialaminya. Sedangkan dalam lingkup lebih tinggi lagi terjadi antara tingginya kekerasan terhadap anak jalanan diakibatkan adanya kepincangan sistim sosial artinya fungsi-fungsi sosial tidak berjalan dengan semestinya. Pranata keluarga ditekan dan dipengaruhi oleh struktur ekonomi yang akhirnya memicu kekerasan terhadap anak.

Kerangka konsep
1.1 Anak jalanan

Untuk memberikan pengertian dan memperjelas tentang masalah anak jalanan, maka perlu kiranya dikemukakan terlebih dahulu pengertian anak jalanan. Menurut Ilsa (1996) anak jalanan adalah anak-anak yang bekerja di jalanan. Studi yang dilakukan oleh Soedijar (1989/1990) menunjukkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berusia antara 7–15 tahun yang bekerja di jalanan dan dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan dirinya sendiri. Sementara itu, Direktorat Bina Sosial DKI menyebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berkeliaran di jalan raya sambil bekerja mengemis atau menganggur saja.
Hasil temuan lapangan yang diperoleh Panji Putranto menunjukkan bahwa ada dua tipe anak jalanan, yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan antara kedua kategori ini adalah kontak dengan orang tua. Mereka yang bekerja masih memiliki kontak dengan orang tua sedang yang hidup di jalanan sudah putus hubungan dengan keluarga. Hal ini sejalan dengan kategori anak jalanan menurut Azas Tigor Nainggolan menunjukkan ada tiga kategori anak-anak yang bekerja di jalanan. Pertama, anak-anak miskin perkampungan kumuh yaitu anak-anak kaum urban yang tinggal bersama orang tuanya di kampung-kampung yang tumbuh secara liar di perkotaan. Kedua, pekerja anak perkotaan yaitu mereka yang hidup dan bekerja tetapi tidak tinggal bersama orang tua. Kategori ketiga, adalah anak-anak jalanan yang sudah putus hubungan dengan keluarga. Kelompok akan lebih menyoroti anak jalanan kategori pertama dalam hubungannya dengan kekerasan anak.
Anak jalanan adalah sebutan bagi anak-anak yang turun ke jalanan karena adanya situasi dan keprihatinan tertentu, termasuk situasi dalam keluarga dan keprihatinan seorang anak terhadap situasi keluarga mereka. Akan tetapi, pengertian ini tidak terbatas pada mereka yang tidak mempunyai orang tua maupun mereka yang lepas dari tanggung jawab orang tua. Banyak anak jalanan yang masih mempunyai keluarga bahkan tidak sedikit dari mereka yang masih berada dalam tanggung jawab orang tuanya. Mereka memilih turun ke jalanan karena kesadaran mereka akan situasi keluarga yang tidak mampu maupun karena anak merasa terpaksa meninggalkan keluarga mereka yang tidak mendukung keberadaannya untuk tetap tinggal di rumah, misalnya, keluarga yang broken home.

1.2 Kekerasan anak jalanan

Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari kelompok. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk dimana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering dilanggar.
Anak jalanan seharusnya masih berada di sekolah tetapi mereka telah menjalani kehidupan jalanan untuk mencari nafkah. Anak-anak ini tidak dapat mengakses pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal dalam hal ini termasuk pendidikan keluarga. Sudah menjadi tugas orang tua untuk memberikan pendidikan dan perlindungan kepada orang tua. Tetapi jika menilik latar belakang kepergian anak-anak tersebut meninggalkan rumah orang tuanya karena kekecewaan terhadap pendidikan sekolah atau kekerasan yang dilakukan orang tua.


Hasil penelitian

Untuk dapat menangani lebih lanjut kekerasan terhadap anak jalanan kita perlu melihat akar kekerasan itu. Disini, kami mencoba menganalisa beberapa faktor yang menurut kami dominan sebagai penyebab terjadinya kekerasan. Menurut .... bahwa kekerasan anak jalanan terjadi karena ketidakstabilan ekonomi, nilai sosial dan norma sosial. Kelompok menambahkan bahwa ada penyebab lain yang perlu digunakan sebagai jalan pendekatan yakni : faktor individu itu sendiri, faktor keluarga, kekerasan karena kemiskinan, dampak media massa, nilai sosial, norma sosial, kebijakan pemerintah.

1.3 Faktor Indinvidu

Selain faktor luar, kami memiliki hipotesa bahwa pribadi anak sendiri memicu tindak kekerasan terhadap si anak. Tetapi sejauh mana hal itu terjadi? Kami akan meneliti dengan pendekatan Hagedorn berkenaan dengan teori sosialisasi.
Sosialisasi keluarga menentukan seluruh dimensi eksistensi anak. Banyak anak yang mengalami kekerasan mengatakan bahwa orang tua mereka galak, kasar, dan sering memukul atau membentak dengan kata-kata kotor. Banyak anak yang menjadi objek kekerasan memiliki perilaku yang kurang lebih sama dengan orang tua dan lingkungannya yang keras. Dibandingkan dengan anak Sanggar lainnya yang tidak termasuk anak jalanan di Sanggar Pelangi, mereka lebih agresif dan lebih suka mencari hiburan dari pada belajar atau bekerja. Hal itu terjadi sebagai pengidentifikasian dari orang tua sebagai figur utama sosialisasi awal.
Pengidentifikasian diri terhadap indisipliner ini menjadikan anak berperilaku seperti orang tuanya. Kebiasaan tidak disiplin dan cenderung malas-malasan memicu orang untuk melakukan tindakan kekerasan. Dalam penelitian kami anak dipukul dicubit dijewer dimaki dan disuruh pergi dari rumah saat mereka: bermain 8 orang (47,06%), tidak mengerjakan tugas seperti: cuci piring, cuci pakaian, menyapu, membersihkan rumah, belanja dll 4 orang (23,53%), nonton TV 3 orang (17,67%), dan tanpa sebab 2 orang (11,74%). Padahal sifat ini sama dengan yang dilakukan orang tua yang memiliki etos kerja rendah. Ini membuktikan indikasi sifat negatif dari sosialisasinya dengan keluarga memicu kekerasan dalam relasinya yang lebih luas dalam masyarakat.

1.4 Faktor Struktur Sosial
1.4.1 Keluarga “Broken Home”

Keluarga yang kurang harmonis “Broken Home” memunculkan terjadinya anak jalanan. Munculnya anak jalanan pertama-tama dilihat dari bagaimana kehidupan mereka dalam keluarga. Keluarga broken home bisa terjadi antara lain:
a) Hubungan bapak dan ibu yang kurang baik
Hubungan bapak dan ibu yang kurang baik merupakan salah satu faktor dari timbulnya anak jalanan, karena anak kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari keluarga. Kurang baiknya relasi bapak dan ibu yang terjadi pada anak jalanan di Sanggar Pelangi menjadi penyebab, mengapa mereka lebih memilih menjadi anak jalanan. Dari hasil penelitian quisioner anak jalanan di Sanggar Pelangi hubungan bapak dan ibu kurang baik dikarenakan poligami ada 4 orang (23,53%), bapak tidak bekerja tetap ada 11 orang (64,71%), orang tua bercerai ada 2 orang (11,76%).
Pertengkaran antara bapak dan ibu menyulut kemarahan emosional mereka, karena kemarahan orang tua yang tidak tersalurkan ini berimbas pada anak, sehingga anak menjadi korban dari pertengkaran yang dialami oleh orang tua karena bapak atau ibu yang sedang marah tidak pernah pergi dari rumah melainkan menjadi penyalur kemarahan. Dalam hal ini, anak seolah-olah hanya sebagai obyek dari kemarahan mereka. Pertengkaran bapak dan ibu memberikan tendensi buruk bagi anak untuk betah tinggal di rumah, akibatnya anak akan lebih banyak meluangkan waktunya di luar rumah.
Kekerasan dalam keluarga
Kekerasan dalam keluarga juga membawa dampak dari meningkatnya anak jalanan. Kekerasan dapat membuat anak menjadi takut dan enggan tinggal di rumah dan akhirnya mereka lebih senang untuk turun di jalanan dan tinggal di Sanggar Pelangi.
Tindakan kekerasan dalam keluarga yang sering terjadi pada anak jalanan yang tinggal di Sanggar Pelangi antara lain: pemukulan 5 kasus (29,41%), dimarahi 9 kasus (52,94%), pemaksaan 3 kasus (17,65%). Dari prosentase tersebut dapat disimpulkan bahwa tindakan kekerasan dalam keluarga membawa dampak pada peningkatan jumlah anak jalanan. Sanggar Pelangi sebagai wadah yang menampung anak jalanan ini berusaha untuk memberikan perhatian kepada mereka melalui pendidikan ketrampilan. Dengan begini diharapkan anak jalanan mempunyai ketrampilan.



1.4.2 Kekerasan karena kemiskinan

Dampak kenaikan harga BBM terhadap kemiskinan sangat tergantung terhadap kenaikan harga bahan kebutuhan hidup dan inflasi. Inflasi akan mendorong peningkatan garis kemiskinan. Jika inflasi yang ditimbulkan oleh kenaikan BBM khususnya inflasi bahan makanan cukup tinggi maka dampak kenaikan BBM terhadap kemiskinan juga tinggi. Berdasarkan hasil simulasi data Susenas 2004 menunjukkan bahwa kenaikan jumlah penduduk miskin akibat kenaikan harga BBM bulan Maret 2006 (asumsi inflasi sebesar 0,9%) adalah sebesar 0,24% (dari 16,25%-16,49%) dan jika inflasi yang terjadi semakin besar maka angka kemiskinan juga akan membesar. Berdasarkan kenyataan diatas kemungkinan besar kenaikan BBM Oktober 2006 akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 1% atau sekitar 2 juta orang.
Kami menyimpulkan bahwa dampak inflasi harga ini menjadi faktor tingginya kekerasan karena timbulnya kekerasan itu berkaitan dengan tingkat kemiskinan. Menurut hasil penelitian kami pada tahun 2006 anak lebih banyak mengalami kekerasan dibandingkan tahun sebelumnya. Pengurus Sanggar mengatakan bahwa kekerasan tahun 2006 naik 44% dari pada tahun 2005. Dari hasil wawancara, penggurus sanggar mengatakan bahwa intensitas kekerasan yang dalam satu minggu 3 kali meningkat menjadi 3-5 kali satu minggu.
Menurut pembina Sanggar, anak banyak lari dari rumah dan tinggal di Sanggar Pelangi karena ada tekanan dari rumah. Karena tekanan ekonomi, orang tua mengalami tekanan yang berkepanjangan. Dari hasil penelitian kami bahwa semakin tinggi harga kebutuhan pokok maka semakin tinggi kekerasan terhadap anak, dalam artian anak diekploitasi untuk menghasilkan uang.
Karena tekanan ekonomi, orang tua juga mengalami stress yang berkepanjangan. Banyak dari orang tua mereka ialah buruh kecil, pekerja tak tetap atau bahkan ada yang menganggur. Hasil penelitian kelompok 83% dari pendapatan mereka itu tidak mencapai 20.000 perhari dengan tanggungan 3-5 anak. Bagaimana mereka akan memenuhi kebutuhan keluarga? Dari mana biaya untuk makan, pendidikan anak, dana sosial dan kesehatan? Tuntutan yang tinggi dan tidak tetapnya pendapat membuat orang tua menjadi sangat sensitif. Ia mudah marah. Kelelahan fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anaknya. Maka terjadilah kekerasan emosional. Pada saat tertentu bapak bisa meradang dan membentak anak di hadapan banyak orang. Menurut Jalaluddin Rahmat inilah yang dinamakan kekerasan verbal. Kejengkelan yang bergabung dengan kekecewaan dapat melahirkan kekerasan fisik. Ia bisa memukuli atau memaksa anaknya melakukan pekerjaan berat.
Indikasi ini didapat oleh kelompok dengan melihat bagaimana seringnya orang tua menyelipkan kata “uang untuk hidup” dalam pemukulan dan pencacian anak. Dari 17 responden yang ada hanya 5 orang yang mengatakan bahwa orang tua mereka melakukan kekerasan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

5.2.3 Dampak media massa

Indonesia adalah negara berkembang. Dalam perkembangannya ternyata banyak terjadi perubahan dalam sektor industri, teknologi, dan informasi. Tentu saja hal ini juga dialami di Malang. Kami ingin meneliti bagaimana dampak informasi terhadap anak jalanan di Sanggar Pelangi.
Menurut data yang kami peroleh, semua keluarga dari koresponden memiliki barang-barang sekunder seperti TV, radio, tape dan bahkan beberapa orang memiliki sepeda motor sebagai barometer pengukuran dampak media massa. Intensitas nonton TV atau mendengar radio rata-rata 4-6 jam sehari. Tentu saja banyak informasi yang masuk dalam diri orang tua maupun si anak. Marcuse mengatakan bahwa akan terjadi kepincangan kebenaran atau sering dinamakan kebutuhan semu. Artinya bahwa tidak ada kesadaran antara impian yang dimiliki individu akibat informasi yang masuk dengan fakta sosialnya. Marcuse menegaskan: “Kebutuhan semu adalah segala kebutuhan yang ditanamkan ke dalam masing-masing individu demi kepentingan sosial tertentu dalam represinya. “Kebutuhan ini bisa dikatakan sebagai kebutuhan yang diciptakan oleh pihak lain yang kemudian oleh pihak tersebut diinternalisasikan dalam pikiran kita sehingga kita tidak menyadari lagi apakah memang kita benar-benar membutuhkan apa yang ditawarkan oleh pihak tertentu.” Bagaimana mendapat uang untuk membeli banyak produk yang ditawarkan? Sedangkan orang tua tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, rata-rata pendapat orang tua dibawah Rp 20.000 per hari. Tentu saja hal ini membawa dua dampak. Kami mengamati dampak yang ditimbulkan ialah pertama, keinginan orang tua dan keluarga terhadap barang-barang sekunder membuat tekanan mental orang tua. Artinya bila keinginan meraka tidak terpenuhi maka biasanya kejengkelan dan kemarahan diluapkan kepada anak. Dari 17 responden 9 anak mengalami kekerasan lebih tinggi dari yang lain. Dari data tersebut dilihat bahwa 9 anak itu lebih banyak memiliki barang-barang sekunder seperti TV, Radio, Tape. Kedua, anak dipaksa bekerja untuk mencari uang, bahkan ada target yang harus dicapai selama sehari. Rata-rata mereka harus mendapat Rp 15 000/hari.
Kelompok menyimpulkan bahwa kekerasan anak untuk mencari uang ditimbukan bukan hanya oleh kebutuhan primer saja tetapi juga sekunder keluarga, terlebih kebutuhan sekunder orang tua. Dari ......% responden mengatakan bahwa anak diminta untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Artinya anak secara tidak langsung diberikan satu tanggung jawab untuk mencari uang sendiri dalam pemenuhan segala kebutuhannya.

5.2.4 Nilai sosial

Hubungan orang tua dan anak yang dialami mereka seperti hubungan struktural masyarakat. Strata sosial yang lebih tinggi harus dihargai dan dihormati. Inilah yang menjadi pengalaman anak jalanan. Orang tua dirasa selalu ingin ditaati termasuk untuk mencari uang di jalanan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika anak mulai menolak maka mereka akan dipukul atau dicacimaki.
Ternyata nilai sosial ini menjadi jebakan bagi anak. Masyarakat melihat bahwa orang tua harus dipatuhi dan didengar. 17 responden yang menjadi sampel mengatakan walau disuruh untuk mencari uang ke jalanan mereka merasa berbakti kepada orang tua. Ketika mereka dimarahi tanpa sebab dan ditindas, mereka melihat itu sebagai sebuah pendidikan. Bahkan mereka merasa yang bersalah meskipun kekerasan itu menjadi pelampiasan kekesalan semata-mata.
Ketika kekerasan terhadap anak dianggap menjadi sesuatu sistem pendidikan yang diterapkan orang tua terhadap anak, dan hal menjadi hukum nilai yang benar pada setiap orang maka anak jalanan tidak dapat lari dengan kekerasan. Bagaimana dengan anak yang diekpoitasi dengan disuruh mencari kerja untuk makan keluarga, dan itu dianggap sebagai pengabdian dan membantu keluarga? Nilai sosial ternyata menjadi sarana kekerasan individu terhadap individu yang terjadi dalam keluarga. Hasil penelitian dan wawancara kami menunjukkan bahwa dari 17 responden, dapat dikatakan bahwa cara mendidik orang tua terhadap anak menggunakan pukulan, cacian dan pengusiran dari rumah. Prosentasi bapak memukul anak (76%), orang tua memaki-maki dan membentak anak (85%), orang tua mengusir anak (26%). Orang tua, dirasa selalu ingin ditaati termasuk untuk mencari uang di jalanan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika anak mulai menolak maka mereka akan dipukul atau dicacimaki. Anak tidak lagi dianggap sebagai buah hati melainkan proses produksi. Anak diibaratkan sebagai alat produksi yang hanya dapat bekerja jika ada pemicunya. Artinya anak adalah lahan untuk memperoleh uang bagi kehidupan keluarga
Dari data penelitian kami, terlihat bahwa 100% anak mengatakan bahwa mereka ngamen dan menjual koran dijalanan karena disuruh orang tua merupakan pengabdian terhadap orang tua. Sedangkan kekerasan dirumah dengan pemukulan dan pencacimakian dianggap bentuk rasa cinta orang tua terhadap mereka.

5.2.5 Norma sosial

Norma seringkali dikaitkan dengan penyimpangan sosial, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan dengan aturan dan norma dari kelompok atau masyarakat yang berlaku dalam masyarakat. Dari sini muncul beberapa teori yang menjelaskan soal penyimpangan sosial sebagai bentuk pelanggaran norma. Salah satunya, teori Anomie. Ia mengatakan bahwa penyimpangan sosial adalah kondisi masyarakat dimana anggotanya tidak lagi melihat norma sosial yang tepat.
Kekerasan juga dikatakan sebagai pelanggaran norma sosial karena kaitannya dengan bentuk-bentuk kekerasan yang menyangkut seorang individu dalam masyarakat. Bentuk kekerasan itu bisa berupa kekerasan fisik maupun kekerasan mental.
Sedangkan kekerasan oleh kelompok, dalam lingkungan masyarakat, terjadi karena hubungan yang kurang baik antara keluarga dengan tetangga maupun perangkat masyarakat, sikap masyarakat, dan perhatian dari masyarakat sehingga tidak ada kontrol terhadap kekerasan anak dalam keluarga. Jangankan menjadi kontrol bagi anak, bahkan relasi mereka dengan masyarakat pun kurang baik. Dari 17 responden sebagian besar menyatakan hubungan dan sikap masayarakat terhadap mereka kurang baik. Dicaci maki orang lain (selain keluarga) 7 orang, sikap kurang baik dari masyarakat, termasuk dicacimaki 9, tindakan premanisme 6, dan sikap dari pemerintah 3. Realitas ini tampak dari perlakuan yang diterima anak. Bapak yang mencambuk anaknya dengan cemeti tidak pernah dipersoalkan oleh tetangganya, selama anak itu tidak meninggal dunia (lebih spesifik lagi tidak dilaporkan kepada pihak yang bertanggungjawab, ketua RT/RW atau Polisi). Tidak adanya perhatian dari tetangga atau masyarakat sendiri inilah yang menimbulkan kekerasan semakin tinggi.
Banyak anak yang diwawancari mengatakan kalau mengadu mereka memilih Sanggar Pelangi. Kami melihat tidak adanya tanngungjawab karena sedikitnya tetangga yang menghentikan kekerasan itu. Dari semua responden hanya 1 orang saja yang pernah dilerai. Meskipun demikian dari sepuluh kali pemukulan hanya 3 kali saja tetangga itu datang. Seolah-olah tindakan orang tua itu sudah dianggap sewajarnya. Pemukulan dan cacimaki dianggap seolah-olah yang tepat untuk mereka. Tidak adanya perlindungan masyarakat inilah yang membuat tingginya kekerasan anak jalanan. Memang tidak semua pernah mengadu pada pihak yang berwajib atau tetangga, tetapi dari beberapa yang mengadukan keluh kesah yang mereka dapat ialah “itu kan demi kebaikanmu” atau sering dikatakan “kamu sih yang nakal”.
Anak-anak sendiri menyadari bahwa tidak ada hukum yang dapat menampung atau mencegah kekerasan atas mereka. Hal itu sebagai sesuatu yang semestinya mereka terima. Pranata hukum yang ada di Indonesia secara nyata sudah mandul. Hukum itu sendiri sudah diputarbalikkan dengan uang.
Kami menyimpulkan bahwa kurangnya kontrol sosial memicu tingginya kekerasan terhadap anak. Hal ini terjadi baik karena kurangnya relasi yang baik dari orang tua terhadap masyarakat maupun karena tidak adanya perhatian dari masyarakat.

5.2.6 Kebijakan Pemerintah

Ternyata selain dalam sektor yang disadari di lingkungan sekitar, ada pula sektor laten yang tidak disadari. Kami melihat bahwa ada ketidaksesuaian yakni antara kebijakan pemerintah dengan pelaksanaan di lapangan. Dalam Undang-Undang dikatakan:

Penanganan Kemiskinan Dan Ketunaan Sosial
Kebijakan
Penanganan Kemiskinan Dan Ketunaan Sosial MOU antara Gubernur Jawa Timur dengan Walikota Malang, Nomor 120.1/021/012/2004 tentang Kerjasama Penanganan MKS khususnya 050/04/420.112/2004 Anak Jalanan, Wanita Tuna Susila, Gelandangan, Gelandangan Psikotik dan Pengemis.
Keputusan Walikota Malang Nomor 333 Tahun 2004 tentang Uraian Tugas Pokok, Fungsi dan Struktur Organisasi Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD Kota Malang Pasal 45, 46, 47 dan 48.
Undang-undang ini diterjemahkan dalam tiap-tiap kelurahan di kota Malang dengan Penyaluran Anak Terlantar/Nakal ke Panti Sosial Rehabilitasi Bina Remaja di Luar Kota Malang, Pemberian Bimbingan Sosial Bimbingan sosial, Pelatihan Keterampilan dan Pemberian UEP bagi 30 eks Gepeng di Kelurahan Lowokwaru (membuat kue, wirausaha jual bakso dan soto).
Tetapi dalam kenyataannya, penerjemahan perda tidak sesuai dengan undang-undang. Kami hendak mengatakan bahwa fungsi pemerintah sebagai penanggung jawab terhadap anak jalanan menjadi semacam hakim. Dengan alasan sebagai berikut:
Alasan pertama, semua anak yang kami wawancarai tidak tahu soal uang atau program pemerintah yang diterapkan. Seharusnya keluarahan Lowokwaru lebih menekankan pada pengembangan karya usaha kecil. Kenyataannya tidak tetapi pengejaran dan pemukulan. Padahal yang dipublikasikan dalam media massa ialah anak dijaring kemudian diberi pembinaan.
Alasan kedua, dalam empat kali ditangkap petugas Pamong Praja, anak tidak pernah diberi pendidikan tetapi dimarahi dan dianggap sebagai pembuat kekacauan. Dalam empat kali penangkapan, tiga kali mereka mendapat pemukulan. Bahkan uang hasil kerja mereka (ngamen, jual koran) dirampas.
Kekerasan anak jalanan dari segi hipotesa interaksi simbolis didapat bahwa kekerasan anak ditimbulkan pula dari pandangan masyarakat tentang anak jalanan. Menurut Ertanto orang cenderung mengkaitkan anak jalanan dengan tiga hal: pertama, memandang anak-anak jalanan sebagai bagian dari gejala dalam bidang ketenagakerjaan. Dalam bidang ini, gejala anak jalanan sering dikaitkan dengan alasan ekonomi keluarga dan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Kecilnya pendapatan orang tua sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga memaksa terjadinya pengerahan anak-anak. Ciri kedua, memandang gejala anak jalanan sebagai permasalahan sosial. Anak-anak jalanan dipandang merupakan bukti dari para deviant yang mengancam ketentraman para penghuni kota lainnya. Ciri ketiga, adalah menempatkan anak jalanan sebagai anak-anak yang diperlakukan sebagai orang dewasa. Akibatnya, ia memiliki resiko yang sangat besar untuk dieksploitasi atau menghadapi masa depan yang suram. Ciri ketiga ini sangat dipengaruhi oleh pendekatan hak anak.
Kami melihat steriotipe inilah yang membuat kekerasan terhadap anak menjadi semakin tinggi. Dalam hipotesa kami dikatakan bahwa banyak anak tidak diterima dalam lingkungan sekitar. Tetangga cuek bahkan memalingkan muka ketika melihat mereka melintas di depan rumah. Selain itu, masyarakat mengidentifikasikan mereka dengan pembuat kerusuhan, kekacauan dan bahkan disebut sebagai sampah masyarakat. Kenyataan inilah yang mereka terima sebgai tanggapan dari lingkungan sekitarnya.
Hal ini tentu saja merujuk pada kekerasan mental terhadap anak. sehingga setiap kali anak bergaul dengan anak sebayanya di sekitar rumah, ada pandangan sinis terhadap mereka. Alasan mereka tidak bergaul karena minder. Minder ini muncul dari pengalaman penolakan terhadap diri mereka. Setiap anak di Sanggar Pelangi hampir memiliki pengalaman yang serupa. Bagaimana cara tetangga sekitar menolak? Dengan menyuruh anaknya pulang ketika terlihat bersama anak Sanggar, memarahi, dan berlagak memarahi anak sendiri.


Kesimpulan

Kekerasan menjadi realitas sosial yang sering terjadi di masyarakat. Kerap kali kekerasan diangggap sesuatu yang wajar dan harus terjadi di masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia yang berkembang dalam banyak aspek, kekerasan anak menjadi hal yang dominan sebagai efek globalisasi. Hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat. Tanpa penanganan yang baik akan terjadi ledakan ketidakstabilan sosial. Sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi seluruh aspek yang ada itu. Oleh karena itu, perlu kiranya tanggungjawab dari setiap pihak baik dari masyarakat maupun dari pemerintah sendiri sebagai pengatur kestabilan sosial. Anak Sanggar Pelangi menjadi contoh baik dalam memberi wacana tentang apa itu kekerasan anak. Kelompok berharap bahwa penelitian ini memicu banyak orang memiliki kesadaran bahwa perlindungan terhadap anak jalanan dari kekerasan menjadi tanggung jawab bersama.
Berdasarkan realita yang kami analisis, kami menemukan bahwa kekerasan terhadap anak jalanan merupakan suatu bentuk penyimpangan sosial dalam masyarakat yang diakibatkan oleh individu itu sendiri (anak jalanan) dan oleh lingkungan sekitarnya (keluarga, masyarakat tempat tinggalnya dan pemerintah) yang menyangkut juga sistem nilai dan norma sosial. Pertama-tama individu adalah subjek sekaligus korban tindakan kekerasan tersebut. Individu sebagai subjek kekerasan dalam artian pengidentifikasikan dirinya dengan perilaku dan etos kerja orang tua menimbulkan kekerasan terhadap dirinya.
Dilain pihak, kekerasan disebabkan pula oleh faktor struktural. Individu itu sebagai korban kekerasan, mereka mengalami perlakuan yang kurang baik dari keluarga atau orang tua karena kurangnya tanggung jawab orang tua untuk mendidik dan memelihara anak-anak. Hal ini kemudian terkait dengan tuntutan hidup keluarga. Kebanyakan dari mereka mengalami tekanan karena keinginan untuk memenuhi kebutuhan sekunder di samping untuk memenuhi kebutuhan primer. Tingkat perekonomian keluarga menjadi faktor yang dominan timbulnya kekerasan. Dari sini, ditemukan bahwa kemiskinan menjadi faktor utama munculnya kekerasan terhadap anak. Kemiskinan berpotensi menimbulkan kekerasan, artinya kemiskinan sebagai suatu realita memunculkan realita baru, yakni kekerasan. Faktor lain yang memicu kekerasan terhadap anak jalanan adalah kebijakan pemerintah. Kebijakan dari pemerintah diharapkan mampu membebaskan anak dari keadaan dan keterpurukannya karena tekanan dari keluarga maupun masyarakat. Tetapi, dari penelitian kami terhadap kebijakan pemerintah tersebut ditemukan ketidaksesuaian antara kebijakan yang dibuat dengan realisasinya. Di daerah Lowokwaru kami menemukan bahwa anak-anak yang berada di Sanggar Pelangi sebagian besar pernah mengalami perlakuan yang kurang baik dari realisasi kebijakan pemerintah tersebut. Kekerasan anak sanggar sering terjadi karena kebijakan Pemerintah Daerah itu disalahrealisasikan. Seharusnya yang terjadi adalah anak jalanan diberi pengarahan dan ketrampilan-ketrampilan usaha. Tetapi, anak-anak jalanan malahan ditangkap, dicacimaki bahkan dipukul.
Kiranya penelitian yang kami buat ini menjadi sarana yang baik untuk memberi kesadaran bagi banyak pihak dalam memberi perhatian terhadap anak jalanan dan kekerasan yang ada padanya.


Daftar Pustaka

Fromm, Erich, (terj. Imam Muttaqin), Akar Kekerasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Lauer, H, Robert, (terj. Alimandan SU), Persfektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rineka Utama, 2003.
Kirik Ertanto & Siti Rohana dalam www.humana.20m.com/babII/htm.
Koentjaraningrat., Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1993.
Shadily, Hasan., Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Rineka Utama, 1993.
.

Minggu, 31 Mei 2009

SAKRAMEN PENEBUSAN

Sakramen Penebusan (Redeptorist Scramentum)

TINDAKAN PEMULIHAN
169. Bila terjadi penyelewengan dalam perayaan Liturgi suci, maka hal itu harus dipandang sebagai suatu pencemaran Liturgi Katolik. St. Thomas menulis: "Kejahatan dibuat oleh siapa saja yang atas nama Gereja beribadat kepada Allah menurut suatu cara yang berlawanan dengan apa yang oleh Gereja telah ditetapkan sesuai wewenang ilahi dan sudah menjadi kebiasaan dalam Gereja".
170. Demi membuat pemulihan terhadap penyelewengan-penyelewengan yang demikian, maka "amat perlulah pembinaan biblis dan liturgis bagi umat Allah, baik para pastor maupun umat", sehingga iman Gereja serta peraturannya menyangkut Liturgi suci dijelaskan dan dipahami dengan tepat. Akan tetapi kalau di suatu tempat penyelewengan-penyelewengan terus terjadi, maka perlulah, sesuai dengan hukum, diambil langkah untuk mengamankan warisan spiritual serta hak Gereja dengan mempergunakan daya upaya yang sah.
171. Di antara berbagai penyelewengan ada beberapa yang secara obyektif termasuk kejahatan amat besar (graviora delicta) atau sebaliknya merupakan pelanggaran berat dan yang lain sebagai penyimpangan-penyimpangan yang harus dihindarkan dan diperbaiki. Sambil memperhatikan terutama apa yang sudah diuraikan dalam Bab I dari Instruksi ini, maka perlulah diberi perhatian kepada hal-hal yang berikut ini.

1. Kejahatan amat besar (Graviora Delicta)
172. Kejahatan-kejahatan amat besar (graviora delicta) melawan kekudusan Kurban yang Mahaluhur serta melawan Sakramen Ekaristi harus ditangani sesuai dengan ‘Norma-norma tentang graviora delicta yang hanya dapat diampuni oleh Kongregasi Ajaran Iman’, yaitu:
membawa pergi atau menyimpan Hosti yang telah dikonsekrir untuk maksud sakrilegi, ataupun menbuangnya;
usaha merayakan Ekaristi oleh seorang yang tidak menerima tahbisan imamat atau meniru perayaan dimaksud;
konselebrasi terlarang dalam Kurban Ekaristi bersama pelayan-pelayan Persekutuan-Persekutuan Gerejani yang tidak mempunyai suksesi apostolik dan tidak mengakui martabat Pentahbisan Imam;
dalam perayaan Ekaristi, dengan maksud sakrilegi, mengkonsekrir satu bahan tanpa yang lain, atau juga mengkonsekrir keduanya di luar perayaan Ekaristi.

2. Pelanggaran Berat
173. Tentu saja berat atau seriusnya sesuatu hal harus dinilai sesuai dengan ajaran umum Gereja serta norma-norma yang sudah ditetapkan olehnya. Namun secara obyektif hal-hal yang harus dipandang sebagai pelanggaran berat ialah segala sesuatu yang membahayakan sahnya serta keluhuran Ekaristi yang Mahakudus: ialah segala apa saja yang bertentangan dengan apa yang diuraikan lebih awal dalam Instruksi. Selain itu perlu juga diperhatikan penetapan-penetapan lain dalam Kitab Hukum Kanonik, khususnya apa yang tersirat dalam kanon 1364, 1369, 1373, 1376, 1380, 1384, 1385, 1386, 1398.

3. Penyelewengan-penyelewengan lain
174. Perlu ditambahkan bahwa perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan peraturan-peraturan lain, yang dibahas di lain tempat dalam Instruksi ini atau dalam norma-norma yang tercantum dalam hukum, tidak boleh dipandang enteng, melainkan termasuk penyelewengan-penyelewengan lain, yang harus dengan seksama dielakkan dan diperbaiki.
175. Segala yang dikemukakan dalam Instruksi ini tentu saja tidak mencakup semua pelanggaran melawan Gereja serta peraturannya yang terungkapkan dalam kanon-kanon, dalam undang-undang liturgi dan dalam peraturan Gereja lain demi Ajaran yang benar atau tradisi yang sehat. Kalau dilakukan kesalahan, maka haruslah diperbaiki menurut norma hukum.

4. Uskup Diosesan
176. Uskup Diosesan, "karena ia adalah pembagi utama misteri-misteri Allah, maka hendaknya ia senantiasa berusaha agar orang-orang beriman Kristiani yang dipercayakan kepada reksanya, dengan perayaan Sakramen-Sakramen tumbuh dalam rahmat, dan agar mereka mengenal dan menghayati misteri Paskah. " Menjadi tanggung jawabnya untuk "dalam batas-batas kewenangannya memberikan norma-norma mengenai Liturgi yang harus ditaati oleh semua".
177. "Karena harus melindungi seluruh Gereja, maka Uskup wajib memajukan tata-tertib umum untuk seluruh Gereja dan karenanya harus mendesak agar semua undang-undang Gerejani ditaati. Hendaknya ia menjaga agar kebiasaan yang tak baik jangan menyelinap ke dalam tata-tertib Gerejani, terutama dalam hal pelayanan sabda, perayaan sakramen-sakramen dan sakramentali serta penghormatan terhadap Allah dan para Kudus".
178. Dari sebab itu, bilamana saja seorang Ordinaris lokal atau Ordinaris dari sebuah komunitas Hidup Bakti atau dari sebuah Institut Sekulir menerima informasi yang patut menjadi perhatian tentang suatu pelanggaran atau penyelewengan menyangkut Ekaristi Mahakudus, hendaknya ia mengadakan pemeriksaan seksama, entah dia sendiri entah dengan pengantaraan seorang klerikus lain yang pantas, baik menyangkut fakta-fakta dan situasi maupun mengenai pelanggaran itu sendiri.
179. Pelanggaran terhadap iman dan juga graviora delicta yang dilakukan dalam perayaan Ekaristi serta Sakramen-Sakramen lain, harus dengan segera dilapor kepada Kongregasi Ajaran Iman, yang "akan menyelidikinya dan – seperlunya – akan mengucapkan deklarasi atau peneterapan sanksi-sanksi kanonik sesuai dengan norma hukum umum atau partikular".
180. Dalam hal-hal lain, hendaknya Ordinaris bertindak sesuai dengan norma-norma kanon-kanon suci, dengan memberikan hukuman kanonik bila ada pelanggaran, seraya menimbang dan menerapkan secara khusus apa yang ditetapkan dalam kan. 1326. Jika masalahnya sungguh serius, hendaknya diberitahukan kepada Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen.

5. Takhta Apostolik
181. Bilamana saja Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen menerima laporan tentang suatu pelanggaran atau penyelewengan menyangkut Ekaristi Mahakudus , yang sedikitnya patut diperiksa lebih lanjut, maka Kongregasi tersebut memberitahukannya kepada Ordinaris sehingga dia dsapat membuat penyelidikan terhadap masalah itu. Jika ternyata masalahnya serius, Ordinaris harus secepat mungkin – kepada Dikasteri yang sama – mengirim photocopy dari akta-akta pemeriksaan yang telah dilaksanakan dan – dimana perlu – hukuman yang telah diberlakukan.
182. Dalam kasus-kasus yang lebih sulit, Ordinaris, demi keselamatan Gereja universal – di dalamnya ia pun terlibat berdasarkan tahbisannya yang suci – tidak boleh gagal dalam hal menangani masalah itu setelah memperoleh nasehat dari Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen. Kongregasi tersebut, atas kuasa yang diberikan kepadanya oleh Sri Paus, akan – sesuai dengan itu – mendampingi Ordinaris seraya memberikan kepadanya fasilitas untuk memberikan dispensasi-dispensasi yang perlu atau memberikan kepadanya instruksi atau petunjuk, yang harus dijalankannya dengan seksama.

5. Keluhan tentang Pelanggaran di Bidang Liturgi
183. Semua orang dengan caranya yang khusus sekali hendaknya berusaha dengan segala kemampuannya untuk menjamin bahwa Sakramen Ekaristi yang Mahakudus itu terlindung dari segala pencemaran dan dari setiap nista dan bahwa semua penyelewengan diperbaiki dengan sungguh-sungguh. Inilah suatu kewajiban berat yang mengikat setiap orang, dan semua orang wajib melaksakannya tanpa pandang muka.
184. Setiap warga Katolik, entah dia seorang Imam, Diakon atau awam dalam persekutuan beriman, berhak untuk memasukkan laporan tentang suatu pelanggaran di bidang Liturgi pada Uskup diosesan atau Ordinaris yang menurut hukum sama wewenangnya atau pada Takhta Apostolik berdasarkan primat Sri Paus. Namun, sejauh mungkin, patutlah laporan atau keluhan itu disampaikan kepada Uskup diossesan terlebih dahulu. Tentu saja hal ini harus dibuat sesuai dengan kebenaran dan dalam semangat cinta kasih.

MISTISISME HEIDEGGER

MISTISISME HEIDEGGER

By. Antonius Agus Sumaryono

Pendahuluan
Buku Heidegger “Sein und Zeit” merupakan suatu kritik atas pendapat Nietszche yang mengatakan bahwa Allah sudah mati. Heidegger mempertanyakan dalam kebisingan globalisasi informasi dan ekonomi pasar, nomad pemuja tubuh, petarung kapital, pendaki karier dan penjilat kekuasaan mengubur kecemasan eksistensial dalam kesibukan keseharian mempertanyakan “ke manakah Allah?”1. Dalam hidup keseharian manusia kerapakali mengalami suatu kecemasan. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena manusia pada dasarnya mempunyai sifat religius.
Heidegger merupakan seorang filosof yang teologis, karya-karya besarnya sangat bersifat teologis mistis. Dalam karyanya “Sein und Zeit” Heidegger mengungkapkan tentang subyek kesadaran sebagai suatu cara untuk mengungkapkan realitas diri khususnya dirinya sendiri. Subyek kesadaran bukanlah segala-galanya, oleh karena itu aspek realitas dipakai untuk mengungkapkan totalitas melalui refleksi.
Paper ini akan membahas mengenai mistisisme dari pemikiran Heidegger dalam bukunya “Seit und Zeit” sebagai titik tolak analisis mengenai Dasein. Ulasan-ulasan akan memfokuskan tentang suasana hati dalam hidup sehari-hari manusia dewasa ini seiring dengan perkembangan era globalisasi informasi.

Fenomenologi Heidegger
Fenemenologi merupakan suatu penampakan dari gejala alam yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Heidegger memakai fenomenologi sebagai perenungan mengenai “Being” atau “Sein” untuk mengungkapkan penampakan yang ada dalam diri sendiri.2 Dalam hal ini, penampakan janganlah membawa pada pemaksaan untuk ditafsirkan saja melainkan bagaimana membuka diri terhadap penampakan. Sikap terhadap penampakan bukanlah sekedar untuk menganalisa melainkan bagaimana membuka diri terhadap “Sein” untuk mendekati fenomen tersebut. Dari sikap inilah maka timbullah pertanyaan “mengapa aku ada?” Pertanyaan ini yang kerapkali menyelimuti kehidupan manusia sehari-hari.
Pendekatan fenemenologi Heidegger merupakan suatu kesadaran terhadap sesuatu memiliki format tematis tertentu. Artinya, bahwa kesadaran dalam dunia mempunyai suatu bentuk, misalnya suasana takut maka kesadaran yang muncul juga suasana takut. Fenemenologi Heidegger merupakan suatu ontologi yang berhubungan dengan realitas. Heidegger menolak pendapat dari Descartes mengenai “Cogito Ergo Sum” yang menyatakan kesadaran berdasarkan atas subyektifitas. Kesadaran merupakan suatu cara penampakan dari realitas ”Sein” itu sendiri.
Konsep kesadaran merupakan suatu pemahaman “Sein” sebagai sesuatu yang mewahyukan diri kepada dirinya sendiri, hal ini adalah suatu hubungan subye dengan obyek yang dilampaui melalui satu pendekatan holistis-estetis terhadap realitas.3 Artinya, bahwa kita diajak untuk melihat realitas yang nampak sebagai peristiwa fenomen. Kesadaran merupakan suatu peristiwa Ada sebagai salah satu cara membuka dirinya bagi kita.
Fenomenologi Heidegger merupakan suatu pendekatan kesadaran melalui membuka diri terhadap realitas Ada sebagai suatu pewahyuan dari diri Ada itu sendiri. Dalam hal ini tidak dibutuhkan adanya penafsiran atau pemikiran tetapi suasana keheningan. Pemikiran Heidegger lebih mengarahkan kepada suatu yang mistik terhadap adanya penampakan-penampakan dari adanya realitas Ada.

Realitas Ada
Filsafat Heideggernadalah suatu pemahaman mengenai realitas Ada. Permulaan filsafat menurut Heidegger adalah suatu pertanyaan mengenai apa itu realitas Ada. Artinya, bahwa suatu yang ada tidak sekedar ada melainkan ada dalam dirinya sendiri. Seuatu yang mempertanyakan tentang Ada-nya oleh Heidegger disebut sebagai Dasein. Kata Dasein dalam bahasa Jerman mempunyai arti “Ada-di-sana”4. Ada-di-sana yang dimaksud adalah suatu yang Ada itu sebatas Ada yang di sana dan bukan Ada yang lain. Ada-di-sana merupakan realitas Ada yang tampak serta Ada dalam dunia. Ada ini ada dengan sendirinya dan merupakan ada yang penuh bukan mengada-ada.
Ada Dasein adalah kemungkinan ada itu sendiri dan ditentukan oleh Ada itu sendiri. Ada Dasein merupakan suatu yang khas dari Ada itu sendiri sehingga membedakan Ada itu dengan Ada-Ada yang lain, inilah yang dinamakan eksistensi. Eksistensi itu sendiri merupakan fakta Ada dari Dasein yang berpikir untuk mewujudkan kemungkinan yang melampaui dari dirinya. Sebagai contoh orang yang senang termenung akan merasa tidak tahan hidup karena akan selalu mempertanyakan mengapa dia ada.
Permasalahan yang diangkat oleh Heidegger mengenai masalah Ada merupakan suatu ontologis yang diambil dari penampakan. Heidegger mengkontekstualitaskan mengenai Ada dari Dasein yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari manusia dalam dunia (In-der-Welt-sein). Dalam hal ini konsep Ada sangat berhubungan ada dalam ruang Dasein itu berada dalam ruang atau menempati suatu tempat. In-der-Welt-sein merupakan satu ciri dasar yang sifatnya eksistensial. Jadi, Dasein secara menyeluruh mempunyai makna berada dalam dunia, dalam hal ini sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari.
Realitas Ada Dasein pada hakekatnya terletak pada eksistensinya. Artinya, bahwa Dasein merupakan suatu kemungkinan dari Ada yang menjadi itu dalam dirinya sendiri. Dasein tidak hanya sekedar ada dalam suatu yang temporer In-Zeit mungkin juga In-Zeit itu sendiri. Heidegger menghubungkan Ada Dasein dengan realitas sehari-hari khususnya dengan waktu. Manusia dalam realitasnya berada dalam putaran waktu. Waktu merupakan realitas Ada yang setiap saat melingkupi hidup sehari-hari manusia, oleh karena itu manusia tidak bisa lepas atau terpisah dengan realitas waktu. Semua perilaku manusia dalam hidup sehari-hari berada dalam putaran waktu yang mengikat manusia.
Dunia Dasein adalah dunia bersama Ada-Ada yang lain. Ada-nya Dasein ini tidak bisa lepas dari kehadiran dari Ada-Ada yang berada disekelilingnya. Realitas Ada ini juga menempati ruang dan waktu yang sama dengan Ada dari Dasein itu sendiri. Heidegger dalam analisanya mengenai Ada bersama dengan Ada-Ada yang lain menggambarkan suatu konsep yang sifatnya adalah sosial. Dasein itu sendiri merupakan bentuk sosial maksudnya keberadaan Dasein itu berada bersama-sama dengan Ada-Ada yang lain. Hal ini sangat bersinggungan dengan keberadaan dari Ada-Ada yang lain yang secara bersama-sama berada dalam ruang dan waktu yang sama.5 Dunia Dasein merupakan berada dalam kehidupan bersama-sama dengan yang lain.

Keterlemparan
Ada Dasein merupakan suatu usaha untuk mengungkapkan diri melalui peristiwa-poeristiwa yang terjadi. Teori Heidegger dalam Sein und Zeit penuh dengan pemahaman mistik, yakni pembukaan diri. Artinya, manusia dihadapkan pada sisi untuk membuka hati untuk melihat realitas Ada yang mewahyukan diri. Dalam hal ini Dasein membuka hati untuk memperoleh pencerahan terhadap fenomen yang terjadi. Pengungkapan ini bertujuan untuk menyingkap tabir misteri yang hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia mencoba untuk mencari jawaban yang menggelisahkan hati berdasarkan fenomen yang dialaminya. Dengan kata lain, manusia berusaha untuk masuk dalam kondisi psikologis yang menggetarkan hati. Hal ini yang dimaksudkan bahwa manusia “terlempar” dari dunia realitas untuk menggapai suatu yang sifatnya misteri. Manusia “terlempar” dari dunia dan memasuki suatu kegelisahan hati. Dunia sebagai realitas yang dialami oleh manusia menempati suatu ruang dan waktu sedangkan suasana hati manusia berusaha untuk mengungkapkan kegelisahan yang menggelitik terhadap fenomen yang dialami.
Dasein di dunia merupakan suatu fakstisitas niscaya yang beralasan bahwa “Fakta ia ada”6. Dasein berkaitan erat dengan suasana hati, misalnya: rasa takut, gembira. Suasana hati ini merupakan suatu pengungkapan perasaan manusia. Dasein ada berdasarkan suatu fenomen yang menggelitik suasana hati sehingga mengganggu akal budi untuk merespeknya. Pemikiran Heidegger seperti ini dilandasi atas pengalaman pribadinya dalam permenungan.
Hal ini yang dimaksud oleh Heidegger dengan keterlemparan yakni bahwasanya Dasein terlempar untuk penyerahan diri. Pendapat Heidegger bahwa memang sejak awalnya manusia menyerahkan diri dalam hidupnya. Hidup adalah eksistensi keniscayaan, suatu “lompatan” keberanian yang tidak aktual. Artinya, bahwa manusia pada awalnya sudah berada pada keterlemparan kepada ketidakberanian untuk menghadapi realitas sesungguhnya. Manusia hidup pada umumnya mengikuti realitas dunia sehingga tidak mempunyai keberanian untuk masuk kedalam realitas dirinya sendiri.
Pemahaman keterlemparan yakni manusia tidak mengetahui berasal dari mana dan akan ke mana di dalam dunia ini. Memahami keterlemparan sama artinya dengan menyadari eksistensi diri sendiri, dalam artian bahwa manusia memahami rancangan yang mempunyai orientasi ke masa depan. Fenomena pemahaman diri sendiri menurut Heidegger adalah suatu pembukaan diri terhadap realitas dunia dengan cara merenungkan dan menafsirkan. Pemehaman ini bukan hanya sekedar aktualisasi dari eksistensi melainkan suatu tindakan yang lebih mengarah kepada reflektif.
Pemahaman ini merupakan alunan dari suasana hati untuk bergerak dan bertindak. Hal ini dilandasi dengan suasana pengosongan diri. Manusia adalah mahkluk yang tidak mempunyai inti dalam dirinya sendiri singkatnya adalah kosong7. Kekosongan inilah yang menentukan Ada-nya manusia itu. Ada manusia merupakan semacam dasar jurang yang tidak berdasar karena manusia tidak mampu untuk mengukur seberapa dalamnya. Misteri hati manusia merupakan suatu eksistensi yang menyelimuti hidup manusia sehari-hari. Obyek keterlemparan Heidegger merupakan suatu kecemasan akan kejatuhan yang berdasar pada kecemasan suasana hati.

Refleksi Filosofis
Pemikiran Heidegger pada intinya adalah pemikiran umum banyak mengandung unsur mistis. Heidegger adalah salah satu filsuf yang mistikus. “Sein und Zeit” merupakan suatu bentuk permenungan Heidegger atas penampakan-penampakan yang dialaminya. Filsafat Heidegger sangat penuh dengan unsur refleksi teologis. Sebagai seorang yang mendalami filsafat sangat bertolak belakang dengan pemikirannya yang cukup banyak mengungkapkan sisi mistik.
Heidegger berfokus pada filosofis teologis dalam mengungkapkan realitas Ada dengan berdasarkan pada fenomena-fenomena yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari. Ia berusaha menyelami palung terdalam dari hati manusia untuk memaknai hidup. Inti dari Sein und Zeit merupakan suatu bentuk penawaran jalan untuk kembali kepada jati diri manusia. Jadi, Ada yang terlempar itu berusaha untuk mengungkapkan diri, dan suatu bentuk undangan manusia untuk menyadari dan memahami eksistensinya.

DAFTAR PUSTAKA
Hardiman, F. Budi, Heidegger dan Mistik Keseharian, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2003.
Heidegger, Martin, Sein und Zeit, Tubingen: Max Niemeyer, 1953.
1 Bdk. Prolog F. Budi Hardiman, Heidegger dan mistik keseharian, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2003, hlm. 1.
2 Ibid. hlm. 26.
3 Ibid. hlm. 31.
4 Ibid. hlm. 47.
5 Bdk. Martin Heidegger, Sein Und Zeit, Tubingen: Max Niemeyer, 1953, paragraph 24 A, hlm 118.
6 Op. Cit. F. Budi Hardiman, hlm. 70.
7 Op. Cit. F. Budi Hardiman, hlm. 79.