Kamis, 15 Mei 2008

PEMERINTAHAN MENURUT THOMAS MORE (Pandangan "Utopia" Thomas More)

By. Antonius Agus Sumaryono

I. Pendahuluan
Dalam suatu negara sistem pemerintahan merupakan unsur yang terpenting dalam mengatur masyarakat. Sistem pemerintahan yang baik adalah sistem yang didasari oleh aspirasi dari masyarakat yang membentuknya. Plato dalam bukunya Republic menyebutkan bentuk-bentuk pemerintahan antara lain kerajaan atau aristokrasi, timokrasi[1], oligarkhi[2], demokrasi[3], tirani[4] semuanya itu memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Bentuk-bentuk pemerintahan tersebut menurut pendapat Plato yang terbaik adalah bentuk kerajaan atau aristokrasi.
Pada dasarnya setiap negara menginginkan sistem pemerintahan yang diterapkan dalam negaranya dapat mengayomi atau menjadi pelindung bagi masyarakat yang ada di dalamnya. Struktur pemerintahan yang baik dalam negara merupakan suatu harapan bagi seluruh warganegara. Dalam paper ini More memberikan pandangan mengenai bentuk atau sistem pemerintahan yang ideal.
Thomas More dalam bukunya yang berjudul “The Best State of a Commonwealth and The New Island or Utopia” atau yang dikenal dengan sebutan “Utopia” mencoba untuk memberikan pandangan bagaimana sistem pemerintahan yang ideal itu. Dalam Utopia More memberikan pandangan bahwa pemerintahan suatu negara yang didasarkan pada prinsip humanis merupakan sistem pemerintahan yang ideal.[5]
Sistem pemerintahan yang ideal itu adalah harapan bagi setiap warganegara. Sistem itu disusun berdasarkan suatu struktur hierakhis, yakni negara dipimpin oleh seorang pemimpin yang mempunyai sikap humanis dan perhatian terhadap kepentingan setiap warganya. Penulis mencoba untuk membahas pemikiran More mengenai pandangannya tentang pemerintahan.
Penulis dalam paper ini ingin mengupas pandangan More terhadap pemerintahan yang ideal. Penulisan ini tidak bisa lepas dari bagaimana konteks More menulis, latar belakang More menulis, hingga pemerintahan yang ideal menurut sudut pandang More serta aplikasinya pada zaman sekarang.

II. Latar belakang kehidupan Thomas More
Thomas More dilahirkan di London tahun 1477, ia dilahirkan pada masa kekuasaan Raja Edward IV (1461-1483). Orang tuanya adalah seorang pedagang yang cukup makmur di London. Pendidikan More diawali di St. Anthony’s, Threadneedle Street satu sekolah yang terkenal di London. Setelah itu, ia mengabdi jadi pesuruh istana Lambeth, rumah keluarga John Morton Uskup Agung Canterbury. Ia melanjutkan studynya di Universitas Oxford di London dengan mengambil bidang hukum.
More sempat tinggal di Charterhouse di London bersama para biarawan Carthusian pertama. Ia menjalani hidup seperti biarawan dengan ketaatan, ortodoksi religius dan pola hidup iman. Pengalaman hidup bersama dengan para biarawan itu mempunyai pengaruh terhadap hidup spiritual More.
More mempunyai pandangan kritis terhadap metode-metode yang dianggap tidak efisien dan tidak kreatif yang diterapkan di sekolah dan perguruan tinggi. Bersama dengan teman-temannya More membahas tentang pandangan suatu pergerakan yang terjadi di Eropa pada waktu itu[6]. Gerakan humanisme ini merupakan suatu gerakan pembaharuan dalam bidang pendidikan dengan bersumber pada ajaran klasik kristen. Ia juga menjalin hubungan dengan tokoh gerakan humanisme Belanda Desiderius Erasmus. Tulisan humanistik More ini yang akhirnya membawa dia dipilih untuk menjadi anggota parlemen di London tahun 1510.

Kehidupan Perkawinan More
Pada tahun 1505 More menikah dengan Jane Colt dan mempunyai empat orang anak: Margaret, Elisabeth, Cecily, dan John. Mereka tinggal di Old Barge, Bucklersbury. Tahun 1511 istri More maninggal dan ia menikah lagi dengan Lady Alice Middleton seorang janda dengan satu anak perempuan. Andrea Ammonio menamakan Alice si “cerewet berhidung betet”. Lady Alice banyak membantu More dalam merawat anak-anaknya.
Alice adalah orang yang mempunyai sikap keras, tetapi More sangat menikmati hidup bersama dengannya karena ia selalu menghargai tanggapan-tanggapan yang diberikan Alice kepadanya. Alice juga orang yang sangat ambisius dan banyak memberi dukungan kepada More untuk terjun dalam kehidupan publik. More dapat measakan keharmonisan hidup rumah tangganya karena Alice seing membuatnya tertawa sewaktu ia di penjara.

Sebuah potret keluarga
Seorang pelukis yang bernama Hans Holbein melukis sebuah potret Thomas More dengan keluarganya. Pada zaman Renaisans potret mempunyai maksud dan makna yang berarti, karena potret menjadi bukti dari kekayaan, posisi, dan kedudukan penting suatu keluarga.
Sedangkan Erasmus menggambarkan keluaga mereka seperti sebuah akademi Plato dalam bentuk Kristen.[7] Lukisan tersebut menggambarkan suatu keharmonisan dan kerukuna dalam kehidupan keluaga. Hakim John More ditempatkan pada kedudukan yang terhormat di sebelah kanan anaknya. Istri dan anak-anaknya digambarkan sambil memegang sebuah buku, ini menandakan bahwa keluaga mereka adalah kaum terpelajar.
Potret ini juga menggambarkan tentang keluarga kisten yang saleh dan terpelajar. Keharmonisan hidup dalam keluarga mereka yang menjadi retret sempurna bagi seorang negarawan yang sibuk. Potret keluarga mereka menampilkan ciri khas humanis antara duniawi dan religius, kesenangan dan moralitas, devosi dan belajar.

III. Utopia
Utopia adalah gambaran dari keberadaan suatu negeri dengan sistem pemerintahan khayalan yang diwujudkan dalam keadaan yang riil atau nyata. Dalam artian negara dengan sarana yang realistis untuk melakukan perubahan dan pembaharuan politik, dan sama sekali tidak bersifat idealistik.[8] Untuk membentuk suatu sistem pemerintahan seperti yang digambarkan oleh More bukanlah suatu pekerjaan yang mudah bagi pemimpin.
Utopia merupakan suatu konsep pemerintahan angan-angan dari kehidupan negara yang adil dan damai. More menulis Utopia ini tidak lepas dari latar belakang kehidupan keluarga mereka. Kehidupan keluarga yang harmonis ini dijadikan suatu bahan tulisan untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang humanistis. Beranjak dari latar belakang kehidupan keluarga ini More memiliki kerangkan pemikiran tentang suatu negara yang ideal.
Utopia merupakan cermin dari pandangan More yang humanistis. Utopia juga merupakan gambaran dari suatu perjalanan menuju tempat “yang tidak ada” (khayalan). Semua ini adalah suatu gagasan dari More dalam mewujudkan suatu tatanan pemerintahan yang dinamis dan menjadi harapan bagi semua orang. Pada awalnya gagasan Utopia dari More ini adalah suatu bentuk karangan yang tidak dimaksudkan untuk dianggap serius. Utopia dipahami sebagai pulau khayalan, dimana More ingin menggambarkannya sebagai dunia baru.

IV. Keadilan menurut More
Sebagian besar hidup More dihabiskan sebagai seorang pengacara dan hakim. Reputasinya melejit karena profesinya sebagai seorang hakim bukan sebagai seorang politikus.[9] Dalam kurun waktu tigapuluh satu bulan ia memeberikan sumbangsih yang sangat besar bagi perkembangan keadilan yang tidak memihak dalam sistem hukum Inggris. Tetapi ia tidak pernah menulis apapun mengenai hukum umum Inggris dan hukum Gereja.
Dalam Utopia buku satu More memberikan pendapat mengenai penerapan hukum yang terasa kaku terhadap masalah-masalah yang terkadang tidak adil dan tidak tepat. Contohnya memberikan hukuman mati terhafap pelaku pencurian adalah suatu tindakan yang tidak adil karena tidak sebanding dengan kesalahan yang diperbuat. Hukuman tersebut tidak efektif karena tdak menghalangi tindakan kejahatan itu.
Permasalahan hukum segarusnya mempertimbangakan masalah yang menjadi akar penyebab dari tindak kejahatan tersebut. Orang melakukan tindakan pencurian ini adalah suat usaha untuk bertahan hidup. Konteks kesulitan ekonomi waktu itu menuntut orang untuk dapat bertahan hidup, sehingga bagi orang-orang tertentu yang tidak mampu usaha mempertahankan hidup adalah dengan mencuri. Penerapan hukuman mati terhadap pelaku pencurian yang terasa kaku karena tidak mempertimbangkan sebab-sebab sosial dari tindakan kejahatan tersebut.
Hukum kriminalitas tersebut sangat menguntungkan bagi golongan kaya, yang mampu untuk membayar proses pengadilan. More mencoba untuk menerobos sistem hukum Inggris yang tidak mempunyai suatu kerangka universal karena hanya mengandalkan hukum kasus. Hukum tersebut sering menggunakan suatu prosedur yang kaku, oleh sebab itu diperlukan suatu penyederhanaan sehingga kasus dapat diproses secara lebih cepat. Ada kecenderungan bagi ahli hukum menggunakan prosedur hukum umum yang kaku dap[at dibatasi dengan mengembangkan sistem pengadilan yang mempertimbangkan azas keadilan. Hukum lama dirasa oleh More tidak fleksibel dan tidak bisa menjawab tantangan keadaan terus berkembang. More lebih memperluas pelaksanaan sistem pengadilan ketimbang memperbaharuinya.

V. Pandangan pemerintahan More
Pemerintah Inggris

Raja Henry VIII yang memerintah kerejaan Inggris abad XVI merupakan pemimpin tertinggi di wilayah Inggris. Masa Raja Henry ini munculnya persoalan keagamaan yaitu anglikan. Anglikan muncul karena kebijakan dari Raja Henry VIII yang ingin memisahkan Gereja dengan negara. Otoritas kekuasaan raja yang memisahkan Gereja dengan negara ini secara otomatis Raja Henry ingin melepaskan dir dari pengaru Gereja Katolik Roma.
Pemisahan Gereja Katolik Roma ini bukan karena adanya konflik teologis, melainkan suatu tindakan personal yang memiliki latar belakang politis. Raja Henry VIII adalah seorang yang ambisius, ia ingin kekuasaan itu menjadi warisan untuk keturunannya. Permasalahannya adalah ia tidak mempunyai anak laki-laki yang akan menjadi pewaris dari tahta kerajaan. Oleh karena itu ia berusaha untuk mencari pemecahan supaya ia memperoleh keturunan laki-laki. Ia berusaha untuk menceraikan istrinya karena tidak memberikan anak laki-laki kepadanya, sedangkan dalan hukum Gereja Katolik Roma tindakan cerai adalah tindakan yang dilarang.
Ia mempunyai maksud untuk menikah lagi dengan Anne Boelyn, namun tindakan dari Raja Henry VIII ini menimbulkan permasalahan baru dalam Gereja. Gereja tidak menyetujui rencana dari Raja Henry VII untuk menikah lagi, karena ia sudah tidak mengindahkan lagi hukum Gereja[10], maka ia diekskomunikasi oleh pihak Gereja yang pada waktu itu Clemens VII sebagai Paus. Dengan ekskomunikasi dari Gereja, Henry mengangkat dirinya sebagai pemimpin Gereja baru di Inggris. Karena tindakan Raja Henry VIII ini bagi setiap orang yang tidak mau mengakuinya sebagai pimpinan Gereja Inggris akan dibunuh.
Dengan pemisahan ini bentuk pemerintahan Inggris sudah tidak lagi di kontrol oleh kekuasaan Gereja Katolik Roma. Konflik antara Raja Henry VIII dengan penguasa tertinggi Roma ini juga dikritik oleh More. More sangat mempertahankan ajaran Gereja Katolik Roma, karena mempertahankan keyakinannya itu ia sipenjarakan oleh Raja Henry VIII dan akhirnya dijatuhi hukuman mati.

Pemerintahan Utopia
Dengan berlatar belakang dari pemerintahan Inggris More mencoba untuk menggambarkan suatu pemerintahan yang baik. Pandangan More terhadap sistem pemerintahan ini mengkontraskan antara pemerintahan Inggris dengan latar belakang kehidupan dari keluarganya. Kehidupan keluarga More yang harmonis menjadi satu gambaran baginya bagaimana sistem pemerintahan yang ideal menurut pandangannya. Negara yang harmonis dikaitkan dengan hubungan yang harmonis dalam keluarga. Pandangan More ini sangat terlihat jelas sifat humanismenya, karena memperhatikan banyak aspek yang mengutamakan sisi manusiawinya.
More memberikan satu perbandingan sistem pemerintahan yang humanis dengan pemerintahan Tirani dari raja Richardus III. More menulis karyanya “The Best State of a Commonwealth and The New Island or Utopia” sebagai sistem pemerintahan yang ideal, sedangkan menurut Richard III study tentang Tirani adalah awal kehancuran dari pemerintahan yang baik. Richard memperoleh kekuasaan dengan cara merebutnya dari para keponakannya sebagai pewaris tahta pemerintahan yang sah. Richard juga menghapuskan klaim pewaris sah atas kekuasaan dan menolak perlindungan suaka atas keluarga pewaris yang sah.
Utopia More mencoba untuk memberikan jawaban terhadap dilema yang diajukan oleh Richard III. More merasa was-was dalam tulisan historisnya. Mengubah suatu peristiwa setidaknya melihat peristiwa yang telah terjadi supaya kita belajar dari kesalahan atas peristiwa yang telah lalu, sehingga tidak perlu untuk mengulanginya kembali di masa yang akan datang.
Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mau merefleksikan suatu peristiwa yang baik dan yang buruk. More memberikan pemerintahan Utopia sebagai bentuk dari negara-negara federasi kota-kota yang memiliki otonomi dalam mengatur segala macam urusan internal dengan menggunakan rumah tangga sebagai dasarnya[11]. Permasalahan yang penting untuk dibicarakan adalah pembentukan dewan yang terdiri dari pejabat-pejabat yang dipilih dan mengkonsultasikan dari rumah tangga mereka. Pemerintahan kota Utopia berusaha untuk menghindari bentuk aristokrasi, dan melibatkan warganegara dalam mengambil keputusan secara demokratis. Di sini More menonjolkan sifat paternalistik dengan mencerminkan nilai-nila yang ada dalam keluarga More.
Utopia tidak mengandung unsur kesenangan dalam berpolitik tetapi struktur politik itu dibentuk untuk memberikan fasilitas bagi kehidupan yang baik. Artinya bahwa politik memasukkan bentuk-bentuk kehidupan yang baik yang bersumber dari hidup keluarga yang baik. Politik di sini menganut suatu azas yang didasari dengan sistem kekeluargaan sehingga pemerintahan dapat memberikan kenyamanan dan kedamaian bagi seluruh masyarakatnya.
Utopia memberikan gambaran adanya kerjasama yang baik antara masyarakat dengan pemimpin. Kerjasama ini diterapkan dalam sistem pemerintahan Utopia dalam membangun kota-kota dan perekonomian masyarakatnya. Setiap masyarakat akan diberikan pekerjaan sesuai dengan bidang keahlian yang dimilikinya. Masyarakat juga diberikan kebebasan untuk memilih bentuk keahlian yang diminati sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Sistem pemerintahan utopia berbeda dengan yang ada di kota Inggris. Pemerintahan di kota Inggris tidak ada bentuk dan model kerjasama antara raja dengan masyarakat. Kekuasaan raja adalah kekuasaan yang mutlak sebagai penguasa dari otoritas kota. Suara raja adalah suara rakyat. Artinya, bahwa rakyat harus patuh dan tunduk oleh perintah raja. Sedangkan pada pemerintahan Utopia lebih mengutamakan kerjasama antara pemimpin dengan masyarakatnya. Dengan demikian terjalin komunikasi yang sifatnya saling mendukung dalam terbentuknya suatu struktur pemerintahan yang ideal.

Pandangan pemerintahan menurut More
Beranjak dari sejarah More memberikan pandangannnya mengenai pemerintahan yang ideal. Pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan yang mengutamakan adanya dialog dan kerjasama yang baik diantara masyarakatnya. Masyarakat sebagai pondasi dari suatu negara menjadi patokan atau ukuran dari pemerintahan yang ideal. Apabila masyarakatnya hidup dalam suasana damai dan harmonis maka pemerintahan yang ideal dapat diwujudkan.
Bentuk kerjasama antara masyarakat ini merupakan satu keutamaan dalam mewujudkan kebahagiaan secara komunal. Keutamaan itu berarti bahwa manusia hidup menurut hukum kodrat. Tidak ada yang lebih manusiawi dibandingkan dengan meringankan penderitaan orang lain. Kodrat manusia adalah hidup dengan saling mencintai dan bentuk saling mencintai itu adalah dengan cara saling memperhatikan satu sama lain.
Dari kodrat manusia itulah More memberikan gambaran bagaiman pemerintahan yang ideal itu. Pemerintahan yang ideal itu karena adanya interaksi dan komunikasi dalam masyarakat dan adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Hal ini adalah inti untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang ideal.
Pandangan pemerintahan yang ideal menurut More sangat berbeda dengan pandangan dari Plato.[12] Plato sangat mementingkan pendidikan bagi setiap warganegaranya untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang adil sedangkan menurut More pemerintahan yang ideal adalah adanya kerjasama yang baik antara masyarakat dengan pemimpinnya. More memandang idealisme dari sudut keharmonisan yang dijalin oleh antar individu, karena More melihatnya dari kehidupan dalam keluarganya sendiri.
Dapat dikatakan bahwa pemerintahan yang ideal menurut More adalah sebuah khayalan belaka, karena tak mungkin hal tersebut dapat dicapai. Cara pandang pemerintahan tidak mungkin diwujudkan hanya menilai dari sudut pandang kehidupan dalam keluarga More. More memandang secara sempit sistem pemerintahan yang ideal hanya sebatas dengan kehidupan harmonis dari keluarga.

VI. Relevansi
Atas dasar pandangan More ini suatu negara menjadi sebagai keluarga bagi setiap warga negara yang diam di dalamnya. Pandangan More ini sangat relevan di masa sekarang. Banyak negara yang dewasa ini sedang mengalami kekacauan karena pemerintahan kurang menghargai dan menghormati pendapat dan aspirasi dari warga negaranya.
Aspirasi rakyat sangatlah penting dalam membentuk adanya pemerintahan yang ideal. Munculnya suara dari bawah menandakan bahwa masyarakat merupakan unsur penting dari terbentuknya suatu negara. Bangsa Indonesia yang secara definitif memakai sistem pemerintahan demokrasi “Dari rakyat untuk rakyat” masih jauh dari gambaran More mengenai pemerintahan yang ideal. Pemimpin (DPR) sebagai aspirasi dari suara rakyat masih belum maksimal menyuarakan suara rakyat yang memilihnya. DPR yang merupakan bentukan atas pilihan rakyat masih belum menjalankan tugasnya dengan baik meskipun kerjasama rakyat dalam memilih mereka untuk duduk dalam parlemen bukan berarti mereka mampu membawakan keinginan rakyat sepenuhnya.
Gambaran Utopia Thomas More masih mengalami kesulitan untuk diwujudnyatakan atau diaplikasikan dalam sistem pemerintahan yang ideal. Realitas yang terjadi adalah kerjasama yang dibangun dari bawah oleh rakyat dalam memilih dan menentukan wakil mereka belum juga mampu mengaspirasikan suara dari kerjasama seperti yang di gambarkan oleh More dalam penerintahan di Utopia. Rakyat kerapkali masih dirugikan oleh hasil kerjasama itu.
Hal ini perlu bagi kita untuk merefleksikan seperti apa pemerintahan yang benar-benar mampu untuk mengangkat suara dari bawah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganegara. Padahal dalam pembukaan UUD 1945 bangsa Indonesia mencantumkan “Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia” tetapi realitas yang ada keadilan sosial itu masih jauh dari harapan.
Bangsa Indonesia telah banyak memberikan program-program kemanusiaan terhadap warganegara seperti pemberian bantuan berupa materi tetapi hal itu tidak juga mengangkat nilai keadilan. Masih banyak birokrasi yang menghalangi program kemanusiaan itu karena oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Distribusi program bantuan kemanusiaan itu masih mengalami banyak kebocoran dengan bermacam-macam alasan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.

VII. Kesimpulan
Pandangan More mengenai sistem pemerintahan yang ideal merupakan hal yang sulit untuk diterapkan. Seperti yang dikatakan oleh Anne Murphy bahwa tulisan Utopia Thomas More adalah suatu khayalan belaka. More memberikan pandangan tersebut berdasarkan konteks waktu itu dimana tindakan kejahatan (pencurian) mendapat hukuman yang tidak sesuai dengan perbuatannya. Sebagai orang yang sangat memperhatikan kemanusiaan More mengkritisi hukum yang kurang manusiawi.
Pemerintah yang dipimpin seorang raja dengan kekuasaan absolut memunculkan sikap kritis untuk membela yang lemah, apalagi More adalah seorang yang berlatar belakang hukum dan sangat menjunjung tinggi nilai humanistis. Kritik atas ketidakadilan yang ada menggerakkan More untuk menulis mengenai sistem pemerintahan yang ideal. Sebagai tokoh pemikir kristiani More sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai pribadi yang utuh dan merdeka, sehingga orang lain tidak mempunyai hak atas penentuan nasib seseorang.
DAFTAR PUSTAKA

Murphy, Anne, Thomas More, Yogjakarta: Kanisius, 2001.
Rapar, J.H. “Filsafat Politik” Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.

[1] Republic (545d-549c)
[2] Ibid. (550c-555b)
[3] Ibid. (555b-562a)
[4] Ibid. (562a-576b)
[5] Anne Murphy, Thomas More Tokoh Seri Pemikir Kristen, (terj), P. Hardono Hadi, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm. 41.
[6] Gerakan yang di motori oleh More dan teman-temannya itu dikenal dengan gerakan Humanisme Kristen, Ibid, hlm. 17.
[7] Ibid. hlm. 19.
[8] Ibid. hlm. 40.
[9] Ibid. hlm. 64.
[10] Pada masa itu pimpinan/raja diangkat dan disahkan oleh Paus. Karena Henry mengangkat dirinya sendiri sebagai raja di Inggris maka secara birokrasi ia ingin melepaskan diri dari pengawasan dan kekuasaan Gereja Katolik Roma. Hal ini bagi Gereja Katolik Roma sama dengan melepaskan diri dari pengaruh Roma, sehingga Paus Clemens VII mengekskomunikasikan Henry VIII.
[11] Ibid. hlm. 47.
[12] Bdk. J.H. Rapar, “Filsafat Politik” Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002, hlm. 96.

Senin, 05 Mei 2008

REPUBLIK GOYANG

By. Antonius Agus Sumaryono


Bicara masalah goyang menggoyang merupakan suatu topik yang enak untuk dibahas. Pembahasan mengenai goyang menggoyang ini menjadi suatu keahlian dari sebuah negeri yang bernama “Republik Goyang”. Buktinya, masalah goyang dari seorang diva di negeri “Republik Goyang” saja menjadi suatu persoalan nasional dari republik ini. Sedangkan, permasalahan yang menyangkut kesejahteraan bersama seolah-olah terabaikan seperti masalah banjir, lumpur dan kenaikan harga kebutuhan bahan pokok.
Penderitaan rakyat akibat dari banjir, lumpur dan kenaikan harga kebutuhan bahan pokok menjadi polemik bagi penduduk “Republik Goyang”. Republik Goyang ini memang sedang dilanda demam goyang di mana-mana perbincangan yang lagi hangat dibahas hanya masalah goyang. Urusan goyang menggoyang lebih menjadi perhatian dari oknum-oknum di “Republik Goyang” dibandingkan dengan jeritan rakyat yang menderita akibat banjir, lumpur dan kenaikan harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi. Urusan goyang menggoyang di negeri Republik Goyang ini menjadi suatu pembahasan yang menarik bagi para pejabat pemerintahan. Bahkan, urusan goyangan dari seorang diva republik ini menjadi berita yang hangat dibahas oleh beberapa pejabat pemerintahan.
Goyangan erotis dari sang diva memang membius banyak orang untuk mengidolakannya, tetapi di balik goyangan sang diva ada yang beberapa pejabat yang menolak kehadirannya untuk menggoyang kotanya. Hal ini ada kaitannya dengan masalah pornografi dan pornoaksi dari goyangan sang diva. Bagi, sang diva sendiri goyangan yang dilakukannya di atas panggung bukan semata-mata untuk membangkitkan birahi bagi penonton. Karena, sebelumnya juga pernah ada peristiwa goyangan dari seorang penyanyi yang juga dikabarkan mendapat perhatian penting khalayak di republik goyang ini, sehingga perihal goyangan erotis mendapat pencekalan. Sebenarnya urusan goyangan erotis yang mengundang nafsu tidak bisa di generalisasi begitu saja. Semua itu berbalik kepada pribadi masing-masing. Jika, orang yang melihat goyangan erotis dari awalnya sudah mempunyai pikiran porno ya melihat goyang dari sang diva sebagai tarian pornoaksi.

Study tentang goyang

Sekarang yang diperlukan adalah suatu study tentang goyang. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah urusan goyang masuk dalam salah satu bidang study di dunia pendidikan? Ternyata masalah goyang menggoyang yang melanda republik goyang ini bukan hanya sekedar goyangan yang dibilang dapat menaikkan birahi saja tetapi masalah goyang juga terjadi dalam sistem pemerintahan.
Masalahnya goyangan erotis juga mengusik beberapa oknum yang pemerintahan untuk mengalihkan perhatian rakyat terhadap situasi politik di republik ini. Politik republik goyang yang akhir-akhir ini akan memulai Pilkada seolah-olah terabaikan. Bukan hanya itu saja masalah goyang menggoyang dalam perebutan kursi jabatan di salah satu perguruan tinggi untuk memilih seorang calon rektor juga terjadi. Apakah sebenarnya yang sedang terjadi dengan republik goyang ini, sehingga urusan goyang sudah begitu membudaya. Seberapa pentingkah urusan goyang dengan memikirkan jalan keluar dalam mengurangi penderitaan rakyat sehingga urusan mampu untuk mempengaruhi kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Begitu menggiurkan memang berbicara masalah goyang menggoyang. Kalau ditelisik lebih jauh lagi goyang mempunyai suatu kekuatan magi yang dapat membius dan mempengaruhi pikiran orang. Mungkin goyang adalah suatu ritual dari republik ini yang di dalamnya terdapat unsur-unsur mistik karena akibat goyang dapat menimbulkan suatu prahara besar dan bahkan nasional. Goyang menjadi perhatian banyak orang dengan mengalahkan suatu kepentingan yang lebih besar dari sekedar masalah banjir, lumpur dan kesulitan bahan pokok rakyat.
Memang, goyang seharusnya masuk dalam kurikulum pendidikan karena dengan sedikit study mengenai goyang akan membuka wawasan baru bagi penduduk republik goyang ini. Diharapkan dengan study goyang masyarakat dapat menilai secara realistis apakah urusan goyang dapat dimasukkan dalam perundang-undangan.

Isu mengenai goyang

Kasus goyangan sang diva yang dihembuskan telah berhasil meninabobokan masyarakat dari republik goyang ini. Rakyat terbuai oleh urusan goyang menggoyang sehingga masalah yang menjadi perhatian utama untuk diperjuangkan terabaikan. Masalah penanganan korban banjir, lumpur yang seharusnya menjadi masalah yang perlu penanganan secepatnya dari pemerintah kurang mendapat perhatian.
Memang, ada beberapa orang yang mengatakan bahwa daripada pusing memikirkan beban hidup lebih baik bergoyang saja. Ada kalanya goyang bisa membantu orang untuk sekedar melepaskan penat, tetapi jangan masalah goyang membuat orang melalaikan kesejahteraan banyak orang. Pemerintah lebih baik mengurusi penanganan banjir, lumpur dan bagaimana kebutuhan harga bahan pokok dapat dijangkau oleh masyarakat daripada hanya sekedar mengurusi goyang menggoyang.
Isu mengenai goyang menggoyang sedikit banyak telah membawa orang untuk menaikkan tekanan andrenalin. Masyarakat memberikan respons yang serius terhadap isu goyang menggoyang. Sangat ironis bahwa republik yang sangat kaya dan makmur ini dibodohi oleh beberapa oknum yang dengan sengaja meniupkan isu goyang untuk menutupi kelemahannya. Mungkinkan republik ini dapat bangkit dari keterpurukannya? Jawaban itu ada dalam benak semua rakyat republik goyang ini, karena masa depan republik berada di tangan para generasi penerusnya.
Isu mengenai goyang yang sedang melanda republik ini telah membius para elit politik. Seandainya para elit politik tidak memikirkan masalah goyang menggoyang niscaya masalah banjir, lumpur dan keprihatinan masyarakat mengenai kenaikan harga bahan kebutuhan pokok akan dapat cepat teratasi. Pemerintahan republik goyang ini akan

KESELAMATAN JIWA (Menurut Sokrates)

By. Antonius Agus Sumaryono


Pendahuluan
Filsafat Sokrates adalah suatu pencarian tentang kebenaran. Dan fokus utamanya terletak pada manusia. Kematiannya merupakan akibat dari pencariannya mengenai kebenaran. Hal ini menunjukkan satu bukti bahwa Sokrates memiliki keteguhan hati yang kuat. Kebenaran menurut Sokrates adalah bukan mengenai dunia tetapi terlebih menitik beratkan pada “Tuhan”[1]. Sikap religius ini menunjukkan bahwa Sokrates adalah orang yang beragama.


Ajaran Filsafat Sokrates
Sokrates dalam berfilsafat menggunakan metode bercakap-cakap atau dialog (dialegestia/dialegestia). Metode ini dinamakan dialektika[2]. Dengan metode ini Sokrates ingin lebih jauh memahami makna kebijaksanaan dari orang-orang yang dianggap bijaksana. Cara berfilsafat Sokrates adalah dengan mendatangi kaum Sofis[3]. Kaum Sofis adalah orang-orang yang dianggap bijaksana oleh orang-orang Yunani. Dengan metode filsafat ini Sokrates dapat menemukan cara berpikir induksi[4]. Cara berpikir ini untuk mengacu pada proses pemikiran akal budi manusia.
Dari metode berpikir itu Sokrates ingin menyelidiki apa yang dimaksud dengan kata “arete” aretê (keutamaan). Oleh kerena itu Sokrates bertanya kepada tukang-tukang, ahli hukum, dan orang yang mempunyai keahlian. Dengan jawaban-jawaban yang didapat dari mereka Sokrates suatu definisi penting untuk pengetahuan ilmiah. Definisi memberikan sesuatu yang mantap mengenai hakekat itu. Hakekat Sokrates dalam definisinya merupakan Idea.
Sokrates dalam Apology Plato mengingatkan warga negara Athena mengenai keutamaan Jiwa bukan kesehatan, kekayaan, kehormatan dan lainnya yang kurang sebanding dengan jiwa (are you not ashamed that you give your attention to acquiring as much money as possible, and similarly with reputation and honour...understanding and the perfection of your soul). Sokrates menyebutkan bahwa tujuan tertinggi manusia adalah “psikhe” psikhe (jiwa) untuk menjadi sebaik mungkin. Jiwa manusia bukanlah nafas semata-mata tetapi asas hidup manusia dalam artian lebih mendalam. Jiwa adalah inti sari manusia, hakekat manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab. Tingkah laku manusia dapat disebut baik bila manusia menurut kepada intisarinya psikhe. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Menurut Sokrates, manusia dapat mencapai kebahagiaan dengan kebajikan dan aretê. Memiliki kebajikan berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia.
Sebenarnya Sokrates ingin mengutarakan bahwa kebijaksanaan yang ada pada manusia adalah kebijaksanaan yang kecil. Kebijaksanaan yang dimaksud oleh Sokrates adalah Tuhan karena hanya Tuhanlah yang bijaksana. Kebijaksanaan manusia adalah kebijaksanaan menurut takaran manusia bukan merupakan suatu kebijaksanaan sejati. Dari kesimpulan ini dapat dikatakan bahwa Sokrates adalah orang yang sudah mengenal “Tuhan” secara lebih baik. Satu pertanda bahwa Sokrates adalah seorang filsup yang religius.
Sokrates memahami bahwa para penemu misteri memiliki makna sejati dengan memanfaatkan waktu bukan dengan gemar membuang waktu yang untuk hak yang tidak berguna. Pemikiran orang-orang Yunani berkaitan dengan jiwa adalah suatu ketakutan ketika jiwa meninggalkan tubuh pada hari kematian. Kematian bukanlah suatu yang perlu untuk ditakutkan. Pemahaman mereka bahwa jiwa yang meninggalkan tubuh adalah jiwa itu keluar ke udara dan lenyap dalam ketiadaan.
Gagasan tentang jiwa menurut Sokrates adalah memahami tubuh sebagai suatu jalinan yang dipersatukan oleh unsur-unsur panas dan dingin, basah dan kering dan semacamnya[5]. Jiwa merupakan suatu harmoni yang pas dari semua unsur tersebut. Sokrates berpendapat bahwa keutamaan hidup manusia adalah mengenai keselamatan jiwa. Ajaran Sokrates mengenai keselamatan jiwa ini merupakan suatu bukti bahwa Sokrates mempunyai pandangan tentang hidup abadi dari jiwa.
Doktrin Yunani Kuno[6] mengatakan jiwa pergi dari sini ke alam lain. Jiwa merupakan keabadian dari manusia oleh karena itu segala tindakan hendaknya diarahkan kepada hidup abadi jiwa. Jiwa manusia akan mengalami pemurnian[7] untuk mencapai suatu keabadian. Pemurnian merupakan pemisahan jiwa dari tubuh. Melalui pemurnian jiwa Sokrates adalah orang yang mempunyai kehidupan religius pemahaman yang baik mengenai “Tuhan”.


Kesimpulan
Filsafat Sokrates menitik beratkan pada keselamatan jiwa. Sokrates adalah seorang filsup yang berperilaku penuh dengan kebajikan. Ajaran Sokrates menandakan bahwa dalam kehidupan manusia bukan hal-hal duniawi saja yang paling utama tetapi juga rohani. Saya terkesan dengan sikap dan ajaran Sokrates yang mendasar dalam pemahaman mengenai “Tuhan” yang merupakan satu-satunya sumber dari kebajikan. Maka Sokrates menyadarkan orang-orang Yunani untuk mengutamakan keselamatan jiwa supaya memperoleh kehidupan abadi.


DAFTAR PUSTAKA

Asnawi, A, Matinya Plato, Yogyakarta: Bentang, 2003.

Bertens, Kess, Dr., Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1975.

Capra, Fritjof., Titik Balik Peradaban, Yogyakarta: Bentang, 1997.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Hadiwijono, Harun, Dr., Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Penerbit UI (UI Press), 1986.

Jowett, Benjamin, Declaration of Independence, Chicago: The Great Books Foundation, 1955.

Riyanto, Armada, CM, Dr., Beriman Seperti Sokrates, Malang: STFT Widya Sasana.

The Philosophy of Socrates, www.classicphilosophy.com, 23 Oktober 2005.


[1] Tuhan menurut Sokrates bukanlah Tuhan seperti yang diimani oleh orang Kristen seperti sekarang, melainkan mengarah pada “dewa” atau “dewa-dewa” yang menjadi mitos orang Yunani. Teks Apology.
[2] Dalam kutipan terkenal “theaitetos” Theaitêtos. Sokrates sendiri mengusulkan nama lain untuk menunjukkan metodenya yaitu “maieutike tekhne” Maieutikê tekhnê (seni kebidanan). Bdk. Dr. Kees Bartens, Sejarah Filsafat Yunani, hal. 87.
[3] Sebutan “Sofis” mengalami perkembangan sendiri. Sebelum abad ke V istilah itu berarti: sarjana, cendikiawan dan tukang. Pada abad IV para guru yang berkeliling dari kota ke kota untuk mengajar. Dan para guru itu meminta uang dari ajaran mereka. Dr. Harun Hadiwijono, Sejarah Filsafat Barat I, hal. 32.
[4] Metode pemikiran yang bertolak dari kaidah khusus untuk menemukan hukum yang umum. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. 2003 hal. 431.
[5] Bdk. A. Asnawi, Matinya Plato, Yogyakarta: Bentang, 2003, hal. 55.
[6] Jiwa-jiwa kita pasti berada di alam yang lain kerena mereka akan lahir lagi. Dan hal ini meyakinkan bahwa orang hidup hanya lahir dari orang mati, tetapi tidak ada bukti mengenai ini. Ibid. Hal. 25
[7] Jiwa menggunakan tubuh sebagai intrumen persepsi yakni penggunaan indra penglihatan, atau indra dengar, atau indra lain. Tetapi jiwa kembali ke dalam dirinya sendiri kemudian masuk ke alam kemurnian, dan keabadian dan alam yang tidak bisa berubah. bdk. A, Asnawi, op. cit. hal. 42-43.

MADILOG

By. Antonius Agus Sumaryono

Sumber : MADILOG: Materialisme Dialektika Logika

Pokok Masalah
Madilog merupakan salah satu karya besar dari putra bangsa Indonesia yaitu Tan Malaka. Latar belakang dari penulisan ini adalah untuk mengangkat kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Tan Malaka melihat bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya masih mempunyai pola pikir yang selalu dikaitkan dengan mistik. Pola pikir seperti ini yang membawa masyarakat Indonesia pada keterbelakangan.
Madilog Tan Malaka menawarkan suatu perubahan sosial yang mampu untuk membawa masyarakat Indonesia melihat secara realitas. Perubahan sosial ini diharapkan mampu mengangkat martabat masyarakat kepada kehidupan sosial yang lebih baik. Dengan berpikir secara realistis masyarakat akan berjuang untuk mengatasi segala permasalahan sosial dan kritis terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.

Pembahasan
Karya Tan Malaka secara garis besar ada tiga yaitu: pertama, Materialisme sebenarnya berarti pendangan yang menyatakan bahwa yang ada hanyalah materi dan segala apa yang ada mesti berasal dari materi. Madilog mengupas pemikiran atas pemahamannya terhadap materialisme yang menurutnya berlainan dengan filsafat materialisme yang ada di Barat. Di Barat, materialisme adalah segala sesuatu di dunia ini berasal dari benda, maka yang bukan benda dan tak masuk akal, akan dianggap sebagai sesuatu yang tak ilmiah dan harus ditolak. Baginya bersikap meterialis berarti memandang realitas secara nyata, dengan memakai ilmu pengetahuan bukan dengan kacamata mitos. Pada akhir bab ke-4 Tan Malaka berbicara tentang “batas sains”. Ada 2 batas yang pertama batas dari luar, yang kedua dari dalam. Dari luar sains dibatasi oleh kapitalisme: “Masyarakat modal menghambat kemajuan sains”.[1] Di sosialisme ilmu pengetahuan dapat berkembang tanpa hambatan. Menurut Tan Malaka aksioma Barat itu tak cocok diterapkan di Indonesia. Sebab, sekalipun belum dapat diterangkan tetapi kalau fakta sebagai lantainya ilmu bukti itu ada secara konkret, ia bersedia menerimanya sebagai bukti. Karena itu, materialisme baginya merupakan suatu cara berpikir yang realistis, pragmatis dan fleksibel.
Kedua, Dialektika tidak memuat hal-hal yang baru, melainkan sepenuhnya mengikuti apa yang memang sudah menjadi standart. Dialektika adalah “cara berpikir berlainan”, cara berpikir “timbal balik”. Orang yang hanya berpikir logis akan mampu menjawab pertanyaan.[2] Mengapa dialektika penting bagi Tan Malaka? Karena dialektika dianggap memungkinkan materialisme untuk mengatasi kesulitan yang serius, yaitu bagaimana menjelaskan bentuk-bentuk kompleks organisme hidup dan akhirnya manusia bisa berpikir. Dialektika menjelaskan dengan 2 hukum yaitu “negasi atas negasi”[3] atau “pembatalan atas pembatalan”.[4]
Ketiga, Logika sebagai aturan tentang cara berpikir yang masuk akal tetap berlaku. Tan Malaka berpendapat masyarakat kita dari dulu sampai sekarang secara sosiologis maupun antropologis tak mungkin menjadi masyarakat materialis seperti yang dialami di Barat yang otomatis Marxisme adalah turunannya. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang selalu percaya akan adanya kekuatan lain di luar dirinya yang menguasai alam serta isinya dan ini bersifat gaib. Begitulah Tan Malaka, dengan ditunjukkannya melalui berbagai kepercayaan, seperti animisme, dinamisme dan agama Hindu, Budha, Kristen, Islam juga yang bermunculan dan dianut penduduk Nusantara. Berpikir logis secara sederhana berarti bahwa “persoalan pasti dijawab dengan pasti pula”.[5] Dialektika berlaku bagi pengetahuan dalam garis besar, tetapi untuk wilayah mikro orang tetap harus berpikir logis. Tan Malaka sangat bersemangat tentang logika sehingga uraian tentang logika terinci dengan dalil-dalilnya. Tekanan Tan Malaka pada logika ini diharapkan mampu untuk menyingkirkan pemikiran mengenai logika mistika.

Pokok Temuan
Tan Malaka dalam bukunya ini ingin mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk keluar dari kungkungan logika gaib. Madilog merupakan suatu ajakan kepada masyarakat Indonesia agar mau keluar dari kegelapan irasionalitas dan masuk ke dalam terang rasionalitas modern. Dalam Madilog Tan Malaka kelihatan terobsesi untuk membebaskan bangsanya dari kungkungan keterbelakangan. Mengapa masyarakat Indonesia terbelakang? Karena masih terperangkap dalam “logika mistika”. Jalan satu-satunya untuk membebaskan diri dari logika mistika adalah Madilog: materialisme, dialektika dan logika. Inilah gagasan dasar dari pemikiran Tan Malaka.
Logika mistika dijelaskannya dengan contoh cara berpikir di Mesir kuno. Logika mistika adalah logika gaib, cara berpikir yang tidak menjelaskan apa yang terjadi dalam dunia nyata dengan mencari sebab-sebabnya, tetapi dengan kembali kepada perbuatan roh-roh di alam gaib yang berada “di belakang” alam nyata. Karena itu, orang masih terlilit oleh logika gaib sehingga tidak bisa maju. Cara berpikir seperti ini yang ingin dirombak oleh Tan Malaka terhadap masyarakat Indonesia untuk bisa keluar dari logika mistika.

Refleksi

Kebudayaan Timur khususnya Indonesia masih sangat kuat memegang tradisi mengenai mitos. Wacana ini sebagai satu jawaban untuk berpikir kritis terhadap setiap permasalahan yang muncul dalam struktur masyarakat. Tan Malaka adalah seorang tokoh sosial bangsa Indonesia yang berusaha untuk mendobrak kebuntuan pandangan masyarakat Indonesia terhadap mitos. Buku madilog ini memberikan satu pandangan baru bagi pola pikir masyarakat Indonesia kepada keterbukaan akan realitas. Masyarakat Indonesia yang kebanyakan masih terbelenggu dengan budaya mitos diharapkan untuk tidak berhenti sampai di sini, melainkan mencari makna yang ada di balik mitos itu.
Madilog Tan Malaka mengajak masyarakat Indonesia untuk membawa pola kehidupan masyarakat yang berpandangan luas dan berpikir secara logis. Selubung mitos yang sangat kental dengan budaya masyarakat Indonesia pelan-pelan harus mulai ditinggalkan untuk menuju era baru yakni masyarakat madilog (materialistik dialektik logika). Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada masyarakat Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.


Kepustakaan

Malaka, Tan. MADILOG: Materialisme Dialektika Logika, Jakarta: Indikator, 1999.


[1] Tan Malaka, Madilog: Materialisme Dialektika Logika, Jakarta: Indikator, 1999, hlm. 106.
[2] Ibid, hal. 117.
[3] Ibid, hal. 180.
[4] Ibid, hal. 246.
[5] Ibid, hal. 260.

NILAI KETUHANAN PANCASILA DALAM PERSPEKTIF BUDAYA JAWA

By. Antonius Agus Sumaryono


1. Pengantar
Siapakah itu “Orang Jawa”? Orang Jawa adalah sekelompok masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa dan bahasa ibunya adalah bahasa Jawa. Orang Jawa sangat berbeda antara yang satu dengan yang lain. Semua mempunyai individualitasnya yang kuat, tidak ada yang “khas tipe Jawa”.
[1] Mereka semua disebut orang Jawa karena menempati dan hidup di pulau Jawa.
Pancasila sebagai “soko guru”
[2] menjadi sumber dan semangat hidup seluruh warga negara yang berdiam di dalamnya. Orang Jawa (keturunan kraton) sangat menghargai Pancasila sebagai pandangan hidup, panutan dan pengingat (pangeling-eling). Rumusan Pancasila yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa Indonesia sangat kental keterikatannya dengan semangat budaya Jawa. Unsur-unsur esensial dari setiap sila dalam Pancasila merupakan kesatuan cipta, rasa, dan karsa seluruh bangsa Indonesia yang didalamnya termasuk masyarakat Jawa.
Didalam Pancasila terkandung 5 sila dasar yang mengatur kehidupan setiap warga negara. Butir-butir sila Pancasila yang menjadi dasar negara mencakup banyak aspek dalam peri kehidupan manusia merupakan ciri pribadi masyarakat Indonesia. Masyarakat Jawa yang bernaung dibawah Pancasila sangat menghargai nilai-nilai luhur yang terkandung didalam butir-butir sila Pancasila.
Masyarakat Jawa yang pada umumnya sangat kental dengan budaya Jawa memandang Pancasila sebagai satu arah dan pandangan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Sebagai Pandangan hidup, Pancasila mencerminkan struktur masyarakat yang ada dan hidup dibawah naungan Pancasila begitu juga orang Jawa. Orang Jawa menghargai Pancasila sebagai suatu budaya yang patut untuk dilestarikan dan diamalkan karena mengandung nilai-nilai perjuangan dan historis yang besar. Pancasila merupakan suatu rumusan dari para tokoh dan diambil dari kebudayaan-kebudayaan yang ada dalam bangsa Indonesia termasuk juga budaya Jawa.

2. Nilai Pancasila terhadap Kebudayaan Jawa
Apa itu nilai? Nilai adalah apa yang dianggap baik, benar dan luhur bagi masyarakat. Hal yang baik, benar dan luhur tersebut sungguh memberikan pengaruh terhadap pola kehidupan masyarakat. Karenanya masyarakat berusaha menghidupi dan mempertahankannya demi kelangsungan hidup mereka. Konsep nilai budaya adalah nilai suatu unsur pendekatan kebudayaan yang mengatur struktur masyarakat yang berhubungan dengan norma-norma yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat.
[3] Banyak orang mengartikan konsep itu dalam arti yang terbatas, ialah pikiran, karya dan hasil karya manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan[4]. Namun kebudayaan itu sendiri sebenarnya adalah susunan nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan merupakan hasil keseluruhan gagasan dan karya manusia. Maka dari itu, kebudayaan mempunyai nilai tersendiri dalam sejarah peradaban manusia.
Nilai-nilai Pancasila menjadi pedoman hidup masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang pada umumnya hidup dalam tradisi dan akar budaya “kejawen”
[5] sangat menghargai Pancasila sebagai nilai luhur bangsa Indonesia. Pancasila sebagai hasil budaya bangsa Indonesia menjadi titik tolak bagi masyarakat Jawa dalam menjalankan setiap kewajibannya sebagai warga negara. Kejawen mempunyai satu nilai luhur yang dianut dari butir-butir sila Pancasila.
Sebagian cukup besar masyarakat Jawa harus dianggap Jawa Kejawen.
[6] Pandangan ini sudah dianggap sebagai suatu tatanan alam dan struktur masyarakatnya sudah ditentukan oleh tradisi. Kejawen merupakan suatu kepercayaan masyarakat Jawa tentang pelbagai macam roh. Nilai yang diambil dari kejawen ini adalah sinkronisasi hubungan timbal balik antara kehidupan jasmani dan rohani. Pancasila sebagai ideologi bangsa sangat dihayati dalam budaya kejawen karena inti dari kejawen sebagian besar sudah termaktup dalam butir-butir sila Pancasila.
Kebudayaan Jawa sejak dahulu kala penuh dengan unsur-unsur mistik.
[7] Ritual mistik merupakan penghidupan kembali unsur-unsur budaya kuno. Perkembangan ini merupakan penggalian budaya bangsa sebagai satu nilai yang luhur dan yang menyusun nilai-nilai Pancasila yang diambil dari tradisi Jawa. Apabila terjadi penyimpangan dan kemerosotan penghayatan nilai Pancasila berarti terjadi juga penyimpangan dan kemerosotan penghayatan budaya pada umumnya dan Jawa khususnya.

2.1 Nilai Ketuhanan
Pandangan masyarakat Jawa terhadap nilai kereligiusan masih sangat kaya pengaruhnya dengan budaya agama Hindu. Ada kecenderungan nilai religius budaya Jawa dengan tujuannya mencari makna terdalam segala hal ikhwal, namun sekaligus suatu kebimbangan terhadap kekuasaan para dewa
[8]. Nilai religius budaya Jawa mempunyai implikasi terhadap cara pandang masyarakatnya mengenai Tuhan.
Konsep Tuhan dalam budaya Jawa sangat akrab dengan sebutan “Gusti”. Budaya Jawa mengajarkan bahwa manusia harus memperbaiki hidupnya, secara aktif mengembangkan pemikiran dan kebudayaan itu sendiri. Prinsip “Tuhan” dalam “Pancasila” adalah bersedia mengalah bahwa prinsip kodrat alam disebut ke-”Tuhan”-an, tetapi menentang penambahan “Yang Maha Esa”
[9] sebab pandangan orang harus dan dapat mengembangkan dirinya sendiri atas usaha sendiri.
Budaya Jawa pada eksistensinya mempunyai tatanan yang teratur di mana kehidupan dipandang sebagai eksponen, suatu bayangan (wayangan) dari kebenaran yang lebih tinggi. Semuanya tunduk pada hukum kosmis. Hukum itu menyatakan suatu yang pasti (pinêsthi) bahwa semua eksistensi harus melalui jalan yang sudah ditetapkan bagi setiap orang. Kehidupan adalah keseluruhan yang teratur dan terkoordinasi dan hal itu sudah ada yang mengaturnya.
Nilai ke-”Tuhan”-an mempunyai tempat yang tinggi dalam tradisi budaya Jawa kuno. Para leluhur telah menanamkan satu nilai ritual tradisi yang sampai sekarang masih dijalankan oleh generasi penerus. Slametan
[10] sebagai salah satu warisan budaya Jawa yang pada awalnya adalah sebagai wujud syukur kepada “yang mahatinggi” atas segala berkat dan rahmat yang telah diberikannya. Orang Jawa mempunyai penghormatan khusus pada Tuhan dengan menanamkan nilai-nilai ritual tradisi dalam menunjukkan sikap hormatnya pada Tuhan.
Pandangan dunia Jawa bukan hanya suatu pandangan dunia dan ciri-ciri dan batas-batas yang pasti melainkan suatu penghayatan yang terungkap dalam lapisan masyarakat.
[11] Wujud pandangan ini adalah bahwa orang Jawa percaya dengan adanya yang yang mahatinggi. Cara pandang orang Jawa mengenai yang mahatinggi sangat kuat karena dipengaruhi oleh budaya agama Budha. Mereka melakukan sesajen yang diperuntukkan kepada yang mahatinggi supaya mereka memperoleh rahmat atau perlindungan. Mereka melakukan acara ritual itu di punden atau tempat yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat. Ritual ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas segala yang telah mereka nikmati.
Orang Jawa mengatakan bahwa antara manusia dan alam merupakan lingkup kehidupan orang Jawa sejak lahir.
[12] Masyarakat adalah sebagai perwujudan dari kumpulan keluarga yang besar sehingga setiap anggota berhak mempunyai penghayatannya akan alam sebagai satu berkah dari Tuhan. Kosmos termasuk kehidupan benda dan peristiwa di dunia dan menjadi satu kesatuan yang eksistensial baik material maupun spiritual.
Gambaran dunia Jawa tradisional adalah kepercayaan pada kaitan universal antara peristiwa dunia dan kekuasaan di alam adikodrati
[13] yang menjadi sikap religius masyarakat Jawa. Kepercayaan yang adikodrati ini yang menjadi suatu “agama” yang dianut oleh masyarakat Jawa kuno dalam usahanya mencapai keselamatan. Peristiwa-peristiwa alam yang terjadi dikaitkan dengan sikap religius seperti halnya yang diramalkan oleh Joyoboyo semuanya memakai patokan kosmos.
Nilai ke-”Tuhan”-an masyarakat Jawa kuno sudah lama tumbuh dalam budaya orang Jawa. Nenek moyang mereka mengenal “Tuhan” sejak lama mulai dari aliran dinamisme sampai masuknya pengaruh agama Budha. Tradisi budaya ini diwariskan turun-temurun sebagai suatu kekayaan bangsa. Budaya Jawa merupakan salah satu dari sekian banyak kebudayaan bangsa Indonesia yang mempunyai nilai religius dalam Pancasila. Pancasila sebagai idelogi bangsa mengakar pada seluruh budaya bangsa Indonesia dan salah satunya budaya Jawa.

3. Kesimpulan
Nilai ke-“Tuhan”-an dalam budaya Jawa kuno sudah lama dikenal oleh nenek moyang mereka. Orang Jawa menilai bahwa Pancasila juga mengakar pada kebudayaan Jawa yang dianut oleh tradisi para leluhur. Secara umum nilai ke-“Tuhan”-an dalam budaya Jawa dapat dihayati pada sila pertama dari Pancasila. Pancasila memiliki nilai dan arti yang melekat pada masyarakat Jawa.
Hal yang menarik dari nilai ke-“Tuhan”-an adalah bagaimana Pancasila merangkul secara mendalam terhadap tradisi dan budaya Jawa. Nilai-nilai luhur budaya Jawa mempunyai pengaruh yang kuat pada sila pertama sebagai perwujudan dari penghargaan terhadap agama-agama lain. Sikap hidup para pengikut aliran Jawa kuno memaknai Pancasila sebagai salah satu realitas yang diambil dari unsur terdalam dari budaya bangsa termasuk budaya Jawa kuno. Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa Indonesia sangat menyatu dengan budaya Jawa.
Pancasila menjadi satu falsafah hidup yang membentuk bangsa Indonesia dan khususnya juga masyarakat Jawa. Pancasila sebagai falsafah bangsa menjadi pribadi yang hakiki disandang oleh orang Jawa dalam kehidupan mereka sehari-hari. Budaya Jawa yang secara implisit termaktup dalam Pancasila mengangkat orang Jawa untuk senantiasa bercermin pada Pancasila.
Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan oleh penulis, maka nilai ke-“Tuhan”-an dalam budaya Jawa mempunyai makna yang sangat mendalam. Pancasila khususnya sila pertama telah mendarah-daging pada orang Jawa. Pancasila bukanlah hal baru dalam kehidupan masyarakat Jawa.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, H.M. Darori, Drs (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Dewantara, Ki Hajar, Pantjasila, Yogyakarta: N.V. Usaha Penerbitan Indonesia, 1950.
Jong, S. De. Drs., Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, Yogyakarta: Kanisius, 1976.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1987.
Mulder, Niels, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
Pareira, A. Berthold. Dr., Pendidikan Nilai di Tengah Arus Globalisasi (ed.), Malang: STFT Widya Sasana, 2003.
Suseno, Franz Magnis, Mencari Makna Kebangsaan, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia, 1985.
, Beyond Javanese Culture, The Jakarta Post: 19 Agustus 1995.
Wahana, Paulus. Drs., Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Zoetmulder, PJ., Manunggaling Kawula Gusti, Jakarta: Gramedia, 1990.
[1] Orang Jawa ada yang polos dan ada yang berbelit-belit, ada yang halus ada yang kasar, ada yang berterus terang ada yang malu-malu, ada yang bersikap seenaknya dan ada yang bekerja fanatik, ada yang berani bertindak sendirian ada yang tidak banyak peduli akan sikap kelompoknya. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, hal. 3.
[2] Soko atau saka adalah tiang pancang/tonggak. Soko Guru adalah sesuatu yang menjadi penegak atau pengukuh.dalam hal ini Pancasila sebagai soko guru berarti Pancasila menjadi penegak atau pengkuh negara atau ideologi bangsa.
[3] Bdk. Drs. HM. Darori Amin, MA (ed.), Islam dan kebudayaan Jawa, Yokyakarta: Gama media, hal. 119.
[4] Bdk. Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, hal. 1.
[5] Kejawen merupakan satu aliran kepercayaan yang dianut oleh orang Jawa. Tradisi kejawen adalah sangat kaya dan mencakup suatu kepustakaan luas yang meliputi paling kurang seribu tahun, dari yang paling kuno berupa sumber-sumber Sansekerta lewat laporan-laporan sejarah dan setengah sejarah, seperti misalnya Pararaton dan negarakertagama dan babad tanah Jawi. Bdk. Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat Jawa, Jakarta: Sinar Harapan, hal. 16.
[6] Franz Magnis Suseno, op. cit. hal. 15.
[7] Drs. S. De. Jong, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, hal. 15.
[8] Dalam budaya agama Hindu masih kental sekali paham Pantheïsme yang merupakan suatu keyakinan religius dalam memandang yang “mahatinggi” terdapat pada kekuasaan dewa-dewa. Orang Jawa mempunyai keyakinan religius dengan meyakini adanya “Gusti”. Hal ini dikenal dengan istilah “Manunggaling Kawulo Gusti” dalam eksistensi “Allah” sebagai pencipta alam semesta. Bdk. P.J. Zotmulder, Terj. Dick Hartoko, Manunggaling Kawulo Gusti, Jakarta: Gramedia, hal. 54.
[9] Pancasila adalah dasar ideologi negara Indonesia, Ki Hajar Dewantara, Pantjasila, Yogyakarta: N.V. Usaha Penerbitan Indonesia, hal. 18-23.
[10] Slametan merupakan nilai-nilai yang dirasakan paling mendalam dalam mengungkapkan kebersamaan, ketetanggaan, dan kerukunan bermasyarakat.
[11] Franz Magnis Suseno. op. cit. hal. 83
[12] Djoko Widagdho, Sikap Religius Pandangan Dunia Jawa. Dalam Islam dan Kebudayaan Jawa, Drs. HM. Darori Amin, MA (ed.), op. Cit., hal. 69.
[13] Kekuasaan adikodrati ini yang dimaksudkan oleh orang Jawa kuno adalah kepercayaan mereka mengenai yang maha tinggi yang mengatur semua kehidupan manusia. Ibid.