Rabu, 11 Juni 2008

MEMBANGUN "GEREJA" JAWA

By. Antonius Agus Sumaryono

I. Pendahuluan
Pengertian mengenai Gereja banyak orang mendeskripsikannya dengan bangunan gereja. Istilah Gereja berasal dari bahasa Yunani Ekklesia yang artinya adalah kumpulan. Gereja mempunyai hakikat teologis sebagai kumpulan umat beriman. Gereja secara implisit terdapat suatu struktur hierarkhi yang sangat rapi dengan dogma-dogma yang menjadi pengendali pengajaran.
Gereja adalah suatu refleksi teologis iman umat. Sebagai refleksi Gereja dapat diartikan dengan dua cara: pertama refleksinya yang kedua hasil refleksinya[1]. Gereja merupakan suatu refleksi dan hasil refleksi jemaat perdana terhadap imannya. Jadi Gereja adalah suatu persekutuan orang-orang percaya, Gereja sebagai suatu tubuh mistik dengan Yesus sebagai kepalanya.
Gereja sebagai suatu komunio berpandangan bahwa keutuhan dan kesatuan jemaat menjadi satu ciri Gereja. Gereja yang bagiamana yang sedang dibangun dewasa ini. Untuk menggali dan mengungkap suatu Gereja yang sedang dibangun dalam paper ini penulis ingin memberikan suatu pandangan bagaimana Gereja dibangun. Penulis mengangkat tema: Membangun “Gereja” Jawa yang pada intinya adalah bagaimana Gereja itu dibangun dari budaya jawa.

II. Pembahasan
2.1 Apa itu Kejawèn
[2]
Sebelum mengetahui Kejawen, kita seharusnya melihat dulu apa itu Kejawèn. Kejawèn berasal dari kata Jawa yang mendapat imbuhan kata ke- - an yang mempunyai arti sifat kejawaan.[3] Kejawèn sendiri oleh kebanyakan orang dianggap sebagai suatu agama asali dari orang Jawa. Padahal kejawèn merupakan suatu sinkretisme antara animisme dan agama Hindhu dan Buddha.[4] Ada juga pengaruh dari agama Islam dan Kristen terhadap kepercayaan kejawèn ini. Tetapi kejawèn sebagai kepercayaan dari orang Jawa bukanlah suatu agama yang terorganisir seperti halnya agama-agama yang lain.
Asal usul kejawèn, sebenarnya bermula dari dua tokoh misteri, yaitu Sri dan Sadono.[5] Dari cerita tersebut dapat digambarkan bahwa memang sejak semula masyarakat kejawèn sudah banyak berkenalan dengan budaya mistik. Ajaran kuno yang diwarisi secara turun-temurun menjadi suatu pedoman yang dikaitkan dengan falsafah hidup berdasarkan aksara Jawa sebagai berikut:[6]
ancrk
Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia (sebagai ciptaan).
ftswl
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data " saatnya (dipanggil) " tidak boleh sawala " mengelak " manusia (dengan segala atributnya) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan
pdjyv
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup (Khalik) dengan yang diberi hidup (makhluk). Maksdunya padha " sama " atau sesuai, jumbuh, cocok " tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu " menang, unggul " sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan " sekedar menang " atau menang tidak sportif
mgbqz
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.

Aksara Jawa yang sampai sekarang masih ada beberapa orang yang masih menguasainya mempunyai nilai yang lebih mendalam. Aksara Jawa sangat identik dengan kejawèn, karena mereka masih menggunakan aksara Jawa dalam buku-buku panduannya. Mereka juga kalau sedang melakukan suatu upacara ritual masih menggunakan bahasa Jawa.
Sebenarnya inti dari ajaran kejawèn suatu ajaran kesempurnaan.[7] Kejawèn adalah suatu ajaran kepercayaan yang diyakini dan dianut oleh sebagian orang Jawa. Beberapa paguyuban yang sampai saat ini masih eksis antara lain Budi Setia, Kawruh Kasunyatan, Ilmu Sejati, Kawruh Begja yang kesemuanya itu berpusat di Mojokuto (Pare).[8] Paguyuban-paguyuban tersebut adalah suatu aliran kebatinan atau mistik kejawèn.

2.2 Budaya Kejawèn
Budaya kejawèn merupakan suatu tradisi atau kegiatan ritual yang dilakukan oleh orang Jawa yang menganut ajaran kejawèn. Kegiatan-kegiatan ritual ini masih seringkali dilakukan oleh kebanyakan orang Jawa yakni dengan Slametan. Budaya-budaya tersebut mempunyai nilai religiusitas yang diyakini oleh para penganutnya. Adapun tindakan spiritualitas adalah dengan perilaku spiritual yakni acara-acara ritual.
Para penganutnya juga mempunyai kepercayaan kepada adanya Roh, Wangsit, dan Hal-hal Gaib. Mistik kejawèn mempunyai dinding yang tipis antara ilmu dan ngelmu[9] karena keduanya pada dasarnya adalah suatu tindakan untuk memperoleh ilmu. Cara memperoleh ilmu antara keduanya melalui cara atau jalan yang berbeda, kalau ilmu melalui olah otak yang berdasarkan pada pembuktian ilmiah. Sedangkan ngelmu merupakan suatu konsep pemikiran orang Jawa yang didalamnya mengandung unsur-unsur yang rasional dan irrasional.
Dalam mistik kejawèn terdapat suatu falsafah hidup Jawa. Falsafah hidup Jawa menurut Zoetmulder amat berbeda dengan taraf berpikir dari orang barat. Budaya berpikir orang Jawa masih dipengaruhi oleh lingkungannya. Cara berpikir orang Jawa ini adalah suatu falsafah hidup yang tujuannya mencari kesempurnaan hidup Sangkan Paraning Dumadi dan Manunggaling Kawulo Gusti.
Kata-kata tersebut merupakan kata kunci dari ajaran kejawèn. Hidup manusia diarahkan kepada Sangkan Paraning Dumadi artinya manusia berasal dari dan bertujuan kepada yang membuat wujud. Sedangkan Manunggaling Kawulo Gusti adalah suatu sikap atau usaha manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Pernyataan tersebut memberikan suatu deskripsi bagaimana falsafah Jawa merupakan suatu ajaran yang menciptakan ketenangan batin. Jadi, intinya adalah budaya kejawèn merupakan budaya dalam memaknai arti dari hidup manusia yakni mencapai tingkat spiritual.

2.3 Pandangan Gereja terhadap budaya lokal (Kejawèn)
Gereja setelah Konsili vatikan II telah mulai terbuka terhadap kebudayaan-kebudayaan setempat. Bahkan, Gereja juga mulai memasukkan budaya lokal dalam suatu upacara liturgis. Dengan cara seperti ini, Gereja sebenarnya ingin mengangkat budaya lokal dan mencari aspek-aspek spiritualitas yang diyakini oleh masyarakat setempat.
Gereja memandang bahwa kebudayaan lokal sebagai suatu kekayaan yang harus dipertahankan. Kebudayaan lokal juga memiliki unsur-unsur dan nilai-nilai religius yang perlu untuk digali secara lebih mendalam. Nilai religius yang terdapat dalam budaya dapat membantu untuk menumbuhkan nilai dan semangat religius umat dengan menggali nilai budaya lokal.
Dengan cara seperti ini, Gereja menggali unsur spiritual dari umat dengan masuk ke dalam nilai religius yang diyakini oleh umat setempat. Ini yang dinamakan Gereja bertumbuh dari bawah karena menumbuhkan aspek religiusitas umat dari menggali budaya sendiri. Umat akan merasa lebih mengena dalam pendalaman iman karena Gereja juga mengambil peranan dalam membangun suatu Gereja yang lahir dari budaya jawa.
Pandangan Gereja sangat menghargai tradisi atau budaya lokal yang muncul dari setiap daerah dalam hal ini khususnya budaya kejawèn. Pandangan positif Gereja ini diwujudkan dalam bagaimana Gereja melakukan pewartaan keselamatan.

2.3 Kejawèn dan harmoni
Kejawèn pada inti ajarannya adalah suatu ajaran yang mementingkan suatu unsur keharmonisan. Artinya, pengajaran-pengajarannya dipengaruhi oleh relasi baik dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya, bahkan dengan benda-benda. Dalam kejawèn, relasi timbal balik merupakan wujud adanya satu kesatuan.
Kejawèn merupakan suatu ajaran yang mementingkan suatu unsur nilai harmonisme. Artinya, manusia hidup selaras dengan keharmonian dari lingkungan hidupnya. Keselarasan hidup manusia diungkapkan dalam karya-karya sastra yang memberikan makna hidup yang mensimbolkan nilai harmoni salah satunya dalam karya sastra dhandhanggula sebagai berikut:[10]
Urip iku neng donya tan lami
Upamane jebeng menyang pasar
Tan langgeng neng pasar bae
Tan wurung nuli mantuk
Mri wismane sangkane nguni
Ing mengko aja samar, sangkan paranipun
Ing mengko padha weruha
Yen asale sangkan paran duk ing nguni
Aja nganti kesasar
Dari karya sastra gending-gending Jawa, kita dapat melihat bagaimana nilai keharmonisan hidup menjadi unsur penting dalam kejawèn. Di sini, kita juga dapat menangkap makna harmonis sebagai suatu nilai luhur yang memberi nuansa manunggal dengan semesta. Kemanunggalan manusia dengan alam (makrokosmos) seisinya menunjukkan unsur-unsur yang sama dengan diri manusia sebagai (mikrokosmos).[11]
Adapun mistik kejawèn merupakan suatu budaya yang berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Artinya bahwa mistik kejawèn memiliki unsur-unsur religi antara manusia dengan Sang Mahakuasa dan manusia dengan alam semesta.[12] Kejawèn sangat menitik beratkan adanya suatu keharmonisan secara universal.

2.4 Nilai kearifan lokal dalam Kejawèn
Kebudayaan lokal kalau digali secara lebih mendalam lagi maka akan menemukan suatu nilai-nilai kearifan yang menjadi inti pengajarannya. Tujuan hidup dari masyarakat Jawa pada umumnya adalah mencapai kebahagiaan hidup lahir dan batin. Yang mana kebahagiaan hidup dicapai dengan cara menyadarkan kepada hakekat hidup manusia. Hakekat hidup manusia itu digali dari nilai-nilai luhur dari kebudayaan lokal.
Nilai kearifan kejawèn yang bertumbuh dari nilai luhur kebudayaan lokal mempunyai makna yang lebih mendalam terhadap orang Jawa. Nilai kearifan lokal dalam kejawèn yang mengalir dalam darah orang Jawa diangkat untuk membangun suatu komunio. Dalam kaitannya dengan ini, nilai kearifan lokal dalam kejawèn diharapkan dapat mengangkat kepada tingkat kehidupan yang manusiawi.
Nilai kebudayaan kejawèn yang mementingkan adanya harmoni menjadi satu keyakinan yang disadari bahwa manusia mempunyai keterjalinan dengan unsur-unsur semesta.[13] Oleh karena itu tundakan manusia adalah untuk mencapai suatu keutuhan dan kehidupan bersama. Suatu kehidupan komunio telah ditunjukkan dari penggalian kebudayaan lokal kejawèn.

2.5 Membangun Gereja yang membumi
Membangun suatu Gereja dengan “komponen lokal”[14] memang ada pentingnya. Hal ini sebenarnya untuk mengangkat nilai budaya masyarakat lokal dalam membangun suatu bangunan iman. Gereja yang terbangun atas dasar nilai-nilai luhur yang ada dalam budaya dan tradisi masyarakat setempat akan membawa kepada suatu penghayatan yang tersendiri dibandingkan dengan memaksakan untuk diikuti.
Dengan menggali nilai kearifan lokal dan mengangkatnya dalam membangun suatu bangunan iman yang berasal dari dalam dimaksudkan untuk lebih dihayati. Model membangun Gereja yang seperti ini yang seharusnya mulai dikembangkan dalam metode evagelisasi modern. Gereja yang Jawa ini sebenarnya merupakan suatu kekayaan iman yang masih asli, oleh karena itu Gereja seharusnya melestarikan nilai-nilai kearifan lokal ini.
Orang Jawa akan lebih mudah dan mengenal sosok pewayangan Kresna dibandingkan dengan Yesus. Dalam hal ini, Gereja menggali nilai luhur apa yang dimiliki oleh sosok Kresna dan mencoba untuk mengkaitkannya dengan sosok Yesus. Dalam masyarakat Jawa, sosok Kresna adalah sebagai figur seorang pemimpin yang bijaksana dan maha sakti.[15] Nama Kresna sudah tidak asing lagi bagi orang Jawa bahkan orang Jawa mengagungkan tokoh Kresna sebagai public figur. Bagaimana hal ini oleh Gereja dijadikan satu model pewartaan Yesus dengan menggali dan memberikan suatu pemahaman dalam nilai kebudayaan lokal.
Banyak harapan bahwa Gereja itu dibangun dengan menggali nilai-nilai adhi luhung kejawèn. Sangat penting bahwa Gereja itu dibangun dari Jawa, bukan Gereja di Jawa, sehingga umat beriman sesuai dengan kepercayaan yang lebih mendalam. Akan berbeda apabila Gereja itu dibawa oleh misionaris dengan memperkenalkan tradisi-tradisi Eropa yang asing bagi umat setempat. Suatu nilai plus bahwasanya apabila Gereja itu benar-benar tumbuh dari akar tradisi lokal, karena akan lebih mudah untuk memasukkan ajaran-ajaran pewartaan.
Sudah sepatutnya bahwa, gereja yang ada di Jawa ini dibangun atas kerangka budaya Jawa. Hal ini untuk menggali nilai-nilai spiritualitas yang didasarkan pada akar budaya dan tradisi sendiri. Hal tersebut perlu untuk disadari oleh Gereja dewasa ini bahwasanya penggalian kebudayaan lokal dapat membawa pemahaman pada iman. Orang akan lebih mudah dan cepat untuk menerima pewartaan yang dapat mengangkat nilai-nilai luhur kebudayaan mereka. Dengan demikian kita dapat menciptakan suatu Gereja yang membumi. Artinya, Gereja dibangun dalam konsep keyakinan lokal.

III. Relevansi
Dalam pewartaan dan pengembangan Gereja dewasa ini penggalian-nilai-nilai luhur kebudayaan memang pantas untuk terus digali. Pemahaman nilai kebudayaan lokal memberikan suatu pewartaan yang lebih berkesan terhadap umat. Gereja yang mulai berani untuk memasukkan nilai-nilai luhur dari kebudayaan lokal membawa suatu pemahaman yang mendalam.
Pewartaan lebih mudah dapat diterima dengan memasukkan metode interkulturasi antara nilai kebudayaan Jawa dengan ajaran iman Kristiani. Sangat mungkin bagi Gereja untuk berani masuk dalam kebudayaan lokal. Tetapi tentu saja semua itu harus dipilih-pilih apakah kebudayaan lokal benar-benar mempunyai suatu nilai religius dalam keyakinan pemilik budaya, sehingga dapat dipilah-pilah mana yang mungkin dapat dipakai dan yang tidak.
Hal ini akan membawa suatu pengaruh yang besar terhadap perkembangan iman yang digali dari nilai-nilai kebudayaan lokal. Orang akan lebih cepat memahami pewartaan Kerajaan Allah Yesus dengan lebih mudah apabila dikaitkan dengan kebudayaan lokal yang mempunyai pandangan akan religiusitas. Umat akan memberikan suatu tanggapan yang positif dari pewartaan Gereja yang menghargai nilai kebudayaan lokal.



DAFTAR PUSTAKA


Astiyanto, Heniy, SH., Filsafat Jawa, Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006.
Endraswara, Suwardi, Mistik Kejawen, Yogyakarta: Narasi, 2003.
Geertz, Clifford, “The Religion of Java” Phoenix Edition, Chicago : University of Chicago Press, 1976.
------------------, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.
Suseno, Fran Magnis, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia, 1984.
Zoetmulder, P.J., “Manunggaling Kawulo Gusti” Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, Jakarta: Gramedia, 1990.

Sumber lain

[1] http://www.oaseonline.org/artikel/johncampbellnelson/identitas.htm as retrieved on 11 Apr 2008 19:47:20 GMT.
[2] Kejawèn (Ýkjwen\ ) merupakan suatu keyakinan atau suatu etika atau gaya hidup. Sedangkan menurut seorang ahli antropologi Clifford Geertz dalam bukunya “The Religion of Java” kejawen disebut “Agami Jawi”, Phoenix Edition, Chicago : University of Chicago Press pp.188–191, 1976.
[3] http://www.kaskus.us/archive/index.php/t-638288-p-4.html as retrieved on 3 May 2008 04:46:55 GMT.
[4] Ibid.
[5] Tokoh Sri sebenarnya penjelmaan dari Dewi Laksmi, istri Wisnu dan Sadono adalah penjelmaan Wisnu sendiri. Suwardi Endraswara, Mistik Kejawèn, Yogjakarta: Narasi, hlm. 1.
[6] http://javanology.blogspot.com/ as retrieved on 6 May 2008 20:16:58 GMT. (diakses tgl. 18 Mei 2008).
[7] Bdk. Suwardi Endraswara, Op. Cit., hlm. 16.
[8] Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, hlm. 453-471.
[9] Bdk. Ngelmu tidak bias disamakan begitu saja dengan ilmu, karena ngelmu mengandung suatu arti “ajaran rahasia (esoteris)” yakni suatu pegangan hidup. Ngelmu dicapai dengan cara laku batin atau jalan spiritual, http://www.blogger.com/feeds/733718336778863861/posts/default as retrieved on 9 Nov 2007 14:44:57 GMT. (diakses tanggal 18 Mei 2008).
[10] Suwardi Endraswara, Op. Cit., Hlm. 34.
[11] Bdk. Heniy Astiyanto, SH, Filsafat Jawa, Yogyakarya: Warta Pustaka, 2006, hlm. 338.
[12] Bdk. Suwardi Endraswara, Op. Cit., Hlm. 29.
[13] Bdk. Suwardi Endraswara, Op. Cit., Hlm. 227.
[14] Yang dimaksud dengan komponen lokal ini adalah suatu usaha untuk menggali nilai-nilai spiritual yang diimani oleh masyarakat setempat.
[15] Bdk. http://www.tembi.org/wayang/krisna6.htm as retrieved on 1 Apr 2008 07:45:30 GMT. (diakses tanggal 18 Mei 2008).