Sabtu, 12 April 2008

MENANGGAPI IKLAN KECANTIKAN PERUBAHAN KONSEP CANTIK DAN PENGARUHNYA

Antonius Agus Sumaryono
Eddy Suranta S
Julius Katu

Melirik Iklan

Bila kita berjalan-jalan ke luar rumah lalu kita menyempatkan diri memperhatikan sekeliling kita maka kita akan melihat banyak informasi berupa brosur, pamflet, dan papan reklame lainnya. Bila kita menonton televisi, kita pasti menyaksikan selingan-selingan di tengah acara yang kita tonton. Kebanyakan acara diselingi oleh iklan yang menjadi sponsor acara tersebut. Bahkan waktu kita mendengar radio pun promosi serupa selalu kita dengar. Segala bentuk promosi yang berupa brosur, pamflet, papan rekklame dan pariwara di televisi bisa dikategorikan ke dalam iklan. Apa sebenarnya iklan itu? Iklan adalah berita pesanan untuk mendorong, mem-bujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang atau jasa yang ditawarkan.[1]
Melihat definisi iklan tersebut kita akan mendapat tiga unsur penting dalam iklan yakni, siapa yang membuat iklan, apa tujuan iklan tersebut dibuat dan untuk siapa iklan tersebut dibuat. Iklan dibuat oleh produsen suatu barang atau jasa dengan tujuan mendorong, membujuk, atau mempengaruhi orang lain agar membeli barang atau jasa yang mereka tawarkan. Khalayak ramai menjadi sasaran iklan itu dibuat. Dari uraian tersebut pengaruh iklan sebenarnya hanya sebatas membujuk orang lain atau paling jauh membuat orang lain tertarik untuk membeli suatu produk barang atau jasa. Namum apakah pengaruh iklan hanya sebatas itu?
Melihat realita intensitas iklan yang kerap muncul maka iklan ini mempengaruhi pola pikir, cara pandang, dan konsep tentang sesuatu hal dalam masyarakat. Masyarakat Indonesia dapat menjadi contoh bagaimana suatu iklan mempengaruhi pola pikir dan cara pandang masyarakat. Dari sekian banyak iklan kami akan mencoba membahas bagaimana iklan mempengaruhi konsep cantik ditengah masyarakat khususnya kaum muda. Iklan-iklan ini adalah iklan produk kecantikan.
Sebagai suatu produk iklan, iklan tersebut memang bermaksud mempengaruhi khalayak ramai agar membeli produk kecantikan mereka yang katanya dapat membuat kulit terasa lembut, mulus dan tampak lebih putih bercahaya. Ketika iklan tersebut sering ditayangkan maka ada kesan bahwa kulit lembut, putih, dan tampak putih adalah gambaran cantik sebagaimana gambaran perempuan yang ditampilkan. Produk iklan kecantikan seperti iklan sabun dan white lotion telah memberikan gambaran cantik terhadap masyarakat yang diredusir dalam ganbaran kulit putih bersih. Iklan tersebut memang tidak mengatakan secara gamblang bahwa kulit putih bersih adalah gambaran ideal cantik, tetapi karena sering ditayangkan (ditampilkan) pengaruhnya sangat kuat di masyarakat.
Pengaruh iklan yang sangat kuat membuat konsep cantik di masyarakat menjadi sebatas kulit putih bersih sesuai gambaran iklan tersebut. Ada pembatasan term cantik di masyarakat. Gambaran cantik yang dipengaruhi iklan tersebut membuat masyarakat mendefenisikan cantik dengan kulit putih bersih. pendek kata, cantik dibahasakan dengan kulit putih bersih. Akibatnya orang-orang (baca Perempuan) berlomba-lomba membuat kulit mereka menjadi putih dan tentunya salah satu caranya ialah memakai produk yang ditawarkan oleh suatu iklan.

IKLAN DAN PENGARUHNYA : Perubahan konsep cantik dan pengaruhnya terhadap masyarakat.

Apa itu konsep? Konsep adalah sesuatu yang diproduksi atau diungkapkan oleh nalar dalam dirinya dan melaluinya dikenal atau dipahami sesuatu hal[2]. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menuliskan konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret[3]. Karena itu, konsep merupakan suatu gambaran akal budi yang abstrak, yang batiniah tentang inti sesuatu. Proses ini terjadi dalam akal budi. Kalau kita mau mengatakan apa yang ada dalam pikiran atau akal budi kita membutuhkan sarana. Kita menggunakan kata-kata kalau kita mau mengatakan apa yang kita pikirkan[4]. Kata adalah tanda lahiriah untuk menyatakan konsep dan bendanya. Bila konsep ini mau diperjelas dengan menentukan batasnya maka kita menyebutnya sebagai defenisi.
Seperti sudah kami singgung sebelumnya, iklan itu mempengaruhi pola pikir, cara pandang dan konsep masyarakat tentang sesuatu hal. Iklan kecantikan seperti sabun dan white lotion telah mampu mengubah konsep cantik di masyarakat. Ketika iklan kecantikan muncul, tubuh yang ditampilkan sebagai tubuh yang cantik dan disukai, secara universal adalah kulit putih. Iklan produk kecantikan menggunakan fantasi bahwa sabun kecantikan atau white lotion mempunyai kekuatan untuk merubah tubuh dari yang tidak diinginkan menjadi yang diinginkan, dari hitam menjadi putih. Konsep dan defenisi cantik diredusir oleh masyarakat karena pengaruh iklan kecantikan. Masyarakat menganggap konsep cantik itu hanya sebatas penampilan fisik saja khususnya fisik yang kulitnya putih bersih. Kemudian hal ini menjadi mitos, kulit putih bersih adalah gambaran ideal cantik. Mitos ini hidup di masyarakat dan akan mempengaruhi masyarakat.
Aquarini Priyatna Prabasmoro mensyeringkan pengalamannya tentang pengaruh iklan[5]. Maka begitu saya menyadari bahwa berkulit gelap berarti buruk rupa, yang dengan demikian dianggap pecundang ...akan menjadi gelap lagi. Beberapa waktu kemudian saya melihat warna kulit saya menjadi terang. Saya pun merasa orang-orang menganggap saya lebih menarik. ...iklan sabun, misalnya membombardir perempuan dengan pesan-pesan untuk merubah warna kulit mereka ‘lebih putih dan lebih putih lagi,’ dengan menempatkan selebriti perempuan indo ke dalam gambar iklan-iklannya, yang kulitnya lebih terang daripada kulit orang Indonesia pada umumnya.”
Pertanyaan berikutnya ialah apa itu cantik? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cantik adalah molek, elok (tentang wajah perempuan)[6]. Defenisi yang diberikan oleh KBBI ini sedikitnya telah memberikan gambaran tentang cantik. Yang pasti cantik di dalam KBBI tidak menyinggung adanya kosa kata putih bersih sebagai defenisi cantik. Naomi Wolf mengatakan, “Kecantikan sesungguhnya bukan hal yang universal ataupun tidak bisa diubah.” Hal ini mau menandaskan bahwa cantik itu tidak bisa dianggap universal. Cantik itu partikular, bersifat relatif. Karena itu, kita akan menemukan bahwa bagi orang-orang Maori tubuh yang gemuk itu cantik, dan bagi orang-orang Padung buah dada yang montok itu cantik dan mengagumkan[7]. Jadi cantik menurut seseorang dapat berbeda dengan cantik menurut orang lain meskipun ada pandangan yang bersifat umum. Artinya cantik tidak dapat dibatasi begitu saja.
Sesungguhnya, bila orang mau menerima cantik itu relatif maka tidak perlu terjadi adanya mitos bahwa orang yang berkulit putih itu cantik. Namun iklan sangat kuat mempengaruhi masyarakat sehingga membentuk mitos tersebut. Mau tidak mau konsep cantik seperti ini akan mempengaruhi masyarakat.
Konsep cantik ini dapat mempengaruhi perilaku masyarakat, misalnya cara seseorang menghargai dirinya dan memandang orang lain. Konsep cantik yang dibatasi hanya sebatas penampilan fisik seperti kulit putih bersih akan sangat merugikan masyarakat. Eka Sabirin mengatakan bahwa persepsi (baca Konsep) tentang ‘cantik’, ‘ganteng’ yang berkembang di masyarakat kita seringkali salah kaprah sehingga banyak orang yang tidak percaya diri[8]. Padahal, kecantikan atau kegantengan fisik adalah sebatas nilai yang relatif. Ia menyoroti pengaruh konsep cantik yang ada di masyarakat yang cenderung sangat destruktif.
Seseorang dapat kehilangan rasa percaya diri karena ia menilai diri secara fisik dan ini sangat menghambat perkembangan kepribadian seseorang. Ini hanya satu contoh pengaruh negatif ketika konsep cantik mengalami pergeseran makna di masyarakat. Pengaruh negatif lainnya adalah ketika masyarakat mulai membuat pembedaan bahwa orang yang berkulit putih itu cantik sedangkan orang yang berkulit hitam itu tidak cantik. Wacana ini sangat berkembang di masyarakat. Akhirnya sekali lagi masyarakat membuat vonis yang tidak obyektif. Apakah orang yang berkulit hitam tidak cantik? Bagaimana dengan orang yang berkulit hitam? Apakah mereka jelek? Kesan inilah yang berkembang di masyarakat kita yakni orang yang berkulit putih identik dengan cantik sedangkan orang yang berkulit hitam kebalikannya. Sekali lagi konsep ini salah. Cantik atau tidak cantik itu mesti kita sadari sebagai sesuat yang relatif dimana setiap orang dapat memberikan penilaiannya.
Pengaruh yang lain juga dapat mengakibatkan masyarakat menjadi konsumeristis. Adanya mitos bahwa cantik berkulit putih mengakibatkan orang berlomba-lomba memiliki kulit putih. Untuk mendapatkan kulit putih mereka membeli produk-produk kecantikan yang dapat membuat kulit putih seperti yang ditawarkan oleh iklan. Mereka akan terus membeli karena mereka pasti selalu memakainya untuk menjadikan kulit mereka putih. Sebab, bila itu tidak dipakai maka kulit mereka akan kembali pada warna aslinya. Percaya atau tidak, para perempuan kita pasti memakai salah satu produk kecantikan ini dan mereka akan tetap membeli dan membeli untuk menjadi “cantik.”

Lemahnya daya kritis masyarakat

Adanya perubahan konsep cantik di masyarakat dipengaruhi oleh iklan. Iklan tersebut telah berhasil menumbuhkan mitos cantik di masyarakat, yang mana orang yang berkulit putih bersih adalah orang cantik. Perubahan konsep ini membawa pengaruh bagi masyarakat.
Kami melihat bahwa selain iklan, lemahnya daya kritis masyarakat menjadi alasan utama mengapa hal ini terjadi. Masyarakat tidak mampu mengkrtitisi informasi yang mereka terima dalam iklan sehingga mereka menerima begitu saja suatu informasi. Ketika informasi dalam iklan ini terus-menerus diterima oleh masyarakat maka informasi itu akan masuk ke alam bawah sadar manusia. kemudian informasi itu dianggap kebenaran mutlak, yakni cantik itu putih bersih. Logika masyarakat menjadi mati. Atau masyarakat memang tidak mempunyai logika (ilmu menalar)?



DAFTAR PUSTAKA


Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Iklan Avon Moisturizing PearlCream, Majalah Wanita KARTINI, Edisi No. 543 15 s/d 24 April 1995.

Lanur, Alex, OFM, Logika Selayang Pandang, Yogyakarta: Kanisius, 1983.

Prabasmoro, Aquarini Priyatna, Becoming White, Yogyakarta: Jalasutra. 2003.

Sabirin, Eka, Body Dysmorphic Disorder, Kompas 14 oktober 2005.

Valentianus, CP, Lic. Phil, Diktat Logika, Malang: STFT Widya Sasana, 2000.

Wolf, Naomi, Mitos Kecantikan, Yogyakarta: Niagara, 2002.




































[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. 2003 hal. 421.
[2] Rm. Valentinus, CP, Lic. Phil, diktat Logika, Malang: STFT Widya Sasana. 2000 hal. 9.
[3] Departemen Pendidikan Nasional, op. cit. hal. 588.
[4] Alex Lanur, OFM, Logika Selayang Pandang, Yogyakarta: Kanisius 1983, hal. 21.
[5] Suatu waktu dalam kehidupan saya, menjadi putih adalah sangat penting sehingga saya memutuskan untuk menghentikan berbagai kegiatan yang saya nikmati selama ini seperti berenang dua kali seminggu dalam klub renang, mengikuti Drum Band sekali seminggu dan mendaki gunung beberapa bulan sekali ketika saya menyadari bahwa saya dituntut untuk menjadi putih agar dianggap cantik, disukai, mempunyai pacar, dan agar menjadi normal secara sosial. Aquarini Priyatna Prabasmoro, Becoming White, Yogyakarta: Jalasutra. 2003. hal. 25-26.
[6] Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., hal. 193.
[7] Naomi Wolf, Mitos Kecantikan, Yogyakarta: Niagara 2002. hal. 29.
[8] Eka Sabirin, Body Dysmorphic Disorder, Kompas, Jumat 14 October 2005, hal. 58.

Kamis, 10 April 2008

BUNUH DIRI SEBAGAI TINDAKAN MELAWAN HUKUM KODRAT (TINJAUAN MENURUT THOMAS AQUINAS)

Antonius Agus Sumaryono

1. Pendahuluan
Dewasa ini makin marak orang yang mudah dan cepat mengambil keputusan yang sembrono. Seiring dengan laju pertumbuhan teknologi dan ekonomi, orang ingin mencari jalur cepat tetapi kurang tepat. Pertumbuhan teknologi dan ekonomi itu menuntut orang untuk mampu mandiri, sehingga bagi orang yang “berpandangan sempit” dan “kurang mampu” mengikuti pertumbuhan itu bisa saja mengambil jalan pintas dengan bunuh diri. Bunuh diri merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum kodrat. Setiap orang pada dasarnya mempunyai Optio Fundamentalis[1] dalam menentukan arah dan tujuan hidupnya. Meskipun, Albert Camus dalam bukunya mengatakan bahwa hidup manusia adalah suatu yang absurd (kesia-siaan) bukan berarti bahwa hidup manusia tidak mempunyai arti.
Setiap kehidupan pasti pada akhirnya akan mati. Hal itu sudah merupakan hukum kodrati dari hidup. Mati itu adalah satu hal yang wajar dalam setiap makhluk yang hidup. Tetapi, bagaimana orang hidup itu mampu memaknai hidupnya dan mengisi kehidupan sebagai mana layaknya. Setiap kehidupan membutuhkan perjuangan untuh mempertahankan diri dari ancaman yang membahayakan hidup. Oleh karena itu, hidup merupakan hak yang paling hakiki.
Menanggapi masalah bunuh diri ini, penulis ingin mengangkat satu kasus bunuh diri yang terjadi pada salah satu keluarga kristiani di Malang pada hari sabtu 10 Maret 2007. Kasus bunuh diri ibu Mercy dan keempat putra-putrinya Athena Latonia, 11 (perempuan); Prinsessa Ladova, 9 (perempuan); Hendrison, 9 (laki-laki); dan Gabrelia Al Cein, 1,5 (perempuan) dengan cara minum racun ini sangat menggemparkan warga Malang dan khususnya pihak Gereja. Bunuh diri adalah tindakan yang secara intrinsik buruk.[2]
Yang menjadi persoalannya adalah, apa yang dimaksud dengan hukum kodrat? Sejauh mana bunuh diri melawan hukum kodrat? Bagaimana kedudukan Manusia terhadap hukum kodrat? Bunuh diri dan pengaruhnya terhadap moral manusia? Penulis ingin melihat dan membahas masalah ini dalam kaitannya dengan hukum kodrat menurut pendapat Thomas Aquinas.

2. Pembahasan
2.1 Arti Hukum Kodrat

Pemikiran mengenai hukum kodrat sebenarnya sudah dimulai sejak jaman para filsuf Yunani kuno. Pernyataan hukum kodrat sebenarnya dikaitkan dengan hukum alam (natura) yang dalam bahasa Indonesia menjadi ambigu karena mempunyai makna ganda alam dan kodrat. Makna hukum alam (lex naturalis dalam arti material) adalah keteraturan yang dapat diamati dalam alam semesta. Sedangkan makna dalam hukum kodrat (lex naturalis dalam arti formal) adalah tatanan kelakuan makhluk sesuai dengan kodratnya masing-masing. Artinya, untuk makhluk berakal budi, hukum kodrat identik dengan hukum alam. Bagi makhluk rasional, hukum kodrat identik dengan “hukum moral” dan sama sekali tidak berhubungan dengan ide mengenai keadaan alamiah manusia.
Jadi perbedaan makna yang terkandung dalam hukum kodrat terjadi karena makna “kodrat” natura. Dari satu sisi, perbedaan hukum kodrat dipandang sebagai patokan ideal yang harus dipahami melalui penalaran maupun intuisi. Di sisi lain, hukum kodrat menitikberatkan proses pemahaman melalui pendekatan perilaku manusia. Yakni, manusia diatur dengan mempergunakan hukum dan patokan-patokan yang berlaku secara umum dalam tatanan hidup di masyarakat.

2.2 Hukum Kodrat menurut Thomas Aquinas
Dari permasalahan kasus bunuh diri di atas jelas sangat bertentangan dengan prinsip hukum kodrat. Thomas Aquinas berpendapat bahwa pemikiran tentang hukum kodrat berhubungan dengan tatanan norma normatif yang ada dalam alam kodrat. Hukum kodrat sebagai partisipasi makhluk rasional di dalam hukum abadi.
Hukum kodrat adalah hukum yang berlaku dan dipaksakan manusia untuk mengikat manusia untuk mentaatinya. Manusia diperintahkan untuk mencintai kebaikan dan menjauhkan kejahatan. Hukum kodrat juga merupakan suatu tatana yang membatasi keberadaan manusia dalam berkelakuan hidup di masyarakat. Hukum kodrat sangat erat berhubungan dengan superioritas moral manusia terhadap aturan-aturan konvensional yang digunakan untuk mengatur perilaku manusia. Hukum kodrat sendiri dipahami sebagai suatu aturan yang disusun dengan tujuan tertentu untuk mencapai harapan yang diharapkan.
Hukum kodrat menjadi pandangan yang menampakkan satu gagasan mengenai gerakan akal budi manusia kepada konsep mengenai keadilan kekal. Artinya, suatu keadilan yang diwujudkan dalam penyelenggaraan keberadaan manusia. Hukum kodrat dapat dipahami sebagai “hukum tertinggi” yakni hukum yang berasal dari Allah yang kemudian dapat ditangkap oleh akal budi manusia.
Thomas Aquinas menjelaskan bahwa hukum kodrat berkaitan dengan hukum abadi. Manusia sebagai makhluk sosial, perlu untuk mengorganisir kegiatannya yang menjadi otoritas untuk mengatur hidupnya. Tuhan merupakan penguasa tertinggi dari keseluruhan kehidupan duniawi, oleh karena itu manusia patut mentaati semua peraturanNya. Jadi, hukum kodrat merupakan pantulan rasio ilahi diletakkan atau diberikan kepada setiap ciptaan dalam usahanya untuk mencari kebaikan dan menghindari kejahatan.

2.3 Kedudukan Manusia terhadap Hukum Kodrat
Ajaran Thomas Aquinas mengenai hukum kodrat banyak dipengaruhi oleh pemikiran dari Aristoteles. Manusia sebagai makhluk hidup terdapat substansi yang memiliki unsur utama, yaitu tubuh dan jiwa.
Menurut Thomas, setiap perbuatan termasuk juga kegiatan berpikir dan berkehendak adalah perbuatan dari segenap pribadi manusia. Setiap perbuatan manusia adalah perbuatan "aku", yaitu jiwa bertubuh atau tubuh berjiwa. Kesatuan manusia ini mengandaikan bahwa tubuh manusia hanya dijiwai oleh satu bentuk saja, yaitu bentuk rohani. Bentuk rohani inilah yang sekaligus membentuk hidup lahiriah dan batiniah manusia. Jiwa yang satu ini memiliki lima daya, yaitu: daya vegetatif, merupakan daya yang berhubungan dengan pergantian zat dan pembiakan; daya sensitif, merupakan daya yang behubungan dengan keinginan; daya yang menggerakkan; daya untuk memikir; dan daya untuk mengenal.
Pandangan Thomas mengenai pengenalan ini berhubungan erat sekali dengan pandangannya tentang pertautan antara jiwa dan tubuh. Pada dirinya sendiri, jiwa bersifat pasif baik dalam pengenalan iderawi maupun dalam pengenalan akali. Pelaku atau subyek dalam pengenalan adalah kesatuan jiwa dan tubuh yang berdiri sendiri. Proses pengetahuan berlangsung dalam dua tingkat. Yang pertama adalah pengetahuan pada tingkat inderawi. Artinya, pengetahuan pada tingkat ini bertitik pangkal pada pengalaman inderawi, lewat benda-benda yang ada di luar. Penginderaan dengan daya-daya indera ini akan menghasilkan gambaran-gambaran yang diberikan kepada akal.
Yang kedua adalah pengetahuan pada tingkat akali. Artinya, akal pada dirinya sendiri adalah kosong. Akal tidak mempunyai ide-ide sebagai bawaannya. Sasaran pengenalan akal diterima dari luar melalui gambaran-gambaran iderawi. Hakikat itu kemudian diubah menjadi suatu bentuk yang dapat dikenal. Pengetahuan terjadi jika akal berhasil memungut bentuk itu dan berhasil mengungkapkannya. Jadi, pengetahuan akali ini tergantung kepada benda-benda yang diamati oleh indera.
Manusia pada dasarnya dipanggil kepada kepenuhan hidup. Hidup memang merupakan syarat mendasar terhadap unsur integral proses kenyataan manusiawi. Hidup merupakan suatu rahmat yang diberikan oleh Allah sebagai Sang Maha Pencipta sedangkan manusia adalah sebagai pemelihara dari hidup itu sendiri. Manusia diciptakan oleh Allah seturut dengan citra Allah, oleh karena itu hidup manusia juga merupakan suatu kehidupan bagi Allah. Dalam artian bahwa manusia itu cermin dari kodrat Allah di dunia.
Semua ciptaan mempunyai kecenderungan kodrati untuk mencapai tujuan akhir. Kecenderungan ini sifatnya permanen karena terbentuk secara kodrat atau nafsu (appetitus).[3] Kecenderungan akhir manusia adalah mencapai tahap kesempurnaan hidup. Dalam perkembangannya, manusia dituntut pula untuk memelihara kehidupan baik kehidupannya sendiri maupun kehidupan lingkungannya. Sebaliknya, kasus tersebut di atas justru menjungkirbalikkan dan merendahkan kedudukan manusia terhadap hukum kodrat.

2.4 Bunuh Diri dan Pengaruhnya terhadap Moral Manusia
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat menyeleweng dari kodratnya, yang dapat bertindak tidak sesuai dengan kodratnya, melawan kodratnya, karena manusia memiliki rasio untuk mengambil suatu keputusan. Bagi manusia, hukum kodrat sama dengan hukum moral. Hukum kodrat adalah apa yang sekarang kita sebut sebagai prinsip-prinsip dan norma-norma moral. Jadi, bagi manusia hukum kodrat betul-betul berupa hukum dalam arti normatif.
Menurut Thomas, manusia mengetahuinya dari hukum kodrat yang dapat diketahui melalui akal budi. "Lex naturalis nihil aliud est quam participatio legis aeternae in rationali creatura", S.Th. I-II.q.91.art. 2.[4] Dari hukum kodrat, manusia mengetahui perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Hukum kodrat mengacu kepada kodrat manusia. Kodrat adalah realitas, atau struktur realitas, hahikat realitas yang ada. Apa pun yang ada memiliki kodratnya; kodratnya itu memuat semua ciri yang khas bagi masing-masing pengada. Dalam bahasa manusia, segenap makhluk ada struktur-strukturnya kegiatan dan perkembangannya mengikuti struktur-struktur itu. Pengembangan kodrat merupakan tujuan masing-masing makhluk.
Thomas mengajarkan bahwa pertautan antara jiwa dan tubuh manusia harus dilihat antara bentuk (jiwa) dan materi (tubuh), atau hubungan jiwa dan badan tersebut juga bisa dilihat dalam hubungan antara aktus (perealisasian) dan potensia (bakat). Jadi, manusia itu satu substansi saja. Satu substansi sedemikian rupa sehingga jiwalah yang menjadi bentuk badan (anima foma corporis). Dengan perkataan lain, jiwalah yang membuat tubuh menjadi realitas.
Bunuh diri sebagai satu tindakan yang tidak bermoral, karena pada diri manusia terdapat kebaikan yang sesuai dengan kodrat dan berlaku untuk semua substansi, sehingga substansi berusaha untuk melestarikan keberadaannya sesuai dengan hakikat kodratnya. Dalam diri manusia, ada kecenderungan yang berhubungan dengan hal-hal khusus. Semuannya itu sesuai dengan kodrat yang berlaku bagi makhluk-makhluk yang lain. Manusia mempunyai kecenderungan kepada kebaikan yang sesuai dengan kodrat rasionalnya. Artinya, kodrat yang dimiliki manusia berkecenderungan untuk mempertahankan hidup bukan mengakhiri hidup. Jadi, hukum kodrat adalah sebagai suatu manifestasi nilai-nilai kodrat manusia yang tercermin dalam actus humanus (perbuatan manusiawi).
Thomas Aquinas menjelaskan actus humanus sebagai suatu perbuatan manusiawi yang dilakukan oleh manusia sebagaimana layaknya manusia. Manusia itu berbeda dengan makhluk hidup yang lain yang tidak memiliki akal budi. Manusia itu tuan atas dirinya sendiri, sehingga setiap akan disebut manusiawi jika ia melakukan perbuatan yang pantas dan layak. Kasus bunuh diri yang dilakukan oleh manusia bisa dikatakan bukan actus humanus, mungkin juga bunuh diri itu tidak dilandasi oleh kesadaran diri dan kehendak yang bebas.

3. Penutup
Tindakan bunuh diri merupakan satu tindakan yang kurang di dasari oleh akal budi yang jernih. Memang, manusia pada tujuan akhirnya adalah menuju kepada kematian, tetapi bukan dengan cara bunuh diri. Tindakan bunuh diri bukan suatu kesimpulan untuk mencapai tujuan akhir, karena tidak sesuai dengan norma-norma moral yang ada.
Ditinjau dari sudut moril, bunuh diri tidak dapat diterima begitu saja. Secara normatif, penulis menolak bunuh diri dari segi apapun, karena bunuh diri bisa dikategorikan dalam tindakan kejahatan. Meskipun kondisi psikologis, sosial dan budaya tertentu ada yang mengatakan bunuh diri (harakiri)[5] adalah suatu yang terhormat. Bunuh diri dipandang secara obyektif sebagai suatu tindakan yang imoril. Secara de fakto, bunuh diri adalah tindakan yang menolak cinta diri, dan tindakan melepaskan kewajiban cinta kasih terhadap sesama dan masyarakat pada umumnya.
Dalam kenyataannya, bunuh diri berarti suatu penolakan kedaulatan absolut Allah yang menguasai hidup dan mati. Manusia merupakan gambaran (citra) Allah, dan manusia juga diberi kuasa untuk menguasai alam ciptaan termasuk hidupnya sendiri. Mematikan diri sendiri berarti juga mematikan Allah yang berdiam dalam diri manusia. Allah pencipta mempercayakan hidup manusia kepada kepedulian yang bertanggung jawab bukan sebaliknya mempergunakan hidup dengan semaunya sendiri. Manusia mempunyai tugas untuk melestarikannya dan memeliharanya dengan penuh cinta kasih dan kesetiaan.
Manusia secara kodrati memiliki kedudukan yang luhur sebagai makhluk ciptaan. Kodrat manusia yang berjiwa dan berbadan tersebut merupakan kenyataan alamiah yang sifatnya absolut. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk ciptaan yang sempurna dari segala makhluk hidup di muka bumi. Manusia seharusnya memberikan diri untuk secara alami menjalani hidupnya sesuai dengan hukum kodratnya.




DAFTAR PUSTAKA

Go, Piet, Dr., Diktat Teologi Moral Fundamental, STFT: WIDYA SASANA, Malang.


Sumaryono, E, Etika dan Hukum (Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas), Yogyakarta: Kanisius, 2002.

[1] Optio Fundamentalis merupakan sikap dasar manusia untuk memilih secara bebas sesuai dengan keinginan suara hatinya dan setiap keputusan dasar seseorang tidak dapat dipaksakan, karena hal ini adalah hak setiap manusia yang paling hakiki.
[2] Bdk. GS 27.
[3] E. Sumaryono, Etika dan Hukum (Relevansi Hukum Kodrat Thomas Aquinas), hlm. 99.
[4] Piet Go, Dr., Diktat Teologi Moral Fundamental, STFT: WIDYA SASANA, Malang, hlm. 71.
[5] Harakiri adalah tindakan bunuh diri dalam tradisi masyarakat Jepang jaman dahulu.

Rabu, 02 April 2008

EPISTEMOLOGI FEMINIS DALAM TRADISI BUDAYA JAWA

Antonius Agus Sumaryono

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah


Apa itu feminisme? Gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.[2] . Hal ini telah mulai dipikirkan oleh gerakan feminisme. Kaum perempuan menentang dominasi pengetahuan oleh kaum laki-laki. Secara realitas epistemologi merupakan konsep kebenaran yang dimiliki oleh laki-laki. Feminisme menentang konsep epistemologi rasionalis. Feminisme adalah usaha mendobrak budaya patriarki yang menindas ruang gerak perempuan.
Timbulnya gerakan ini adalah suatu hal yang wajar karena kaum perempuan merasakan adanya ketidak-adilan yang dialami. Masyarakat Jawa dan budaya patriaki masih memandang bahwa kaum perempuan itu adalah mahkluk yang lemah dan perlu untuk mendapat perlindungan dari kaum laki-laki. Begitu pula dalam bidang pendidikan perempuan masih memperoleh porsi yang sekunder dalam struktur masyarakat khususnya Jawa.
Dari permasalahan ini kaum perempuan mencoba untuk membongkar tradisi yang ada dalam budaya Jawa bahwa perempuan juga mampu berbuat seperti laki-laki. Feminisme ini berusaha mengangkat harkat dan martabat perempuan dalam usahanya menyetarakan persamaan hak. Dalam bidang ilmu pengetahuan kaum perempuan juga tak kalah jika dibandingkan dengan kaum laki-laki. Kaum perempuan telah mengakui bahwa klaim pengetahuan universal oleh akademi hanya benar-benar mengabdi pada kepentingan dan milik nilai bagi kaum laki-laki dari budaya, kelas, dan ras tertentu.[3] Mereka menganggap bahwa rasionalisasi bukan hanya milik kaum laki-laki saja.
Epistemologi feminis ini diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang terjadi dalam tradisi budaya Jawa. Bagaimanapun juga kaum perempuan mengharapkan suatu perubahan struktur dalam masyarakat yang masih bersifat patriaki. Budaya Jawa seolah-olah mempersempit ruang gerak kaum perempuan. Dengan ini feminisme berupaya menentang epistemologi-epistemologi konvensional dengan mengembangkan paradigma alternatif.[4]

1.2 Tujuan Pembahasan

Tujuan pembahasan ini untuk memberikan pandangan bagaimana epistemologi feminis yang ada dalam tradisi budaya Jawa dimengerti dan dipahami oleh kebanyakan orang dewasa ini. Epistemologi feminis ini dimaksudkan supaya kaum perempuan semakin bisa memandang secara lebih luas mengenai pengetahuan. Kaum perempuan dalam tradisi budaya Jawa masih sangat minim dalam berpengetahuan. Tradisi budaya Jawa kurang mendapat perhatian untuk menumbuhkan semangat menambah pengetahuan terhadap kaum perempuan. Ada istilah dalam budaya Jawa “kangge opo wong wedok sekolah dhuwur-dhuwur akhire ya mbalik neng pawon” hal ini menjadi suatu paradigma yang melekat pada diri kaum perempuan sehingga mereka tidak pernah memperoleh pendidikan yang layak.
Semoga dengan adanya penulisan paper ini semakin menambah khasanah baru bagi kaum perempuan “Jawa” dalam menelaah setiap perkembangan ilmu pengetahuan. Program mencerdaskan kehidupan bangsa adalah cita-cita dari bangsa Indonesia kepada seluruh lapisan masyarakatnya. Penulis berusaha memberikan apa yang menjadi buah pemikirannya terhadap tradisi budaya Jawa yang seakan-akan menomorduakan kaum perempuan dalam memperoleh pengetahuan.

2. Pembahasan
2.1 Siapakah Orang Jawa

Sebelum mengulas tentang feminisme dalam tradisi budaya Jawa sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu siapa orang Jawa dan bagaimana pandangan tradisi budaya Jawa. Dari aspek antropologis, orang Jawa telah lama ada ribuan tahun yang lalu. Hal ini dikuatkan dengan diketemukannya fosil-fosil tua di sekitar Bengawan Solo, Jawa Tengah.[5] Orang Jawa selalu mengatakan bahwa mereka adalah keturunan leluhur Jawa. Leluhur Jawa adalah mereka yang bêbadra (mendirikan) tanah Jawa. Orang Jawa tempo dulu, tampaknya memang tak sedikit yang berumur panjang, karena dilihat dari pembagian sistem kekerabatan, orang Jawa sering kali masih menganut turun pitu (keturunan ke tujuh). Keturunan sampai tujuh ini, merupakan gambaran bahwa orang Jawa rata-rata bisa berumur sampai 150-200 tahun.[6] Adapun cukup rumit untuk mendeskripsikan kebudayaan Jawa karena sesungguhnya kebudayaan Jawa itu tidak homogen. Orang Jawa sebenarnya adalah suatu kontruksi teoritis dan tidak menunjuk kepada kelompok orang perorangan secara konkret tertentu.[7]
Secara umum tipe khas “Orang Jawa” sulit untuk ditentukan. Masyarakat Jawa tidak ada yang mempunyai tipe khas Jawa, masyarakat yang disebut Jawa hanya berpatokan bahwa meraka penduduk pribumi yang lahir di Jawa. Sedangkan secara fisikpun orang Jawa juga sulit untuk ditentukan karena sudah banyak mengalami perkawinan silang dengan suku lain. Untuk memilah-milah secara pasti mengenai “Orang Jawa” kebanyakan orang hanya mengelompokkan berdasarkan nenek moyang secara turun-temurun.
Masyarakat Jawa pada umumnya masih memegang erat tradisi. Orang Jawa sangat menghargai dimensi nilai kemanusiaan dan nilai kesusilaan. Kesusilaan adalah masalah nilai yang melekat dengan kodrat manusia. Nilai kesusilaan adalah bagian dari falsafah hidup orang Jawa. Oleh karena itu hidup harus berhubungan dengan orang lain, agar hidup memenuhi fungsinya, maka semuanya itu dibingkai dalam norma dan adat istiadat. Norma ini menyangkut sikap, tingkah laku, etika bahasa, dan etika pertemuan. Orang Jawa masih kental dengan adat istiadat. Tradisi ini yang mempengaruhi semua aspek kehidupan dari masyarakat Jawa, sehingga setiap tindakan seseorang selalu dikaitkan dengan norma-norma. Norma dalam budaya Jawa menjadi salah satu tolok ukur dalam menilai tingkat kesusilaan dan kesopanan dari seseorang, sehingga setiap perilaku seseorang selalu disoroti dengan norma sehingga manusia tidak mempunyai suatu kebebasan dalam berekspresi. Semua ini pada akhirnya akan mematikan daya kreatifitas dalam diri setiap manusia.

2.2 Latar Belakang Budaya Jawa

Penduduk-penduduk asli Jawa adalah masyarakat yang menggunakan bahasa ibunya bahasa Jawa, mereka inilah yang seringkali dikatakan orang Jawa. Di Jawa dipergunakan empat bahasa yang berbeda.[8] Masyarakat yang dikatakan Jawa ini kebanyakan mendiami bagian tengah dan bagian timur Pulau Jawa. Orang Jawa dibedakan dari kelompok-kelompok etnis lain di Indonesia karena latar belakang sejarah yang berbeda, oleh bahasa dan kebudayaan mereka.
Kebudayaan dari tiap-tiap bangsa dapat dibagi ke dalam unsur-unsur yang tidak terbatas jumlahnya. Namun demikian, unsur kebudayaan itu dapat dikualifikasikan ke dalam dua unsur hakiki, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Kebudayaan merupakan unsur yang paling hakiki dalam membentuk suatu kepribadian dari suatu masyarakat. Dengan mengetahui dan memahami kebudayaan kita mulai bisa melihat bagaimana kebudayaan memandang dan melihat segala sesuatunya.
Epistemologi Feminis dalam tradisi budaya Jawa diharapkan membawa para pembaca setidak-tidaknya mengetahui bagaimana latar belakang budaya dan cara pandang budaya Jawa terhadap feminisme. Budaya Jawa secara umum menganut sistem patriaki yang artinya semua kegiatan dalam rumah tangga, tradisi adat, struktur kepemimpinan dan sistem pemerintahan yang ada kebanyakan masih ditangani oleh kaum laki-laki. Bagi kaum perempuan hal seperti ini menjadi suatu ketidak-adilan padahal pada dasarnya manusia mempunyai kodrat yang sama.
Secara umum budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha. Hal ini terlihat dengan sangat jelas bahwa kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa mempunyai motif kebudayaan Hindu dan Budha. Peninggalan-peninggalan sejarah berupa candi dan ritus-ritus keagamaan banyak dipengaruhi oleh Hindu dan Budha. Ide-ide Jawa asli sudah bercampur dengan budaya Hindu dan Budha[9] dengan bentuk tradisi yang mirip dengan yang ada di India.
Tidak mengherankan, orang-orang Jawa kuno masih kental dengan adat-istiadat yang menjadi tradisi dari nenek moyang. Tradisi ini juga mengadopsi tradisi dari Hindu dan Budha dalam setiap upacara keagamaan dan ritual adat. Dari tradisi ini, kebudayaan Jawa mengalami suatu inkulturasi sehingga budaya asli atau murni yang menggambarkan suatu ciri tertentu dari budaya Jawa sudah tidak bisa dibedakan lagi. Dengan kata lain, budaya Jawa asli sulit untuk dikenali lagi.

2.3 Pandangan Dunia Jawa Mengenai Epistemologi Feminis

Apa yang dimaksud pandangan dunia Jawa? Pandangan dunia Jawa adalah keseluruhan semua keyakinan deskriptif tentang realitas sejauh suatu kesatuan yang daripadanya manusia memberi suatu struktur yang bermakna kepada alam pengalamannya.[10] Pandangan dunia Jawa bukan suatu pandangan yang abstrak tetapi mempunyai fungsi sebagai suatu sarana menuju kepada keberhasilan. Masyarakat Jawa pada umumnya masih mempunyai pandangan mengenai dunia mistik. Pandangan dunia Jawa ini tidak bisa terlepas dari tradisi.
Tradisi budaya Jawa masih melekat terhadap alam semesta sebagai dunia yang memberikan kehidupan. Tradisi ini sangat bersifat irasional. Mereka mengakui tentang keberadaan dari Sang Pemberi Kehidupan. Tradisi yang ada tidak bisa dirumuskan secara ilmiah, tetapi masyarakat modern masih memegang tradisi itu. Pandangan ini sudah mengakar pada individu yang memegang tradisi budaya Jawa.
Ilmu pengetahuan bukanlah sebagai jawaban atas dunia mistik. Dunia mistik atau mitos sangat berkembang dalam tradisi budaya Jawa karena ini berkait erat dengan kepercayaan atau keyakinan. Mitos mengenai feminisme sebenarnya sudah ada dan cukup berkembang. Tokoh Dewi Sri sangat diyakini sebagai dewa pelindung padi. [11] Mitos ini sebenarnya sudah mengangkat martabat dari kaum perempuan, tetapi pada prakteknya kaum perempuan Jawa tidak memperoleh porsi yang sama dalam berpengetahuan.

2.4 Epistemologi Feminis dalam Tradisi Budaya Jawa dan Perkembangannya

Sebenarnya dalam sejarah bangsa Indonesia perempuan mampu untuk tampil sebagai pemimpin. Hal ini terbukti pada jaman kerajaan Mojopahit yang pernah dipimpim oleh seorang ratu yang bernama Tri Buana Tungga Dewi. Bukan hanya itu saja masyarakat tradisional Jawa dalam mitos kuno juga memuja-muja Dewi Sri yang dianggap sebagai dewi kesuburan dan pemelihara tanaman padi. Perempuan sebenarnya memiliki posisi penting dalam tradisi Jawa kuno.
Dilihat dari kebudayaan Jawa, feminisme pernah mengalami suatu masa yang penuh dengan perjuangan. Tokoh pejuang kaum feminisme ini adalah RA. Kartini yang sangat menolak tindakan yang menyepelekan kaum perempuan. Perjuangan RA. Kartini ini menunjukkan bahwa pada dasarnya kaum perempuan juga ingin mendapat perlakuan yang sama dengan kaum laki-laki. Hal ini dilatar belakangi oleh tradisi Jawa yang memandang kaum perempuan atau feminis hanya sebagai “Konco Wingking” artinya hanya teman di dapur saja sehingga semua ini yang membuat kaum perempuan Jawa tidak bisa berkembang.
Pandangan tradisional Jawa yang mengangap bahwa kaum perempuan itu hanya berurusan dengan posisinya sebagai seorang istri. Ada isitilah yang sangat melekat pada kaum perempuan Jawa dengan sebutan ma telu “manak, macak, masak”.[12] Hal tersebut juga pernah dikatakan oleh Nietzsche mengenai kebenaran tentang perempuan: “Perhaps truth is a woman who has reasons for not letting us see her reason?”[13] Meskipun Nietzsche kelihatan menghargai perempuan, tetapi ia tidak bisa melihat perempuan secara utuh. Baginya, seksualitas perempuan apalagi organ seksualitasnya tetap menakutkan dan gelap. Nietzsche sendiri bukanlah orang yang mengklaim bahwa dirinya adalah penganut aliran feminisme.
Dalam budaya Jawa sebagian besar kaum perempuan memperoleh perlakuan yang kurang adil dalam memperoleh haknya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Orang Jawa menganggap bahwa kaum perempuan itu tidak perlu untuk sekolah dan menuntut ilmu pengetahuan ke jenjang yang lebih tinggi karena pada hakekatnya nanti akan kembali pada urusan “belakang”[14]. Paradigma semacam ini sudah melekat kaum perempuan Jawa. Dengan permasalahan tersebut di atas kaum perempuan berusaha untuk berjuang dalam kesetaraan memperoleh kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam bidang menuntut ilmu pengetahuan.
Kedudukan ini kurang menguntungkan bagi kaum perempuan Jawa yang pada dasarnya menganut budaya patriaki. Kaum laki-laki memperoleh prioritas utama untuk mempelajari suatu ilmu pengatahuan. Semua itu tidak bisa dipungkiri lagi, karena rasionalitas merupakan monopoli dari kaum laki-laki. Walaupun demikian, para epistemolog tidak semua menerima definisi ini yakni “cara perempuan berpengetahuan”. Pendapat para epistemolog sangat skeptis karena tidak menghiraukan konteks sosial dalam pengetahuan dan intervensi status pengetahuan.
Budaya Jawa menganggap bahwa kaum perempuan adalah kaum lemah sehingga perlu mendapatkan suatu perlindungan dari kaum laki-laki. Kaum perempuan mempunyai peranan penting dalam membangun kehidupan keluarga, karena mereka sangat berpengaruh dalam mendidik dan membesarkan anak. Kaum perempuan dianggap kurang mampu dan cakap dalam urusan yang bersifat rasional. Tradisi budaya Jawa telah mengkerdilkan dan menutup perkembangan bagi kaum perempuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Kaum perempuan Jawa secara radikal bersikeras untuk menyatakan persamaan hak dengan kaum laki-laki. RA. Kartini sebagai motor penggerak kaum feminis di Indonesia berusaha memberikan jalan agar budaya Jawa membuka diri terhadap liberalisasi. Gerakan feminisme yang dilakukan oleh para kaum perempuan Jawa telah memberikan satu kedudukan yang lebih terhormat lagi pada masa sekarang ini. Kaum perempuan Jawa sudah bisa menempati kedudukan yang dahulu dipegang oleh kaum laki-laki. Secara konvensional kaum perempuan sedikit banyak terangkat martabatnya. Dengan ini feminisme berupaya menentang epistemologi-epistemologi konvensional dengan mengembangkan paradigma alternatif.[15]
Sekarang kaum perempuan Jawa mengalami banyak perubahan seiring dengan perkembangan pengetahuan yang gencar masuk dalam struktur masyarakat. Pengetahuan sudah bukan lagi menjadi monopoli untuk kaum laki-laki. Sudah cukup banyak posisi-posisi penting dalam struktur masyarakat jawa yang dipegang oleh kaum perempuan. Usaha memperoleh pengetahuan bagi kaum perempuan telah menjadi sesuatu yang penting dalam mengembangkan sumber daya manusia Indonesia, khususnya kaum perempuan Jawa.
Dalam perkembangannya, kaum perempuan Jawa bukan hanya sebagai puncak birahi kaum laki-laki saja. Pendapat Charles Mills’s yang dikembangkan oleh Nancy Tuana “concept of "epistemologies of ignorance" by looking at the ways in which ignorance, rather than knowledge, is constructed by studies of sexuality and public school sex education programs.[16] Secara natural perempuan adalah sebagai penerus atau pemelihara kehidupan dengan memberikan keturunan. Pada dasarnya kaum perempuan tidak mau hanya sebagai pemuas hubungan seks.
Tradisi Budaya Jawa yang mulai memasuki era baru telah berani membuka pintu bagi peran serta aktif kaum perempuan dalam kancah masyarakat. Hal ini mengangkat martabat kaum perempuan kepada kesetaraan dengan kaum laki-laki. Ternyata dalam prakteknya kaum perempuan juga mampu untuk produktif dalam usahanya membantu perekonomian keluarga. Seiring dengan perkembangan dunia ilmu pengetahuan sangat menuntut bagi setiap orang untuk bersaing dan hal ini tidak menutup kemungkinan juga bagi kaum perempuan.
Sekarang perempuan bukan hanya sebagai alat pemuas laki-laki. Peran serta kaum perempuan telah banyak terangkat oleh maraknya dunia entertainment. Pennie dalam bukunya menyatakan “Women exist to gratify men. Women are part of a man’s conquest. She enchances his manhood. An ad for jag jeans porttrays a young man carying a pretty woman flung over his shoulders with her buttocks prominently displayed in tight-fitting jeans. The ad of “Palomino” jeans and slacks portrays a woman who has cought the attention of two men. The copy reads in part: “The fiercest slacks in town...dares to take offense and stir the senses...and for the purely feminine, our ladies’ slacks are juat like you. Close to the curve, and surely close to your man.”[17] Dia menekankan bukan pada eksploitasi kaum perempuan tetapi bagaimana kaum perempuan telah mampu mengambil peran penting dalam dunia bisnis.
Sudah banyak kaum perempuan yang telah berhasil untuk mandiri dan tidak bergantung pada kaum laki-laki. Mereka telah menunjukkan eksistensinya terhadap kaum laki-laki. Kaum perempuan Jawa sudah tidak asing lagi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang seringkali menjadi dominasi bagi kaum laki-laki. Ilmu pengetahuan memberikan banyak solusi bagi kaum perempuan dalam sumbangsihnya terhadap dunia secara global. Dengan menguasai ilmu pengetahuan kaum perempuan semakin mampu bersaing dengan kaum laki-laki.


3. Kesimpulan

Dari uraian tersebut di atas kaum perempuan bukan saja menjadi “boneka” bagi ilmu pengetahuan. Kaum perempuan dalam tradisi budaya Jawa mengalami perubahan yang cukup signifikan baik dalam taraf pola berpikir maupun hidupnya. Ilmu pengetahuan menghantar kaum perempuan Jawa kepada tingkat yang lebih baik dalam kedudukannya terhadap kaum laki-laki. Pemahaman inteletual bagi kaum perempuan sudah seharusnya menjadi prioritas. Hal ini terkait dengan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia pada umumnya yang relatif minim terhadap kaum perempuan.
Ilmu pengetahuan merupakan jendela untuk masuk dalam dunia modern. Dengan adanya ilmu pengetahuan kaum perempuan memperoleh banyak informasi yang berguna dalam mengembangkan kemampuannya. Kaum perempuan berpengetahuan membantu dalam usaha memelihara kehidupan berkeluarga. Pendidikan ilmu pengetahuan bermula dari keluarga dan kaum perempuan mempunyai peranan yang vital.
Saya sangat mendukung dengan adanya kaum perempuan yang berpengetahuan, karena semakin banyak kaum perempuan yang berpengetahuan akan meningkatkan masyarakat yang berintelektual. Dengan keberadaan dari kaum perempuan yang berintelektual semakin meningkatkan Sumber Daya Manusia Jawa pada khususnya. Pemberdayaan kaum perempuan diharapkan dapat membantu negara dalam pembangunan.




DAFTAR PUSTAKA DAN SUMBER BACAAN LAIN


Azarcon-de la Cruz, Pennie S. Images of Women in Philippine Media, Manila: Normine Printing House, 1988.

Brook, Ann, Postfeminisme, Yogyakarta: Jalasutra, 2005.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Endraswara, Suwardi, Falsafah Jawa, Tangerang: Cakrawala, 2003.

Evans, E. E-Pritchard, The Position of Women in Primitive Societies and Other Essays in Social Anthropology, London: Faber and Faber LTD, 1965.

Jatman, Darmanto, Psikologi Jawa, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000.

Nietzsche, The Gay Science, terj. Walter Kaufmann, New York: Vintage Books, 1974.

Sudarminta, J, Epistemologi Dasar, Kanisius: Yogyakarta, 2002.

Suseno, Franz Magnis, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia, 2001.

Tong, Rosemarie Putnam, Feminist Thought, Yogyakarta: Jalasutra, 2005.

Tuana, Nancy, "Coming to Understand: Orgasm and the Epistemology of Ignorance," Hypatia, 2003.

[1] Cabang ilmu filsafat yang khusus menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan, J.Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar filsafat pengetahuan, hlm. 18.
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 315.
[3] Ann Brooks, Postmoderisme, hlm. 44.
[4] Ibid, hlm. 45.
[5] Fosil tertua disebut Pithecantropus Erectus dan fosil termuda disebut Homo Soloensis yang diketemukan di wilayah Jawa Tengah dan diduga bahwa propinsi ini yang menjadi nenek moyang orang Jawa. Suwardi Endraswara, Falsafah Jawa, hlm. 1.
[6] Ibid. hlm. 12.
[7] Darmanto Jatman, Psikologi Jawa, hlm. 23.
[8] Penduduk asli Ibukota Jakarta menggunakan dialek Melayu-Betawi. Di bagian tengah dan selatan Jawa Barat menggunakan bahasa Sunda, sedang Jawa Timur bagian utara dan timur menggunakan bahasa Madura karena sebagian besar adalah imigran asal Madura, sedang di Jawa Tengah dan Jawa timur menggunakan bahasa Jawa. bdk. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, hlm. 11.
[9] Ibid. hlm. 27.
[10] Ibid. hlm. 82.
[11] Dia adalah pembawa berkah dalam bidang pertanian, karenanya pada awal menanam padi dan memanen padi orang Jawa selalu memitoskan Dewi Sri. Caranya, dengan melaksanakan selamatan agar hasil pertanian yang dihasilkan lebih bermanfaat. Suwardi Endraswara, Op. Cit. hlm. 202.
[12] Pandangan demikian telah menghantar posisi perempuan pada tempat yang “terhormat” di hadapan laki-laki. Perempuan yang dianggap setia, jika dapat memenuhi tiga hal tersebut. Menurut salah satu teori feminis, secara psikologis, ideologis, dan filosofis, perempuan tidak lagi sebagai objek laki-laki, atau “pemuas”. Terlebih di kalangan para pangeran atau priyayi, jelas menganggap perempuan adalah pemuas seks. Suwardi Endraswara, op. cit. hlm. 56.
[13] Nietzsche, The Gay Science, hlm. 38
[14] Istilah “belakang” ini sebenarnya memberikan suatu gambaran bahwa kaum perempuan Jawa tidak sangat identik dengan urusan dapur, mengasuh anak, dan kurang mendapatkan status sebagai pemegang kendali baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
[15] Ann Brooks, Op. Cit, hlm. 45.
[16] Nancy Tuana, Coming to Understand: Orgasm and the Epistemology of Ignorance," Hypatia, hlm. 1-35
[17] Bdk. Pennie S. Azarcon-dela Cruz, Images of Women in Philippine Media, hlm. 37.