Sabtu, 07 Februari 2009

TINDAKAN BEBAS SEBAGAI KEBEBASAN SUARA HATI

(Tinjauan Moral Kristiani)

By. Antonius Agus Sumaryono

I. Pengantar
Setiap orang mempunyai kebebasan bertindak untuk mengekspesikan suara hatinya. Suara hati merupakan pusat eksistensi manusia sebagai pribadi dan prinsip tanggung jawab moral. Orang seharusnya mematuhi perintah suara hati. Prinsipnya bahwa suara hati adalah piranti dalam diri manusia, dan suara hati itu adalah ”suara” dari tindakan atau perbuatan moral.[1]
Dalam suara hati, manusia menemukan suatu ajaran yang membawa dirinya kepada suatu tindakan atau perbuatan. Oleh karena itu, suara hati manusia juga merupakan suatu tempat untuk menilai, menimbang dan memutuskan suatu tindakan atau perbuatan moral. Suara hati adalah sebagai suatu kesanggupan moral untuk menerapkan prinsip-prinsip moral dalam keadaan tertentu yang dihadapi oleh seseorang.
Manusia didorong untuk menghargai keputusan tindakan atau perbuatan manusia yang lain karena semua itu bersumber dari suara hati. Suara hati manusia bersifat “bebas”[2]. Suara hati merupakan kemampuan moral untuk dapat mengatakan bahwa secara subjektif seseorang dapat mengetahui apa yang baik dan yang jahat dan apa yang menjadi kewajiban moralnya.
Akan tetapi, prinsip suara hati sebagai piranti dalam diri menusia dan sebagai “suara” dari tindakan moral kerap kali dihadapkan pada “kekeliruan” suara hati sehingga membawa manusia pada suatu suasana yang tidak bebas. Yang menjadi pokok persoalan adalah, sejauh mana tindakan seseorang dapat dibenarkan secara moral? Bagaimana pandangan kristiani melihat tindakan moral seseorang? Dan apakah suara hati itu bisa salah? Dan sejauh mana kebebasan suara hati? Penulis ingin membahas beberapa pertanyaan tersebut dengan menjelaskan bagaimana tindakan moral dapat dibenarkan dan sampai sejauh mana kebebasan suara hati.
II. Tindakan Moral
2.1. Arti Umum
Secara umum tindakan moral berkenaan dengan ajaran tentang tatanan nilai. Tindakan moral dipahami sebagai suatu ajaran baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap, akhlak, budi pekerti, susila, dll. Semua perilaku seseorang dapat dibenarkan berdasarkan dari nilai baik dan buruk sesuai dengan norma-norma yang ada dalam tatanan masyarakat. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.[3]

2.2. Arti Khusus
Dalam artian khusus tindakan moral adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dilihat berdasarkan suara hati untuk mencapai suatu kesempurnaan. Moralitas mendapat wujud nyata yang subjektif dan pribadi dalam konteks suara hati.[4] Jadi, tindakan dan keputusan dikaitkan dengan suatu konteks makna hidup yang diyakini manusia.

III. Pandangan Kristiani tentang Tindakan Moral
3.1. Tindakan Moral menurut Kitab Suci
Di dalam Kitab Suci, kita banyak mendapatkan pesan dan makna moral bagi kehidupan para pengikutnya. Kitab Suci merupakan sumber inspiratif moral. Peringatan moral melalui Kitab Suci terjadi secara langsung, karena semua pesan moral yang terkandung didalamnya memberikan kebebasan suara hati dari manusia. Kitab Suci sebagai sumber utama nilai-nilai dasar, kebajikan-kebajikan dan visi yang memberikan jati diri bagi orang Kristen.[5]
Allah memanggil manusia untuk bersekutu dengan-Nya dan memenuhi kehendak-Nya. Sebagai jawaban atas panggilan itu Allah memberikan kebebasan dalam suara hati manusia untuk menanggapinya. Kebebasan suara hati manusia ini merupakan sikap yang fundamental dan mempunyai sifat yang universal. Sabda Allah dalam Kitab Suci mempunyai sasaran yang sama dan bertujuan dalam penentuan nasib manusia.
Keputusan moral menuntut kesiagaan mendengarkan kehendak Allah. Perjanjian Lama merumuskan kehendak Allah dalam perintah-perintah Allah (Kel 20:1-17). Pemazmur mengatakan bahwa Allah sudah mengetahui dan menyelami lubuk hati manusia (Mzm 139), sebelum manusia mengeluarkan perkataan Allah telah mengetahuinya. Suara hati merupakan saksi dari nilai moral tindakan manusia (Ayb 27:6). Suara hati adalah sumber dari segala hukum Allah supaya manusia bertindak sesuai dengan kesusilaan. Perjanjian Baru menawarkan keselamatan melalui Putera Yang DikasihiNya (Mat 7:14, 11:10, 14:28, Luk 1:69-71, 77; 2:11, 2:30, 3:6). Petunjuk-petunjuk menyangkut jalan hidup didalam Kitab Suci berupa kiblat moral. Dalam dimensi religius suara hati dilukiskan sebagai suara Allah. Pengetahuan akan tujuan eksistensial manusia dan tuntutan-tuntutan utama moral disimpulkan dari pengetahuan yang dirujuk kepada keaslian atau kemurnian suara hati.
Dalam Perjanjian Baru, ditemukan pula teks-teks yang berkenaan dengan suara hati dan tindakan moral. Pada satu kesempatan, Yesus mencela kaum Farisi yang hanya mengajarkan tindakan moral, tetapi mereka sendiri tidak melakukannya (Luk 11:46). Pada kesempatan lain, Yesus memberikan pengertian yang mendalam perihal suara hati. Hati nurani bukanlah perintah lahiriah melainkan bagaimana kita menghayati dalam batin manusia (Mrk 7:21). Tuntutan utama Yesus adalah harus ada keharmonisan dalam batin.
Dalam Kisah Para Rasul, Paulus mengetuk “moral” orang-orang Yunani dalam kotbah misionernya di Athena yang juga bertalian dengan suara hati. Dalam perjalanannya ke Athena, Paulus memberikan suatu gambaran konkrit perihal keadaan orang-orang Athena. Dalam segala hal orang-orang Athena sangat beribadah kepada dewa-dewa. Paulus menunjukkan keheranan kepada orang Athena yang melakukan penyembahan kepada allah yang tidak mereka kenal (Kis 17:23). Bagaimana mungkin mereka menyembah kepada allah yang tidak mereka kenal? Pada titik ini, moralitas Yunani -yang dipengaruhi oleh filosofis- mulai bertanya-tanya dengan suara hatinya. Optio Fundamentalis[6] orang-orang Yunani mulai terusik dengan pernyataan Paulus. Dalam hal ini Pualus memberikan satu pencerahan baru.

3.2. Pandangan Ajaran Gereja (KV II)
Dokumen Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes (GS) 16 menegaskan bahwa suara hati adalah inti yang paling rahasia dan tempat suci manusia. Di sana ia berada sendirian dengan Allah. “Suara” yang bergema dalam lubuk hatinya. Dengan kata lain bahwa suara hati adalah suara Allah yang mengontrol tindakan atau perbuatan manusia. Suara hati yang adalah suara yang mengandung suatu unsur kebenaran.
Konsili Vatikan II menyoroti suara hati adalah untuk mengemukakan bahwa gambaran suara hati adalah suatu tempat pertemuan antara manusia dengan Allah. Suara hati merupakan nilai yang luhur dari martabat manusia. Dalam suara hati manusia dapat menemukan satu kemungkinan untuk berdialog yang mujarab dengan siapapun dalam proses mencari kebenaran moral. Kesalahan yang terjadi pada manusia bukan karena suara hati yang salah melainkan suara hati tidak sanggup memberitahukan tingkah laku lain bahwa itu tindakan atau perbuatan yang salah.
Pedoman dan petunjuk untuk pembentukan suara hati diberikan dalam magisterium Gereja (Dignitatis Humanae 14). Hal ini sangat berkaitan langsung petunjuk Magisterium Gereja Katolik dan berlaku secara otoritas religius dan sosial dengan suatu rumusan tuntutan moral dan memberikan kiblat moral.[7] Ajaran Magisterium menjadi bantuan bagi pengembangan iman kristiani untuk mengetahui bentuk kehidupan iman kristiani. Otoritas gerejani ini tidak identik dengan Kristus dalam penilaian bahwa suara hati harus tunduk kepada penilaian otoritas agama. Dalam artian bahwa Suara hati manusia yang bertentangan dengan ajaran Gereja itu bersalah, tetapi setiap manusia harus berhati-hati dalam bersikap.[8] Manusia dikatakan bersalah karena menjalankan tindakan atau perbuatan yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu Magisterium mengajarkan ini dengan konsekuensi manusia tunduk kepada tata susila berdasarkan dalam terang kebenaran.
Pernyataan Konsili mengenai kebebasan suara hati sebagai sikap pribadi atau hakekat manusia. Konsili mempunyai tujuan untuk memperjuangkan martabat manusia sebagai pribadi. Martabat itulah yang menuntut bahwa manusia “bertindak berdasarkan pandangan sendiri, pengertian sendiri, atas kesadarannya sendiri akan tugas kewajibannya, tidak lagi di dorong oleh paksaan atau anjuran yang seringkali dibawa dari luar.[9]

IV. Apa Suara Hati bisa Salah?
Suara hati adalah kesadaran seseorang dalam menjalankan kewajibannya. Suara hati mempunyai tugas sebagai penilaian moralitas perilaku seseorang. Bagaimana seseorang bisa dikatakan benar dan salah dalam memutuskan suara hati secara moral?
Suara hati secara rasionalitas bukanlah sebatas benar dan salah. Suara hati pada hakikatnya merupakan masalah perasaan, dan masalah perasaan tidak dapat disebut benar atau salah.[10] Misalnya seorang ibu sedang mengandung tetapi setelah diketahui bahwa janin yang dikandungnya mengandung resiko. Maksudnya, jika janin dibiarkan akan membahayakan keselamatan si ibu dan di lain pihak jika diangkat janin akan mati. Dalam hal ini secara medis berhadapan dengan dua pilihan dan harus diambil salah satu, sedangkan secara moral mengakhiri hidup manusia itu suatu tindakan yang tidak bermoral.
Dalam hal ini, suara hati dokter yang menjadi persoalan moralnya. Secara moral si dokter berada dalam situasi yang sulit yakni melakukan perbuatan dengan akibat ganda. Yang dimaksud prinsip perbuatan dengan akibat ganda adalah perbuatan positif tidak boleh lewat sarana negatif sebagai jalan untuk pemecahan kasus.[11] Posisi dilematis ini membawa dokter untuk mengikuti suara hatinya. Dalam persoalan moral masalah yang berakibat ganda ini, dokter dapat mengambil keputusan yang membawa akibat paling kecil (minus malum), tetapi dokter juga harus menghargai keputusan yang akan diambil oleh si ibu. Maksudnya, apabila si ibu tetap mempertahankan bayi yang dikandungnya meskipun akibatnya si ibu harus mengalami kematian.
Jawaban atas masalah ini mempunyai dua bagian. Pertama, suara hati manusia dapat salah sedangkan Allah tidak dapat salah, maka sudah jelas bahwa suara hati tidak bisa disamakan dengan suara Allah.[12] Pernyataan ini sangat bertolak belakang dengan pernyataan dalam dimensi religius seperti yang penulis uraikan pada poin 3.1. sebelumnya. Dalam suara hati ada unsur-unsur yang tidak dapat diterangkan oleh manusia secara rasional. Suara hati merupakan suatu kesadaran insani setiap manusia. Oleh karena itu suara hati masing-masing orang tidak mutlak benar.

V. Sejauh mana kebebasan suara hati?
Arti kebebasan pada hakikatnya terdiri dalam kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan tidak menekankan pada segi bebas dari apa, melainkan bebas untuk apa. Kebebasan mendapat wujud nyata secara positif dalam tindakan seseorang yang disengaja.
Sekarang kebebasan suara hati itu yang seperti apa? Kebebasan bagi manusia pertama-tama berarti, bahwa ia dapat menentukan apa yang mau dilakukan secara fisik. Suara hati adalah kesadaran moral seseorang secara konkret. Banyak orang mengatakan kita harus berbuat seperti ini atau seperti itu, tetapi dalam hati, kita sadar bahwa hanya kita sajalah yang mengetahui suara hati kita. Jika suara hati setuju dengan pendapat moral lingkungan maka suara hati itu yang dinamakan suara hati yang bebas, tetapi sebaliknya jika suara hati kita tidak setuju dengan pendapat moral lingkungan, maka suara hati itu tidak dalam keadaan bebas.
Jadi kebebasan suara hati itu tidak mutlak benar secara moral lingkungan. Apabila suara hati kita tak dapat menyesuaikan dengan pendapat moral lingkungan, maka kita seolah-olah merasa bersalah. Arti kebebasan suara hati adalah kesadaran seseorang bahwa ia berkewajiban secara mutlak untuk menghendaki apa yang menjadi tanggungjawab dan kewajibannya, dari hal itu tergantung kebaikan sebagai manusia dalam situasi konkret.[13]

VI. Kesimpulan
Secara umum kebebasan suara hati merupakan suatu kesadaran seseorang berdasarkan tindakan moral secara universal. Maksudnya, bahwa suara hati seseorang itu memang “bebas” tetapi dalam kebebasan itu tidak dinilai secara subyektif saja. Kebebasan suara hati seseorang menuntut tindakan moral yang menjadi tolok ukur penilaian dari lingkungan masyarakat sekitarnya karena yang memberi penilaian tindakan seseorang dapat dikatakan benar dan salah adalah norma-norma yang ada di lingkungan masyarakat tersebut.
Ditinjau dari moral kristiani, kebebasan hati nurani berhadapan dengan kepribadian manusia sebagai penentu atas tindakannya. Penentuan diri manusia ini secara pribadi menuntut pertanggung jawaban di hadapan Allah. Secara umum Allah menghendaki semua manusia memperoleh keselamatan tetapi semua itu dikembalikan kepada manusia yang dengan sukarela menentukan sendiri untuk mencari Penciptanya dan mengabdi kepadaNya secara bebas dalam mencapai kesempurnaannya.

DAFTAR PUSTAKA
Chang, William Dr, OFMCap, Pengantar Teologi Moral. Yogyakarta: Kanisius ,2001.
Go, Piet, Dr, O.Carm, Diktat teologi Moral Fundamental. Malang: STFT Widya sasana, 2003.
Hadiwardoyo, AL. Purwa, MSF, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Hajon Kallix.s. SVD. Mencintai dalam kebebasan. Maumere. Penerbit ledalero, 2000.
Kieser, Bernhard, SJ, DR., Moral Dasar Kaitan Iman dan Perbuatan, Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Klein, Paul, Dr, SVD, Diktat hati Nurani, Malang: STFT Widya Sasana, 2004.
Peschke, Karl-Heinz, SVD, Etika Kristiani Jilid I Pendasaran Teologi Moral. Maumere: Penerbit Ledalero, 2003.
Schuller, Bruno, SJ., Moral Theology Vol. 3, Charles E. Curran and Richard A. McCormick, SJ, (ed), New York: Paulist Press, 1982.
Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius, 1987.

SUMBER SUMBER LAIN
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1997.
Dokumen Konsili Vatikan II, ter. Dr. J. Riberu, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI –Obor,1991.


[1] Bdk. Karl Heinz Peschke, SVD, Etika Kristiani Jilid I Pendasaran Teologi Moral, Maumere: Penerbit Ledalero, hlm. 187.
[2] Term “bebas “ dalam hal ini memaksudkan bebas memutuskan tindakan yang dianggap benar sesuai dengan keadaan Suara Hati Nuraninya. Apakah hati nuraninya tumpul, sesat, peka dll. Hal itu menjadikan persoalan yang lain.
[3] Bdk. Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 19.
[4] Bdk. Dr. Bernhard Kieser, SJ, Moral Dasar Kaitan Iman dan Perbuatan, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 144.
[5] Bdk. Karl Heinz Pesckhe, SVD, Op. Cit., hlm. 241.
[6] Optio Fundamentalis merupakan sikap dasar manusia untuk memilih secara bebas sesuai dengan keinginan suara hati dan setiap keputusan dasar seseorang tidak dapat dipaksakan, karena hal ini adalah hak setiap manusia yang paling hakiki.
[7] Bdk. Karl Heinz Peschke SVD, Op. Cit., hlm. 232.
[8] Bdk. Bruno Schuller, SJ, Moral Theology Vol. 3. New York: Paulist Press, hlm. 15. In our brief remarks about the authentic teaching of the Church’s magisterium, we shall presume the distinction of the two forms of magisterium as found in traditional theology: the infallible and the merely authentic.
[9] Bdk. Dr. Bernhard Kieser, SJ, Op. Cit., hlm. 119-120.
[10] Bdk. Franz Magnis Suseno, Op. Cit., hlm. 64.
[11] Bdk. Piet Go, O.Carm, Diktat Teologi Fundamental, hlm. 23.
[12] Bdk. Franz Magnis Suseno, Op. Cit., hlm. 77.
[13] Ibid. hlm. 53-54.

Kamis, 05 Februari 2009

PENGATAHUAN DAN REALITAS

NYAYA – VAISHESHIKA
By. Antonius Agus Sumaryono

Abstraksi
Filsafat Nyaya dan Vaisheshika pada inti ajarannya adalah mencari kebenaran yang esensi dari suatu ilmu pengetahuan. Keduanya menekankan bahwa suatu realitas yang dilihat oleh indera belum tentu mewakili dari realitas yang sesungguhnya. Ajaran filsafat Nyaya dan Vaisheshika pada umumnya membahas mengenai korelasi antara pengetahuan dan realitas. Menurut filosof Nyaya Vaisheshika pengetahuan yang diiderawi merupakan hasil dari pengalaman yang di konkritkan dengan realitas “ada” dari benda-benda sejauh dapat ditangkap oleh indera, tetapi indera bukanlah sebagai suatu pengetahuan yang valid. Jadi, pengetahuan yang valid adalah ketika indera menangkap suatu objek yang sesuai dengan realitas sesungguhnya.

Masalah Ilmu Pengetahuan
Masalah pokok pengetahuan adalah penetapan pengakuan apa pengetahuan memang benar-benar sebagai pengetahuan, daripada sekedar opini yang keliru. Kekeliruan terjadi dengan mudah dalam banyak persoalan seputar persepsi dan penyimpulan. Sebagai suatu contoh, dalam pencahayaan yang suram tali yang tergeletak akan nampak menjadi seperti ular. Jadi semua yang nampak di mata kita bisa berbeda dengan realitas yang sesungguhnya.
Skeptisisme seperti ini menarik para filosof untuk menganalisa kebenaran dari pengetahuan. Bagaimana dan kapan pengetahuan itu dinyatakan benar-benar valid. Indera manusia bukanlah satu tolok ukur yang baik untuk menganalisa suatu kebenaran dari pengetahuan. Apa yang ditangkap oleh indera manusia bisa menipu dari dari realitas yang sesungguhnya.
Nyaya membahas analisa pengetahuan dalam terminus subyek yang mengetahui terhadap obyek yang akan diketahui. Ada empat faktor yang terkait dalam pengetahuan untuk menyatakan pernyataan terhadap pengetahuan. Empat faktor itu antara lain: 1. Subyek yang mengatahui, 2. Obyek yang akan diketahui, 3. Obyek yang sedang diketahui dan 4. Alat pengetahuan untuk mengetahui Obyek.

Alat Pengetahuan
Karakter dari Nyaya adalah sebuah pengetahuan merupakan pengetahuan untuk menerangi serta menampakkan yang ada. Contohnya, rumput itu berwarna hijau, darimana orang tahu bahwa itu rumput yang berwarna hijau. Mata sebagai alat penglihatan menampakkan apa yang dilihat. Alat pengetahuan dibedakan menjadi empat hal yang prinsipil: 1. Persepsi, 2. penyimpulan, 3. Analogi dan 4. Kesaksian. Keempat hal tersebut merupakan elemen dasar sumber pengetahuan. Hal tersebut dibedakan karena pada kenyataannya manusia melakukan berbagai hal dalam usahanya untuk mengetahui segala sesuatu. Teori Nyaya mendiskusikan analisa dari empat alat pengetahuan dan bagaimana menetapkan cara yang berbeda untuk mengatahuinya.

Persepsi Pengetahuan
Definisi dari persepsi pengetahuan adalah sebagai pengetahuan yang benar dan pasti yang dihasilkan idera dengan obyek sesungguhnya. Dengan alat persepsi dapat diketahui bahwa huruf-huruf yang tampak di kertas berkontak dengan indera mata kita. Huruf-huruf yang tertera dapat ditangkap oleh indera dan kemudian diidentifikasikan. Orang bisa saja mengidentifikasi obyek secara keliru meskipun keliru sebagai obyek yang sesungguhnya. Dengan asumsi bahwa persepsi dapat terpikir tanpa menangkap obyek berarti suatu tindakan perspektif itu menciptakan obyek daripada apa yang tampak. Nyaya menanyakan tentang bagaimana persepsi yang salah itu dapat dideteksi atau dikoreksi.
Bagaimana persepsi yang murni dapat dibedakan dari kekeliruan penglihatan. Nyaya menjelaskan bahwa pendapat ini didasarkan pada pembedaan antara dua persepsi yakni persepsi pasti dan persepsi tak pasti. Persepsi yang pasti yakni persepsi huruf-huruf pada kertas ini yang didahului oleh kontak tak pasti antara indera dengan coretan-coretan pada kertas sebelum dikenali dan diklasifikasi sebagai huruf. Persepsi yang tidak pasti adalah kontak antara indera dengan obyek. Semua ini adalah pengalaman sensorik awal. Pengalaman ini membatsi dengan seksama apa yang diterima oleh kontak inderawi.
Pengetahuan perseptual memerlukan persepsi yang pasti dari pengalaman sensorik dasar yang tidak dipastikan menjadi suatu hal dengan kualitas dan relasi yang beragam. Prinsip dari persepsi yang pasti tidak dapat dinamai. Pembedaan dibuat antara pengalaman sensorik langsung dan persepsi. Jadi, ada pembedaan antara ketidaktahuan dan kekeliruan.
Ketidaktahuan berarti suatu kekurangan akan pengalaman sensorik langsung. Ketidaktahuan juga dimengerti sebagai kekurangan persepsi pasti. Di lain pihak, kekeliruan menghasilkan kesalahan apa yang diberikan dalam pengalaman sensorik langsung sebagai yang lain dari sesungguhnya. Dari contoh term ular tetapi ternyata seutas tali. Dengan demikian, hasil pengalaman sensorik ini adalah suatu pernyataan keliru bahwa yang terlihat sebagai ular ternyata hanya seutas tali. Jadi, pengetahuan perseptual yang benar terjadi ketika persepsi menangkap obyek sesuai dengan realitas yang ada pada obyek tersebut.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana keputusan konseptual partikular diketahui sebagai kebenaran. Kenyataannya suatu hal tidak mungkin diuji langsung antara persepsi dengan realitas yang ditangkap oleh indera. Artinya, kita bisa mengetahui pengetahuan yang benar dengan cara keluar dari pengetahuan. Hal ini dapat terjadi tanpa menampakkan sesustu yang aktual antara klaim pengetahuan dan realitas.
Nyaya menekankan klaim pengetahuan yang keliru dapat dideteksi pada term keberhasilan praktik. Persepsi seseorang terhadap suatu obyek dapat keliru. Indera dapat menipu realitas yang ada nampak dan ditangkap oleh indera. Contohnya, di meja ada butiran-butiran putih adalah gula, hal ini bisa keliru, karena kenyataannya butiran-butiran putih itu adalah garam. Filsup Nyaya memberikan definisi persepsi yang benar dalam term koresponden dari realitas. Artinya, mereka menyatakan bahwa latihan adalah alat untuk menentukan kebenaran yang ditangkap oleh indera.
Jenis lain pengetahuan persepsi dibedakan dengan cara kontak yang dibentuk antara indera dengan obyeknya. Persepsi ini terjadi ketika kontak indera dengan obyek sehingga pikiran mencapai kontak fisik dan diolah. Pengetahuan persepsi tersebut menghasilkan persipsi yang tidak pasti, melainkan pengalaman sensorik dari indera. Pengetahuan persepsi yang tidak abadi adalah sarana penyadaran dari pengalaman sensorik. Hal tersebut berkorespondensi dengan persepsi yang pasti.
Pengetahuan persepsi dapat dibedakan berdasarkan metode atau cara kontak antara indera dengan obyek. Persepsi terjadi ketika indera menangkap atau menerima sensorik yang dirasakan oleh fisik. Nyaya memberikan persepsi yang tidak biasa. Artinya bahwa pengalaman sensorik dasar dan persepsi individual belum tentu sesuai dengan realitas yang ada.

Penyimpulan
Persepsi adalah dasar dari pengetahuan, tetapi dalam Nyaya ada alat lain untuk mengenal pengetahuan. Alat ini adalah penyimpulan. Penyimpulan adalah alat dari pengetahuan yang valid. Nyaya Sutra mendefinisikan bahwa penyimpulan adalah sebagai alat yang bebas dari pengetahuan yang valid dengan memproduksi pengetahuan yang hadir sesudah pengetahuan yang lain. Pengalaman persepsi adalah penyimpulan sesuatu realitas yang secara nyata tidak diterima secara langsung. Misalnya, Dinosaurus pernah hidup di dunia ini, karena hal ini dapat diketahui dengan penemuan fosil.
Penyimpulan disusun dari sesuatu yang diterima oleh alat pengetahuan yang disebut rasio. Rasio berfungsi sebagai term untuk menalar silogisme. Contoh penyimpulan silogisme: “di gunung ada api karena ada asap, di mana ada asap di situ ada api”. Contoh di atas secara universal menunjukkan adanya hubungan antara asap dan api. Jadi secara rasio dapat dibenarkan bahwa ada asap pasti ada api meskipun secara langsung api itu tidak dapat ditangkap oleh indera.
Bentuk silogisme pada contoh tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut menurut Nyaya:
1. Di gunung ada api
2. Sebab gunung berasap
3. Apa saja yang berasap itu berapi, contohnya: kompor.
4. Di gunung ada asap, di mana ada asap di situ ada api.
5. Jadi gunung yang berasap itu ada api.
Hal yang esesnsial dari penyimpulan contoh tersebut adalah pada pengetahuan itu (the coming to know) bahwa di gunung ada api dengan dasar: 1. adanya asap yang ditangkap oleh indera 2. penalaran yang didasarkan oleh hubungan tidak variabel antara api dan asap. Proposisi pertama menunjuk pada klaim pengetahuan baru. Propisisi kedua dasar-dasar perceptual klaim pengetahuan baru yang ada pada proposisi pertama. Proposisi ketiga menyatakan penalaran yang bergerak dari sebuah klaim mengenai asap ke klaim yang satunya yaitu api. Proposisi keempat menyatakan penalaran berfungsi pada kasus ini. Proposisis kelima mengulangi klaiam sebagai bangunan penalaran yang dihasilkan.
Secara jelas, bagian penting proses penyimpulan merupakan bagian yang membangun hubungan tidak variabel antara dua objek. Para filosof Nyaya mendapat sebutan objek-objek dari individual sebagai suatu bagian penting dari pendirian hubungan universal antara kejadian atau objek. Umpama ada sepuluh burung gagak hitang dan tidak satupun burung gagak berwarna hitam, ada satu kemungkinan seseorang akan menuju pada hubungan universal antara burung gagak dan warna hitam. Umpama ribuan burung gagak diamati dan semua berwarna hitam, kemungkinan untuk membangun hubungan universal meningkat. Tetapi, apabila ada jutaan burung gagak dan semuannya berwarna hitam sudah di observasi, tetapi susudah diobservasi ditemukan ada burung gagak berwarna putih kemungkinan disinyalir ada hubungan universal antara burung gagak dengan warna hitam menjadi nihil. Kemungkinan itu sangat besar bahwa burung gagak dari beberapa juta akan berwarna hitam.
Hal ini nampak tidak ada jumlah dari objek contoh yang menegaskan akan membangun hubungan penting antara kejadian dan objek. Kasus yang diobservasi akan datang dapat menyangkal perlunya koneksifitas. Nyaya menempatkan banyak perhatian pada kehadiran yang menegaskan dan ketidakhadiran pengalaman tidak menegaskan. Sarana itu tidak ditempatkan di sini. Mereka berargumen ada perbedaan antara klaim-klaim misalnya: di mana ada asap di situ ada api, di lain pihak semua burung gagak berwarna hitam. Perbedaan itu menunjukkan ketiadaan pada kodrat seekor burung gagak memerlukan warna hitam. Kodrat alami asap berhubungan dengan api sebagai variabel.
Nyatanya, ada satu perbedaan antar kasus yang muncul dan penting, hal ini merupakan suatu yang kasual, sementara di lain pihak hubungan ini adalah koinsidensi saja tanpa ada dasar yang kausal. Penyimpulan menghasilkan pengetahuan perceptual, jika pengetahuan sebuah hubungan universal yang penting. Dengan berdasarkan pada semua itu Nyaya memasukkan persepsi kelas kodrat dari individu pada pengetahuan perceptual adalah jenis persepsi yang tidak melalui individu yang ditangkap menjadi keadian particular saja.
Ada dua jenis penyimpulan-penyimpulan yang melibatkan hubungan universal:
1. Akibat yang tidak ditangkap dapat disimpulkan dari penyebab yang ditangkap.
2. Penyebab yang tidak ditangkap disimpulkan dari akibat yang ditangkap.

Kekeliruan inferensial
Para filsof Nyaya mencatat beberapa kekeliruan dengan mengambarkannya dalam penyimpulan-penyimpulan yang berguna mencegah adanya kesalahan-kesalahan. Suatu kekeliruan didefinisikan sebagai apa yang muncul dalam penalaran yang valid untuk dapat memberikan kesimpulan. Hal ini bukan penalaran yang valid. Contoh penyimpulan bahwa “di gunung ada api karena ada asap”. Pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa ada api di gunung. Term “api” disebut Sadhya. Term “gunung” disebut Paksha. Penalaran pernyataan “ada api” disebut hetu. Penalaran ini diambil untuk menghubungkan antara Sadhya dengan Paksha sebagai penalaran, penyimpulan itu tidak valid. Penalaran yang diberikan akan menjadi benar penalaran apabila mengandung peraturan sebagai berikut:
1. Penalaran ditampilkan pada paksha dan pada obyek lain yang mengandung Sadhya.
2. Penalaran tidak boleh dihadirkan dari obyek yang tidak memiliki Sadhya.
3. Klaim yang disimpulkan tidak boleh kontradiksi dengan persepsi yang valid.
4. Penalaran tidak boleh memungkinkan konklusi yang kontradiksi dengan klaim yang disimpulkan.

Perbandingan
Alat ketiga pengetahuan yang valid dari filosof Nyaya adalah pengetahuan perbandingan yang berdasarkan pada kesamaan. Contohnya, kamu tahu sapi dan kamu mengatakan bahwa rusa seperti sapi. Kamu berpikir bahwa hewan yang ditemukan di dalam hutan adalah rusa. Hal yang berbeda akan kamu katakan untuk menyebut obyek yang pasti. Contohnya, orang yang baru pertama kali melihat seekor rusa mengatakan bahwa itu adalah rusa, pengetahuan itu dibentuk dari pengakuan, bukan berdasarkan perbandingan. Alat perbandingan merupakan gabungan dari suatu obyek yang diketahui dengan obyek yang tidak diketahui. Hal krusial dari alat pengetahuan adalah observasi kesamaan obyek. Pemikir Nyaya memegang bahwa persamaan itu adalah obyek yang dapat dipahami. Berdasarkan pada hal tersebut, pengetahuan mengenai keaslian dari obyek baru sama persisnya terhadap obyek yang dikenal mendasari alat terpisah dari pengetahuan. Sedang, pengetahuan komparatif melibatkan persepsi dan penyimpulan. Hat tersebut tidak dapat mengurangi pada keduanya, karena diperhitungkan sebagai alat ketiga pengetahuan.

Pengakuan
Alat keempat pengetahuan yang valid dalam Nyaya secara teknis disebut Shabda. Secara tertulis, itu mempunyai arti “sabda”, dan menunjuk kepada pengetahuan yang dicapai sebagai hasil yang akan dinyatakan seseorang yang bisa dipercaya. Opini berbeda dengan pengetahuan, sebab opini dapat keliru. Tetapi, pengetahuan tidak dapat keliru. Opini yang didengarkan dari seseorang bukan merupakan alat pengetahuan, tetapi klaim pengetahuan dari orang yang kita dengar dan pahami menjadi pengetahuan yang murni dapat dicapai.
Ada 3 kriteria pengetahuan berdasarkan pada pengakuan orang lain antara lain:
1. Orang yang berbicara harus jujur dan bisa dipercaya.
2. Orang yang berbicara harus mengerti apa yang dikomunikasikan.
3. Pendengar mesti memahami apa yang didengarkan.

OBJEK-OBJEK PENGETAHUAN: KATEGORI VAISHESHIKA
Sesudah menganalisa alat-alat pengetahuan yang valid, cara berikutnya adalah meyakini objek-objek pengetahuan yang valid, jenis-jenis dari hal yang ada dan dapat diketahui. Brdasar pada Nyaya Sutra, hal yang dapat diketahui antara lain: diri, tubuh, indera, objek-objek indera, pikiran, pengetahuan, tindakan, ketidaksempurnaan mental, kesenangan, dan duka, penderitaan, kebebasan dari penderitaan. Catatan penting bahwa semua objek pengetahuan merupakan objek fisik. Pengetahuan dapat menjadi objek pengetahuan seperti yang dilakukan oleh Nyaya, yakni menyelidiki pengetahuan tersebut dan mencoba mengetahui.
Berbagai jenis hal berdasarkan pada hubungan antara seorang subjek yang sudah mengetahui dan dunia objek. Seumpama berbagai jenis hal yang ada dapat menjadi objek pengetahuan sebagai tujuan dari keberadaannya yang bebas, maka kita mendaki bersama kategori dari Vaisheshika. Kategori ini antara lain: 1. Substansi, 2. kualitas, 3. gerak, 4. keumuman, 5. partikularitas, 6. inherensi, 7. ketidakberadaan.
Semua kategori ini adalah tipe dari hal-hal yang berkorespondensi pada tipe-tipe yang berbeda dari objek-objek yang dapat diketahui. Pengetahuan mengarah pada pewahyuan objek-objek diri yang mengetahui, perbedaan-perbedaan dalam objekyang diketahui mengarah pada objek riil yang berbeda dari jenis hal-hal yang ada.

Substansi
Pertama, hal yang berada adalah substansi. Hal ini mengacu pada itu yang ada secara bebas dari jenis yang bermacam hal, tetapi yang merupakan tempat eksistensi bagi jenis yang lain dari sesuatu. Sesuatu yang riil dalam dirinya (self). Kategori dari substansi adalah: 1. bumi, 2. air, 3. cahaya, 4. udara, 5. eter, 6. waktu, 7. ruang, 8. diri, 9. pikiran. Bumi, air, cahaya, udara, eter sebagai elemen fisik karena darinya dapat diketahui melalui indera eksternal yang partikular, bumi melalui pembauan, air melalui pengecap, cahaya melalui penglihatan, udara melalui sentuhan, eter melalui pendengaran.
Substansi ini dimengerti dalam dua cara. Pertama, semua itu dapat dipikirkan sebagai atom-atom abadi yang tidak dapat dibagi. Kedua, semua itu adalah hasil dari kombinasi atom-atom. Substansi itu dalam nilai rasa dari gabungan hal-hal seperti kendi dibuat dari atom dalam dasar penyimpulan. Jika kendi itu pecah, hal itu direduksi dalam beberapa bagian. Tiap-tiap bagian dapat dipecah lagi dipecah dalam banyak bagian. Hal ini tidak mungkin setiap bagian dapat dirusak, karena bagian yang terkecil merupakan suatu gabungan. Hal ini penting bahwa ada unsur-unsur pokok tertinggi yang sederhana menurut Vaisheshika. Unsur pokok dari substansi adalah atom.
Ruang dan waktu substansi diketahui karena ada persepsi di sana dan di sini, jauh dekat, masa lalu masa sekarang dan akan datang. Eksistensi dari ruang disimpulkan dalam dasar bahwa suara ditangkap karena suara adalah kualitas, hal tersebut mewariskan bahwa hal tersebut termasuk ruang. Waktu disimpulkan dalam dasar bahwa perubahan ditangkap sebagai kualitas, hal tersebut termasuk waktu. Pengetahuan adalah kualitas dari yang tahu dan hal tersebut ada dalam substansi yang disebut diri yang adalah dasar kesadaran. Pikiran disimpulkan pada dasar bahwa perasaan dan kehendak yang diketahui, hal tersebut tidak diketahui oleh indera eksternal melainkan oleh pikiran. Hal tersebut mengarah pada indera dan mengumpulkan kontak ke dalam pengalaman. Pikiran adalah substansi indera yang berkontak sebagai kualitas.

Kualitas
Kategori kedua dari objek terletak pada kualitas. Kualitas mengacu pada berbagai kualifikasi dari substansi termasuk warna, bau, kontak, suara, jumlah, ukuran, perbedaan, koneksi, pemisahan, durasi, jarak, pengetahuan, kebahagiaan,, duka-cita, kemauan, kebencian, usaha, keberatan, ketidakstabilan, potensi, kebaikan, kekurangan. Daftar kualifikasi tersebut adalah cara mengungkapkan bahwa substansi dapat ada, misalnya: merah atau biru, menyengat atau harum, terikat atau terlepas, lembut atau kasar, tunggalatau jamak, besar atau kecil, sama atau berbeda, terpisah atau bersama, panjang atau pendek, jauh atau dekat, pandai atau bodoh, senang atau sedih, ingin atau tidak ingin, cinta atau benci, mencoba atau tidak mencoba, ringan atau berat, bergerak atau tidak bergerak, mampu atau tidak mampu, baik atau buruk. Banyak pembagian kualitas. Daftar tersebut termasuk jenis-jenis dsar kualifikasi substansi.

Gerakan
Jenis ketiga dasar dan realitas yang tidak dapat direduksi adalah gerakan. Jenis yang berbeda dari gerakan adalah: 1. gerakan ke atas, 2. gerakan ke bawa, 3. kontraksi, 4. ekspansi, 5. gerakan lokalis. Jenis gerakan adalah jenis realitas yang menghitung perubahan yang dialami substansi.

Universal
Kategori keempat adalah esensi universal. Esensi universal menghitung kesamaan yang ditemukan dalam substansi, kualitas atau perbuatan. Empat ekor sapi, empat buah berwarna merah, dan empat kali gerakan ke atas, masing-masing memiliki kesamaan dalam esensi universal yakni sapi, warna merah, gerakan ke atas. Kesamaan tersebut dianggap sesuatu yang objektif masuk di dalamnya hal individual yang benar-benar sama dengan kualitas. Alasannya bahwa keempat ekor sapi tersebut semuanyadapat dikenal sebagai sapi bahwa hal tersebut terbagi dalam esensi yang sama atau kodrat dari “sapi”. Esensi tersebut adalah universal. Hal tersebut memungkinkan orang membentuk konsep-konsep kelas (klasifikasi) dan menetapkan hal-hal individual kelas yang benar.

Partikularitas
Kemampuan menangkap objek secara partikular dan membedakan objek pada kategori partikularitas, yang termasuk objek yang ditangkap. Secara berkelanjutan penginderaan dan aktivitas mental, objek-objek partikular ditangkap. Banyak hal tidak mempunyai karakter yang membedakan dari yang lain, tidak ada alasan sesuatu ditangkap sebagai yang partikular. Semua ini ditangkap sebagai partikular yang berbeda, ada beberapa pondasi yang membedakan semua ini dalam realitas. Oleh karena itu, partikular ada dalam realitas.

Inherensi
Kategori dari inherensi merupakan refleksi fakta bahwa semua hal berbeda, contohnya: substansi, kualitas, perbuatan, dan lainnya yang nampak sebagai satu kesatuan. Untuk itu, ukuran dari objek, warna dari objek, sifat dari objek dan partikularitas objek sebagai objek. Semua muncul secara menyeluruh sehingga kita berpikir tentang suatu hal yang muncul, daripada sebuah kumpulan banyak hal yang muncul di depan kita. Keseluruhan itu berinherensi pada tiap bagiannya: kendi dalam tanah liat, pensil dalam kayu, dan lainnya. Dasar kesatuan jenis berbeda dari berbagai hal dalam substansi, seperti kategori itu mempunyai pondasi dalam realitas. Inherensi tidak dapat direduksi dalam berbagai jenis dari sesuatu, hal tersebut dikenal sebagai suatu jenis yang bebas dari realitas.

Noneksistensi
Penambahan jenis-jenis dari objek yang dapat diketahui ini, Vaisheshika mengenal kategori yang disebut noneksistensi. Noneksistensi bisa nampak sebagai suatu realitas jenis yang asing, eksistensinya tidak dapat ditanyakan, berdasarkan Vaisheshika, pertanyaan ini bertanya dengan tujuan memberi sugesti mengenai hal yang tidak ada. Hal ini ditanyakan guna mengafirmasi kategori noneksistensi itu. Argumen pokokuntuk mengklaim noneksistensi sebagai sebuah kategori bahwa hal tersebut tidak mungkin tanpa negasi.
Kategori eksistensi menetapkan penemuan berbagai jenis hal yang ada, menurut Nyaya dan Vaisheshika. Nyaya meletakkan perkembangan khusus dalam diri yang mengetahui, mengingat Vaisheshika mengembangkan jenis ada sebagai objek pengetahuan.

Penahu
Nyaya menyatakan mengenai diri yang kenal subjek adalah suatu substansi unik. Kualitas-kualitas substansi merupakan diri adalah: pengetahuan, perasaan (feeling), dan kemauan. Berdasar dengan itu, diri diidentifikasikan sebagai suatu substansi kualitas dari kemauan, keengganan, kesenangan, luka, dan lainnya diwariskan bagi semua pengetahuan, perasaan, dan kemauan. Tidak ada satupun diantara hal tersebut adalah kualitas fisik, sebab hal tersebut tidak dapat ditangkap sebagai kualitas fisik oleh indera. Hal itu termasuk substansi lain dari substansi fisik, menurut Nyaya.
Diri dibedakan dari objek fisik, sensasi, kesadaran, dan pikiran (the mind), sebab diri mengalami semuanya sebagai objek pengetahuan. Seseorang mungkin bertanya: siapa yang mengetahui realitas, siapa yang menangkap, siapa yang sadar, dan lainnya? Pada setiap kasus, jawaban yang diberikan adalah diri. Sebab segala sesuatu yang lain menjadi objek diri, namun objek sebagai objek memerlukan suatu subjek yang menjadi objek. Berdasarkan penjelasan tersebut, diri tidak menjadi objek. Tidak juga untuk alasan yang sama, hal tersebut identik dengan segala sesuatu yang menjadi objek, contohnya pikiran dan tubuh, sebab diri didefinisikan sebagai objek.
Diri adalah substansi unik dan kesadaran termasuk kualitas, diri tidak mendasarkan pada eksistensi kesadaran. Kenyataannya berdasarkan Nyaya kebebasan tertinggi atau kemerdekaan merupakan kemerdekaan kesadaran. Alasan terhadap hal tersebut adalah bahwa kesadaran nampak sebagai kesadaran terhadap suatu hal. Hal tersebut diduga sebuah dualitas antara subjek dan objek. Ketika terdapat suatu dualitas, penderitaan dan perbudakan adalah suatu hal yang mungkin, sebab subjek dikelilingi objek dan dibuat menderita. Untuk menghilangkan penderitaan dan perbudakan, dualitas harus dihilangkan. Hal ini dilakukan dengan menghilangkan penderitaan kesadaran. Jika diri secara esensial adalah kesadaran, hal ini artinya mematikan diri. Kesadaran hanya karakterdari diri, diri tidak dapat dihancurkan ketika kesadaran dihilangkan. Diri ini tidak diturunkan dan tidak direduksi menjadi hal lain dari diri sendiri. Kesimpulan dapat kita katakan bahwa diri dalam keadaan merdeka adalah suatu hal yang sederhana dari diri.

PENUTUP: CATATAN KRITIS
Filsafat Nyaya Vaisheshika
Sejarah perkembangan filsafat India berkaitan erat dengan perkembangan semangat religius orang India. Semangat religius dalam Hinduisme berkembang terus mulai dari animisme, politeisme, sampai pada panteistik dan monistik.
Perkembangan filsafat India dalam Wedanta seperti menjadi puncak perkembangan religius India. Dalam aliran filsafat ini, muncul pandangan teistik. Ini merupakan suatu perkembangan yang ada dalam filsafat India. Pada aliran filsafat ini (Wedanta), mereka menemukan “adanya” realitas tertinggi dalam dunia yang mereka sebut dengan Brahman. Brahman ini kemudian mempribadi dalam wujud yang berbeda dalam bentuk dewa-dewi sesuai dengan konteks umat yang memujanya. Akan tetapi yang jelas mereka mengakui bahwa Brahman itu hanya satu. Dia adalah “Tuhan”.

TAFSIR EF 2:1-10

PERALIHAN HIDUP DAN KEUTUHAN HIDUP
DALAM KRISTUS
EF 2:1-10

By. Antonius Agus Sumaryono

I. Pengantar
Dalam Efesus ini gambaran yang dibawa adalah mengenai Gereja Universal. Bab dua ini dibagi dalam dua perikop. Bab 2:1-10 berisi tentang peralihan hidup dari kehidupan lama kepada kehidupan baru dalam Kristus, sedangkan bab 2:11-22 berisi tentang keutuhan hidup dalam jemaat.

II. Analisa Teks 2:1-10
Kamu dahulu mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu (ayat 1). Penulis Efesus pertama-tama ingin mengingatkan pembacanya bahwa mereka sekarang hidup dalam kegembiraan kristen dan memperoleh hak istimewa dari hidup kristen. Mereka diingatkan apa yang telah dirasakan sebelum menjadi kristen. Sekarang, mereka digambarkan bahwa hidup lama sebagai satu tindakan dari kematian. Mereka telah mati karena kesalahan dan dosa (traspasses, paraptõma) dan (sin, hamartia). Konsekwensi dari dosa adalah mati yang mana hidup manusia mengarah kepada sesuatu yang dapat disebut “mati”[1].
Kematian adalah satu gambaran yang tepat dari akibat dosa. Menurut Paulus tiap-tiap orang berdosa adalah orang “mati”, karena hubungannya dengan Allah telah dirusak.[2] Kata kematian dipakai sebagai kiasan dari perubahan hidup rohani dan moral. Paulus ingin menghidupkan kembali dari kematian atau disebut sebagai peralihan (transformed). Peralihan dari mati ke hidup yang dihasilkan dalam kehidupan mereka telah disempurnakan oleh karena Kristus. Hidup adalah kekayaan kesadaran baru dari kebaikan dan semua itu memperoleh kepenuhannya dalam Kristus.
Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka (ayat 2). Kesalahan dan dosa digambarkan sebagai suatu peristiwa yang berjalan dalam dunia. Maksud dari ayat ini ditujukan kepada orang non Yahudi, yang mana mereka masih percaya pada dewa penguasa lain (penguasa dunia). Dewa bangsa Yunani yang mereka sebut aiõn digambarkan sebagai seorang penguasa kekuasaan udara. Kata udara ini digunakan untuk mengindikasi ruang antara bumi dimana manusia tidak patuh dan berdosa dengan surga di mana Tuhan berkuasa dengan otoritas yang tidak diragukan. Dalam zaman kuno, udara sebagai kekuasaan dari bermacam-macam roh, diantaranya roh iblis. Aiõn ini berupa roh yang bekerja di dunia dalam anak yang tidak patuh, sedangkan dalam tradisi Yahudi anak yang tidak patuh diungkapkan dengan arti orang yang tidak patuh kepada Tuhan.
Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain (ayat 3). Arti dari ayat ini mempunyai karakteristik bahwa mereka hidup dalam penderitaan daging, karena mereka hidup di dalamnya. Mereka dipaksa hidup seperti sebelum kekristenan, artinya hidup dalam ketidakpatuhan. Kadangkala dalam Perjanjian Baru khususnya tulisan Paulus, kata daging digunakan dalam satu cara alami yang diartikan dalam aspek fisik dari kodrat manusia. Paulus menuliskan itu untuk menggambarkan dasar hukum kodrat yang mana dengan mudah menentang hukum Tuhan dan bersekutu dengan setan. Di sini, penulis Efesus berkeinginan untuk menegaskan bahwa dosa-dosa nafsu daging telah merasuk ke dalam tubuh dan pikiran.
Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita (ayat 4). Di sini, Allah digambarkan dengan dua sifat yakni kaya belaskasihan dan penuh cinta. Rahmat merupakan satu kata yang beberapa kali dipakai oleh penulis Efesus untuk menggambarkan keramahan Tuhan kepada siapa saja yang pantas menerimanya. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah adalah Maha Kasih dan kaya rahmat. Penekanan penulis Efesus ini yakni bagaimana kebesaran Allah yang kaya rahmat itu sangat mencintai manusia sebagai orang yang berdosa. Oleh karena itu, manusia memperoleh rahmat yang melimpah karena Allah sebagai sumber segala rahmat dan kasih mau mengampuni kita, orang-orang yang berdosa.
Telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita oleh kasih karunia kamu diselamatkan dan di dalam Kristus Yesus, Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di surga (ayat 5-6). Di sini Allah menunjukkan kebesaranNya dengan menghidupkan Kristus yang mati karena kesalahan-kesalahan kita. Rahasia keselamatan Allah melalui Kristus adalah wujud dari kasih Allah seperti yang telah ditulis dalam ayat sebelumnya. Allah telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus. Kristus telah dihidupkan oleh Allah supaya Ia ditinggikan begitu pula dengan kita. Hidup baru adalah keselamatan atas dasar rahmat. Tuhan menghidupkan kita bersama dengan Kristus yang bangkit dengan kita dan mendudukkan kita dalam Kerajaan Surga. Kata “made to sit” sulit untuk ditafsirkan karena kata ini dalam bentuk lampau. Kata yang serupa dalam Injil memakai bentuk akan datang (Luk 22:30; Mat 19:29). Yakobus dan Yohanes meminta untuk duduk di sebelah kiri dan kanan Yesus bila Ia datang sebagai Raja. Hak duduk dalam Kerajaan Surga merupakan hak khusus hanya untuk Tuhan, tetapi semua itu dijanjikan kepada kita yang percaya kepadaNya.
Supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus (ayat 7). Banyak ahli menuntut bahwa dalam konteks ini masa yang akan datang harus diartikan salah satu kehidupan setelah mati, atau dimulai ketika masa sekarang berakhir dengan kedatangan kedua Kristus. Kedatangan kedua Kristus sebagai pembuka dalam masa yang akan datang. Paulus melihat wajah Gereja sebagai satu kelanjutan tugas di atas dunia. Hal ini adalah bagian penting dari penulis bahwa penulis tidak hanya menghadirkan kembali esensi pengajaran dari Paulus tetapi dimana format pengajaran ini tidak lagi dapat digunakan untuk merubah waktu, penulis hanya menafsikan ulang atas teks ini.
Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya (ayat 8-10). Tiga ayat ini adalah satu kesimpulan yang mengilhami dari teologi Paulus. Keistimewaan utama dalam ayat ini adalah keselamatan, Allah mempunyai bagian dalam keselamatan manusia. Dalam Efesus, keselamatan termasuk satu kata yang mencakup banyak makna Paulus mengartikannya dalam beberapa pernyataan antara lain sebagai pembenaran, pendamaian, pengangkatan dan lain-lain. Demikian juga apa yang Paulus katakan tentang pembenaran dalam Roma. Penulis mengatakan tentang keselamatan sebagai berkat karunia iman, kita diselamatkan.
Keselamatan bukan semata-mata hasil usaha kita tetapi suatu pemberian dari Allah. Itu semua dikerjakan oleh Allah, Allah memberi dari permulaan sampai pada akhir. Oleh karena itu orang diharapkan untuk tidak memegahkan diri sendiri karena semuanya itu adalah pekerjaan Allah. Penegasan atas keselamatan dalam hal ini adalah hidup dalam iman yang diciptakan oleh Kristus Yesus. Banyak komentator mempunyai pendapat bahwa kata pemberian di sini diartikan untuk menggambarkan iman membawa kepada keselamatan.
Penulis menegaskan kembali bahwa segala sesuatu tentang keselamatan ini adalah sebagai pemberian Allah. Kita tidak selamat oleh pekerjaan kita sendiri tetapi kita diselamatkan karena pekerjaan yang baik. Pekerjaan yang baik digambarkan sebagai tindakan yang mana Allah telah mempersiapkan sebelumnya, bahwa kita akan berjalan dalam pekerjaan Allah.

III. Analisa Teks 2:11-22
Perikop kedua (2:11-22) terbagi dalam tiga bagian yaitu:
1. Situasi sebelum Kristus - keterpisahan dan perseteruan (2:11-12)
2. Perdamaian oleh darah Kristus (2:13-18)
3. Persatuan dalam jemaat (2:19-22)
1. Situasi sebelum Kristus – keterpisahan dan perseteruan
Dalam perikop ini Rasul Paulus mengawali frase ini dengan kata” karena itu”, untuk menyatukan perikop sebelumnya di mana para pendengarnya sebagai seorang Kristen telah menerima dan mengalami segala kebaikan Allah, seperti telah tertulis dalam Ef. 1:3 - 2:10. Rasul Paulus juga mengajak pendengarnya untuk mengingat kembali akan keadaan mereka di masa lampau, ketika mereka belum menjadi warga Keluarga Allah. Hal ini dikatakan oleh Paulus untuk mengajak mereka mensyukuri akan segala Kasih Allah yang saat ini mereka rasakan. Ada dua situasi yang menggambarkan hidup mereka di masa silam, yang kini semua itu telah diperdamaikan oleh Kristus. Dua situasi itu adalah: a). Relasi mereka dengan orang-orang Yahudi yang menyebut mereka “orang-orang tak bersunat” (2:11), yang membawa mereka kepada jurang keterpisahan dan perseteruan. b). Bahwa hidup mereka tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel, tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, hidup tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia (2:12).
a) Sunat menurut orang Yahudi adalah tanda istimewa, tanda perjanjian Allah dengan umatNya, tanda yang menjadikan mereka umat Allah dan milik Allah. Menurut orang Yahudi hanya mereka sajalah umat Allah itu (karena tanda sunat yang mereka lakukan), sedangkan orang-orang tak bersunat bukan termasuk umat Allah. Oleh karena itulah Orang Yahudi memandang rendah mereka yang tidak bersunat. Sebutan “tak bersunat” itulah yang membuat mereka terpisah dengan orang Yahudi dan terjadi perseteruan di antara mereka. Akan tetapi Paulus mengkritik tanda sunat yang menjadi kebanggaan Orang Yahudi itu, dengan menegaskan bahwa semua itu hanyalah tanda lahiriah belaka yang dikerjakan oleh tangan manusia. Bahkan dalam suratnya kepada jemaat lain, Paulus dengan tegas menyatakan bahwa sunat yang sejati bukanlah yang bersifat lahiriah dan jasmani, tetapi sunat yang secara rohani yaitu sunat di dalam hati. (Rm.2:28). Dalam Flp. 3:3 Paulus meneguhkan iman orang-orang Kristen, baik Yahudi maupun non Yahudi bahwa merekalah orang-orang bersunat, yang beribadah oleh Roh Allah dan bermegah dalam Kristus Yesus dan tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah”.
b) Situasi kedua yang telah diubah oleh Kristus adalah hidup mereka di dunia ini. Sebelumnya hidup mereka digambarkan sebagai hidup tanpa Kristus, yang artinya bahwa mereka tidak memiliki siapapun untuk bergantung. Karena mereka bukan orang Yahudi, mereka bukan termasuk orang yang bersunat, sehingga dengan demikian mereka tidak mendapatkan bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan. Hidup mereka dikatakan juga tanpa harapan dan tanpa Allah. Harapan dalam arti hidup sesudah kematian (tanpa masa depan), sebab bagi mereka yang tidak mengenal kebangkitan, kematian merupakan suatu keputus-asaan. Hidup tanpa Allah di dunia ini artinya bahwa mereka hidup tanpa iman akan Allah yang menopang hidup mereka seperti sekarang ini.
Semenjak mereka menjadi Kristen, hidup mereka diperdamaikan dari situasi permusuhan dan dari situasi kesendirian yang tanpa harapan. Mereka dibebaskan dari segala situasi yang tidak memberi janji yang pasti.

2. Perdamaian oleh Darah Kristus. (2:13-18)
Tetapi situasi yang dahulu itu sekarang tidak ada lagi. Mereka sekarang hidup dalam situasi yang lain, suatu situasi yang sama sekali baru, yakni suatu situasi hidup “di dalam Kristus Yesus”. Dialah yang menciptakan perubahan situasi itu. Oleh Dia atau lebih tepatnya oleh darah-Nya, mereka yang dahulu jauh sudah menjadi dekat. Yang dimaksud dengan oleh darahNya adalah lewat kematian-Nya di salib.
Oleh Paulus, Yesus disebut sebagai “Damai sejahtera” (2:14), karena Ia telah menjadi pendamai manusia, damai dengan Allah dan damai dengan sesama kristen apapun suku bangsanya. Tembok perseteruan antara dua bangsa telah dirubuhkanNya. Tembok pemisah dalam arti metafor yakni suatu pola pikir dan penafsiran yang salah, yang membawa dua suku bangsa hidup dalam permusuhan, saling curiga dan membenci satu sama lain, khususnya antara Yahudi dan orang-orang kafir. Permusuhan inilah yang telah dilebur oleh Kristus, sehingga sekarang antara Yahudi dan orang kafir bersatu dalam persahabatan yang luar biasa. Melalui kamatianNya, Kristus juga telah membatalkan hukum taurat dengan perintah-perintah dan peraturannya sebagai hal yang menentukan. Tujuan dari melakukan itu adalah untuk menciptakan ciptaan baru dalam diriNya dari dua kelompok, Yahudi dan bangsa lain (2:15). Dengan cara demikian, malalui salib, Ia mendamaikan keduanya kepada Allah dalam satu tubuh, dengan menghilangkan permusuhan diantara mereka (2:16). Tubuh yang satu ini merupakan sebuah istilah yang menunjuk baik kepada tubuh jasmani Kristus yang dibunuh, dan kepada tubuhNya, Gereja yang terdiri dari bangsa Yahudi dan bangsa lain. Maka dari itu, dengan kedatanganNya dan dengan tindakanNya, Ia memaklumkan kedamaian baik kepada bangsa Yahudi yang dekat dan bangsa lain yang berada jauh (2:17). Akibatnya, keduanya dapat mendekati Bapa dalam satu Roh (2:18).

3. Persatuan dalam Jemaat (2:19-22)
Ketika umat Allah hanya terdiri dari orang-orang Israel, orang kafir tidak termasuk di dalamnya. Mereka disebut sebagai orang asing. Akan tetapi sekarang, umat Allah itu adalah komunitas umat Kristiani yang baru, di mana orang Kristen kafir juga termasuk di dalamnya. Sejak dipersatukan oleh Kristus Yesus mereka bukan lagi orang asing melainkan kawan sewarga dengan orang-orang kudus dan menjadi anggota Keluarga Allah (2:19). Keluarga Allah itu dibangun atas dasar para rasul dan para nabi dan Kristus Yesus adalah batu penjurunya. Para Rasul di sini tidak terbatas pada kedua belas rasul Yesus, karena Paulus yang tidak termasuk kelompok ini tetap sebagai rasul. Para nabi tidak menunjuk pada tokoh-tokoh Perjanjian lama melainkan kepada sekelompok orang Kristen tertentu yang pelayanannya masih dinyatakan dalam karya-karya Kristen lama sesudah semua rasul meninggal. Kristus Yesus disebut sebagai batu penjuru GerejaNya. Arti dari kata Yunani akrogoniaios yang diterjemahkan sebagai batu penjuru ini telah menjadi bahan perdebatan yang serius. Kata batu penjuru ini terdapat hanya sekali dalam Septuaginta yaitu dalam Yes. 28:16, dan di situ kata itu memiliki arti yang jelas yaitu suatu batu yang menempati tempat yang penting dalam pondasi bangunan. Akan tetapi lepas dari arti itu, setiap ahli mengambil kata itu untuk arti yang berbeda-beda menurut bidang mereka masing-masing. Ada yang mengartikan bahwa batu penjuru itu adalah batu yang memahkotai suatu bangunan (menurut Jeremias), ada pula yang mengartikan sebagai batu yang berada di puncak pyramid atau tugu, yang diletakkan paling akhir, sebagai pengunci dari keseluruhan struktur bangunan. (dalam leksikon Patristik Yunani). Bagaimanapun juga, batu penjuru yang dimaksud dalam Efesus ini adalah batu penjuru dari suatu pondasi, dan bukan puncak dari monumen, batu terakhir yang membuat suatu bangunan sempurna.
Gereja Yesus Kristus adalah Gereja yang kuat dan langgeng (abadi), yang tetap mampu bertahan dalam lajunya waktu, jika Gereja itu tetap dibangun dalam garis yang tetap mengacu pada Kristus sebagai batu penjurunya. Gereja Kristus yang walaupun terdiri dari bermacam-macam jemaat lokal, semuanya tetap berdasar pada kebenaran melalui para rasul dan para nabi dan bersatu dalam segala hal yang mereka kerjakan dan tetap berpihak pada Yesus Kristus maka Gereja itu akan tetap tumbuh dan berkembang, menjadi suatu bangunan bait Allah yang kudus. Dalam Kristus, para pembaca bukan Yahudi ini dibangun menjadi kenisah yang kudus juga, tempat Allah bersemayam.










DAFTAR PUSTAKA

Sumber Utama
Mitton, C. Leslie, The New Century Bible Commentary Ephesian, London:, 1976.
Sumber pendukung
Abbott, T.K, A Critical and Exegetical Commentary on Epistles to the Ephesians and to the Colossians, Edinburgh: International Critical Commentary, 1897.
Abineno, J.L.CH., Dr., Tafsiran Alkitab – Surat efesus, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.
Barclay, William, Pemahaman Alkitab setiap Hari: Surat-surat Galatia dan Efesus, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Bergant, Dianne, CSA., dan Robert J. Karris, OFM. (eds), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005.
Bruce, Frederick Fyvie, The Epistle to The Ephesians, California: W.B. Eerdmans Published, 1984.
Foulkes, Francis, MA., Tyndale: The New Testament Commentaries,The Epistle of Paul to The Ephesians An Introduction and Commentary, England: Inter-Varsity Press, 1983.
Köningsmann, Josef, Dr., SVD, Tafsiran Surat kepada umat di Galatia, Surat kepada orang kudus di Efesus, Injil Markus, STFTK Ledalero, 1979.
Robinson, Joseph Armitage, St. Paul’s Epistle to The Ephesians, London: McMillan & Co,1904.

[1] Kata “mati” yang dimaksud bukan mati secara fisik tetapi mati rohani, karena latar belakang jemaat yang dituju adalah berkebudayaan Yunani, sehingga masih dipengaruhi oleh alam pemikiran Platonis yang kuat.
[2] Bdk. Dr. Josef Köningsmann, SVD, Tafsiran Surat kepada umat di Galatia, Surat kepada orang kudus di Efesus, Injil Markus, STFTK Ledalero, 1979, hlm. 88.