Minggu, 31 Mei 2009

SAKRAMEN PENEBUSAN

Sakramen Penebusan (Redeptorist Scramentum)

TINDAKAN PEMULIHAN
169. Bila terjadi penyelewengan dalam perayaan Liturgi suci, maka hal itu harus dipandang sebagai suatu pencemaran Liturgi Katolik. St. Thomas menulis: "Kejahatan dibuat oleh siapa saja yang atas nama Gereja beribadat kepada Allah menurut suatu cara yang berlawanan dengan apa yang oleh Gereja telah ditetapkan sesuai wewenang ilahi dan sudah menjadi kebiasaan dalam Gereja".
170. Demi membuat pemulihan terhadap penyelewengan-penyelewengan yang demikian, maka "amat perlulah pembinaan biblis dan liturgis bagi umat Allah, baik para pastor maupun umat", sehingga iman Gereja serta peraturannya menyangkut Liturgi suci dijelaskan dan dipahami dengan tepat. Akan tetapi kalau di suatu tempat penyelewengan-penyelewengan terus terjadi, maka perlulah, sesuai dengan hukum, diambil langkah untuk mengamankan warisan spiritual serta hak Gereja dengan mempergunakan daya upaya yang sah.
171. Di antara berbagai penyelewengan ada beberapa yang secara obyektif termasuk kejahatan amat besar (graviora delicta) atau sebaliknya merupakan pelanggaran berat dan yang lain sebagai penyimpangan-penyimpangan yang harus dihindarkan dan diperbaiki. Sambil memperhatikan terutama apa yang sudah diuraikan dalam Bab I dari Instruksi ini, maka perlulah diberi perhatian kepada hal-hal yang berikut ini.

1. Kejahatan amat besar (Graviora Delicta)
172. Kejahatan-kejahatan amat besar (graviora delicta) melawan kekudusan Kurban yang Mahaluhur serta melawan Sakramen Ekaristi harus ditangani sesuai dengan ‘Norma-norma tentang graviora delicta yang hanya dapat diampuni oleh Kongregasi Ajaran Iman’, yaitu:
membawa pergi atau menyimpan Hosti yang telah dikonsekrir untuk maksud sakrilegi, ataupun menbuangnya;
usaha merayakan Ekaristi oleh seorang yang tidak menerima tahbisan imamat atau meniru perayaan dimaksud;
konselebrasi terlarang dalam Kurban Ekaristi bersama pelayan-pelayan Persekutuan-Persekutuan Gerejani yang tidak mempunyai suksesi apostolik dan tidak mengakui martabat Pentahbisan Imam;
dalam perayaan Ekaristi, dengan maksud sakrilegi, mengkonsekrir satu bahan tanpa yang lain, atau juga mengkonsekrir keduanya di luar perayaan Ekaristi.

2. Pelanggaran Berat
173. Tentu saja berat atau seriusnya sesuatu hal harus dinilai sesuai dengan ajaran umum Gereja serta norma-norma yang sudah ditetapkan olehnya. Namun secara obyektif hal-hal yang harus dipandang sebagai pelanggaran berat ialah segala sesuatu yang membahayakan sahnya serta keluhuran Ekaristi yang Mahakudus: ialah segala apa saja yang bertentangan dengan apa yang diuraikan lebih awal dalam Instruksi. Selain itu perlu juga diperhatikan penetapan-penetapan lain dalam Kitab Hukum Kanonik, khususnya apa yang tersirat dalam kanon 1364, 1369, 1373, 1376, 1380, 1384, 1385, 1386, 1398.

3. Penyelewengan-penyelewengan lain
174. Perlu ditambahkan bahwa perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan peraturan-peraturan lain, yang dibahas di lain tempat dalam Instruksi ini atau dalam norma-norma yang tercantum dalam hukum, tidak boleh dipandang enteng, melainkan termasuk penyelewengan-penyelewengan lain, yang harus dengan seksama dielakkan dan diperbaiki.
175. Segala yang dikemukakan dalam Instruksi ini tentu saja tidak mencakup semua pelanggaran melawan Gereja serta peraturannya yang terungkapkan dalam kanon-kanon, dalam undang-undang liturgi dan dalam peraturan Gereja lain demi Ajaran yang benar atau tradisi yang sehat. Kalau dilakukan kesalahan, maka haruslah diperbaiki menurut norma hukum.

4. Uskup Diosesan
176. Uskup Diosesan, "karena ia adalah pembagi utama misteri-misteri Allah, maka hendaknya ia senantiasa berusaha agar orang-orang beriman Kristiani yang dipercayakan kepada reksanya, dengan perayaan Sakramen-Sakramen tumbuh dalam rahmat, dan agar mereka mengenal dan menghayati misteri Paskah. " Menjadi tanggung jawabnya untuk "dalam batas-batas kewenangannya memberikan norma-norma mengenai Liturgi yang harus ditaati oleh semua".
177. "Karena harus melindungi seluruh Gereja, maka Uskup wajib memajukan tata-tertib umum untuk seluruh Gereja dan karenanya harus mendesak agar semua undang-undang Gerejani ditaati. Hendaknya ia menjaga agar kebiasaan yang tak baik jangan menyelinap ke dalam tata-tertib Gerejani, terutama dalam hal pelayanan sabda, perayaan sakramen-sakramen dan sakramentali serta penghormatan terhadap Allah dan para Kudus".
178. Dari sebab itu, bilamana saja seorang Ordinaris lokal atau Ordinaris dari sebuah komunitas Hidup Bakti atau dari sebuah Institut Sekulir menerima informasi yang patut menjadi perhatian tentang suatu pelanggaran atau penyelewengan menyangkut Ekaristi Mahakudus, hendaknya ia mengadakan pemeriksaan seksama, entah dia sendiri entah dengan pengantaraan seorang klerikus lain yang pantas, baik menyangkut fakta-fakta dan situasi maupun mengenai pelanggaran itu sendiri.
179. Pelanggaran terhadap iman dan juga graviora delicta yang dilakukan dalam perayaan Ekaristi serta Sakramen-Sakramen lain, harus dengan segera dilapor kepada Kongregasi Ajaran Iman, yang "akan menyelidikinya dan – seperlunya – akan mengucapkan deklarasi atau peneterapan sanksi-sanksi kanonik sesuai dengan norma hukum umum atau partikular".
180. Dalam hal-hal lain, hendaknya Ordinaris bertindak sesuai dengan norma-norma kanon-kanon suci, dengan memberikan hukuman kanonik bila ada pelanggaran, seraya menimbang dan menerapkan secara khusus apa yang ditetapkan dalam kan. 1326. Jika masalahnya sungguh serius, hendaknya diberitahukan kepada Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen.

5. Takhta Apostolik
181. Bilamana saja Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen menerima laporan tentang suatu pelanggaran atau penyelewengan menyangkut Ekaristi Mahakudus , yang sedikitnya patut diperiksa lebih lanjut, maka Kongregasi tersebut memberitahukannya kepada Ordinaris sehingga dia dsapat membuat penyelidikan terhadap masalah itu. Jika ternyata masalahnya serius, Ordinaris harus secepat mungkin – kepada Dikasteri yang sama – mengirim photocopy dari akta-akta pemeriksaan yang telah dilaksanakan dan – dimana perlu – hukuman yang telah diberlakukan.
182. Dalam kasus-kasus yang lebih sulit, Ordinaris, demi keselamatan Gereja universal – di dalamnya ia pun terlibat berdasarkan tahbisannya yang suci – tidak boleh gagal dalam hal menangani masalah itu setelah memperoleh nasehat dari Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen. Kongregasi tersebut, atas kuasa yang diberikan kepadanya oleh Sri Paus, akan – sesuai dengan itu – mendampingi Ordinaris seraya memberikan kepadanya fasilitas untuk memberikan dispensasi-dispensasi yang perlu atau memberikan kepadanya instruksi atau petunjuk, yang harus dijalankannya dengan seksama.

5. Keluhan tentang Pelanggaran di Bidang Liturgi
183. Semua orang dengan caranya yang khusus sekali hendaknya berusaha dengan segala kemampuannya untuk menjamin bahwa Sakramen Ekaristi yang Mahakudus itu terlindung dari segala pencemaran dan dari setiap nista dan bahwa semua penyelewengan diperbaiki dengan sungguh-sungguh. Inilah suatu kewajiban berat yang mengikat setiap orang, dan semua orang wajib melaksakannya tanpa pandang muka.
184. Setiap warga Katolik, entah dia seorang Imam, Diakon atau awam dalam persekutuan beriman, berhak untuk memasukkan laporan tentang suatu pelanggaran di bidang Liturgi pada Uskup diosesan atau Ordinaris yang menurut hukum sama wewenangnya atau pada Takhta Apostolik berdasarkan primat Sri Paus. Namun, sejauh mungkin, patutlah laporan atau keluhan itu disampaikan kepada Uskup diossesan terlebih dahulu. Tentu saja hal ini harus dibuat sesuai dengan kebenaran dan dalam semangat cinta kasih.

MISTISISME HEIDEGGER

MISTISISME HEIDEGGER

By. Antonius Agus Sumaryono

Pendahuluan
Buku Heidegger “Sein und Zeit” merupakan suatu kritik atas pendapat Nietszche yang mengatakan bahwa Allah sudah mati. Heidegger mempertanyakan dalam kebisingan globalisasi informasi dan ekonomi pasar, nomad pemuja tubuh, petarung kapital, pendaki karier dan penjilat kekuasaan mengubur kecemasan eksistensial dalam kesibukan keseharian mempertanyakan “ke manakah Allah?”1. Dalam hidup keseharian manusia kerapakali mengalami suatu kecemasan. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena manusia pada dasarnya mempunyai sifat religius.
Heidegger merupakan seorang filosof yang teologis, karya-karya besarnya sangat bersifat teologis mistis. Dalam karyanya “Sein und Zeit” Heidegger mengungkapkan tentang subyek kesadaran sebagai suatu cara untuk mengungkapkan realitas diri khususnya dirinya sendiri. Subyek kesadaran bukanlah segala-galanya, oleh karena itu aspek realitas dipakai untuk mengungkapkan totalitas melalui refleksi.
Paper ini akan membahas mengenai mistisisme dari pemikiran Heidegger dalam bukunya “Seit und Zeit” sebagai titik tolak analisis mengenai Dasein. Ulasan-ulasan akan memfokuskan tentang suasana hati dalam hidup sehari-hari manusia dewasa ini seiring dengan perkembangan era globalisasi informasi.

Fenomenologi Heidegger
Fenemenologi merupakan suatu penampakan dari gejala alam yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Heidegger memakai fenomenologi sebagai perenungan mengenai “Being” atau “Sein” untuk mengungkapkan penampakan yang ada dalam diri sendiri.2 Dalam hal ini, penampakan janganlah membawa pada pemaksaan untuk ditafsirkan saja melainkan bagaimana membuka diri terhadap penampakan. Sikap terhadap penampakan bukanlah sekedar untuk menganalisa melainkan bagaimana membuka diri terhadap “Sein” untuk mendekati fenomen tersebut. Dari sikap inilah maka timbullah pertanyaan “mengapa aku ada?” Pertanyaan ini yang kerapkali menyelimuti kehidupan manusia sehari-hari.
Pendekatan fenemenologi Heidegger merupakan suatu kesadaran terhadap sesuatu memiliki format tematis tertentu. Artinya, bahwa kesadaran dalam dunia mempunyai suatu bentuk, misalnya suasana takut maka kesadaran yang muncul juga suasana takut. Fenemenologi Heidegger merupakan suatu ontologi yang berhubungan dengan realitas. Heidegger menolak pendapat dari Descartes mengenai “Cogito Ergo Sum” yang menyatakan kesadaran berdasarkan atas subyektifitas. Kesadaran merupakan suatu cara penampakan dari realitas ”Sein” itu sendiri.
Konsep kesadaran merupakan suatu pemahaman “Sein” sebagai sesuatu yang mewahyukan diri kepada dirinya sendiri, hal ini adalah suatu hubungan subye dengan obyek yang dilampaui melalui satu pendekatan holistis-estetis terhadap realitas.3 Artinya, bahwa kita diajak untuk melihat realitas yang nampak sebagai peristiwa fenomen. Kesadaran merupakan suatu peristiwa Ada sebagai salah satu cara membuka dirinya bagi kita.
Fenomenologi Heidegger merupakan suatu pendekatan kesadaran melalui membuka diri terhadap realitas Ada sebagai suatu pewahyuan dari diri Ada itu sendiri. Dalam hal ini tidak dibutuhkan adanya penafsiran atau pemikiran tetapi suasana keheningan. Pemikiran Heidegger lebih mengarahkan kepada suatu yang mistik terhadap adanya penampakan-penampakan dari adanya realitas Ada.

Realitas Ada
Filsafat Heideggernadalah suatu pemahaman mengenai realitas Ada. Permulaan filsafat menurut Heidegger adalah suatu pertanyaan mengenai apa itu realitas Ada. Artinya, bahwa suatu yang ada tidak sekedar ada melainkan ada dalam dirinya sendiri. Seuatu yang mempertanyakan tentang Ada-nya oleh Heidegger disebut sebagai Dasein. Kata Dasein dalam bahasa Jerman mempunyai arti “Ada-di-sana”4. Ada-di-sana yang dimaksud adalah suatu yang Ada itu sebatas Ada yang di sana dan bukan Ada yang lain. Ada-di-sana merupakan realitas Ada yang tampak serta Ada dalam dunia. Ada ini ada dengan sendirinya dan merupakan ada yang penuh bukan mengada-ada.
Ada Dasein adalah kemungkinan ada itu sendiri dan ditentukan oleh Ada itu sendiri. Ada Dasein merupakan suatu yang khas dari Ada itu sendiri sehingga membedakan Ada itu dengan Ada-Ada yang lain, inilah yang dinamakan eksistensi. Eksistensi itu sendiri merupakan fakta Ada dari Dasein yang berpikir untuk mewujudkan kemungkinan yang melampaui dari dirinya. Sebagai contoh orang yang senang termenung akan merasa tidak tahan hidup karena akan selalu mempertanyakan mengapa dia ada.
Permasalahan yang diangkat oleh Heidegger mengenai masalah Ada merupakan suatu ontologis yang diambil dari penampakan. Heidegger mengkontekstualitaskan mengenai Ada dari Dasein yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari manusia dalam dunia (In-der-Welt-sein). Dalam hal ini konsep Ada sangat berhubungan ada dalam ruang Dasein itu berada dalam ruang atau menempati suatu tempat. In-der-Welt-sein merupakan satu ciri dasar yang sifatnya eksistensial. Jadi, Dasein secara menyeluruh mempunyai makna berada dalam dunia, dalam hal ini sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari.
Realitas Ada Dasein pada hakekatnya terletak pada eksistensinya. Artinya, bahwa Dasein merupakan suatu kemungkinan dari Ada yang menjadi itu dalam dirinya sendiri. Dasein tidak hanya sekedar ada dalam suatu yang temporer In-Zeit mungkin juga In-Zeit itu sendiri. Heidegger menghubungkan Ada Dasein dengan realitas sehari-hari khususnya dengan waktu. Manusia dalam realitasnya berada dalam putaran waktu. Waktu merupakan realitas Ada yang setiap saat melingkupi hidup sehari-hari manusia, oleh karena itu manusia tidak bisa lepas atau terpisah dengan realitas waktu. Semua perilaku manusia dalam hidup sehari-hari berada dalam putaran waktu yang mengikat manusia.
Dunia Dasein adalah dunia bersama Ada-Ada yang lain. Ada-nya Dasein ini tidak bisa lepas dari kehadiran dari Ada-Ada yang berada disekelilingnya. Realitas Ada ini juga menempati ruang dan waktu yang sama dengan Ada dari Dasein itu sendiri. Heidegger dalam analisanya mengenai Ada bersama dengan Ada-Ada yang lain menggambarkan suatu konsep yang sifatnya adalah sosial. Dasein itu sendiri merupakan bentuk sosial maksudnya keberadaan Dasein itu berada bersama-sama dengan Ada-Ada yang lain. Hal ini sangat bersinggungan dengan keberadaan dari Ada-Ada yang lain yang secara bersama-sama berada dalam ruang dan waktu yang sama.5 Dunia Dasein merupakan berada dalam kehidupan bersama-sama dengan yang lain.

Keterlemparan
Ada Dasein merupakan suatu usaha untuk mengungkapkan diri melalui peristiwa-poeristiwa yang terjadi. Teori Heidegger dalam Sein und Zeit penuh dengan pemahaman mistik, yakni pembukaan diri. Artinya, manusia dihadapkan pada sisi untuk membuka hati untuk melihat realitas Ada yang mewahyukan diri. Dalam hal ini Dasein membuka hati untuk memperoleh pencerahan terhadap fenomen yang terjadi. Pengungkapan ini bertujuan untuk menyingkap tabir misteri yang hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia mencoba untuk mencari jawaban yang menggelisahkan hati berdasarkan fenomen yang dialaminya. Dengan kata lain, manusia berusaha untuk masuk dalam kondisi psikologis yang menggetarkan hati. Hal ini yang dimaksudkan bahwa manusia “terlempar” dari dunia realitas untuk menggapai suatu yang sifatnya misteri. Manusia “terlempar” dari dunia dan memasuki suatu kegelisahan hati. Dunia sebagai realitas yang dialami oleh manusia menempati suatu ruang dan waktu sedangkan suasana hati manusia berusaha untuk mengungkapkan kegelisahan yang menggelitik terhadap fenomen yang dialami.
Dasein di dunia merupakan suatu fakstisitas niscaya yang beralasan bahwa “Fakta ia ada”6. Dasein berkaitan erat dengan suasana hati, misalnya: rasa takut, gembira. Suasana hati ini merupakan suatu pengungkapan perasaan manusia. Dasein ada berdasarkan suatu fenomen yang menggelitik suasana hati sehingga mengganggu akal budi untuk merespeknya. Pemikiran Heidegger seperti ini dilandasi atas pengalaman pribadinya dalam permenungan.
Hal ini yang dimaksud oleh Heidegger dengan keterlemparan yakni bahwasanya Dasein terlempar untuk penyerahan diri. Pendapat Heidegger bahwa memang sejak awalnya manusia menyerahkan diri dalam hidupnya. Hidup adalah eksistensi keniscayaan, suatu “lompatan” keberanian yang tidak aktual. Artinya, bahwa manusia pada awalnya sudah berada pada keterlemparan kepada ketidakberanian untuk menghadapi realitas sesungguhnya. Manusia hidup pada umumnya mengikuti realitas dunia sehingga tidak mempunyai keberanian untuk masuk kedalam realitas dirinya sendiri.
Pemahaman keterlemparan yakni manusia tidak mengetahui berasal dari mana dan akan ke mana di dalam dunia ini. Memahami keterlemparan sama artinya dengan menyadari eksistensi diri sendiri, dalam artian bahwa manusia memahami rancangan yang mempunyai orientasi ke masa depan. Fenomena pemahaman diri sendiri menurut Heidegger adalah suatu pembukaan diri terhadap realitas dunia dengan cara merenungkan dan menafsirkan. Pemehaman ini bukan hanya sekedar aktualisasi dari eksistensi melainkan suatu tindakan yang lebih mengarah kepada reflektif.
Pemahaman ini merupakan alunan dari suasana hati untuk bergerak dan bertindak. Hal ini dilandasi dengan suasana pengosongan diri. Manusia adalah mahkluk yang tidak mempunyai inti dalam dirinya sendiri singkatnya adalah kosong7. Kekosongan inilah yang menentukan Ada-nya manusia itu. Ada manusia merupakan semacam dasar jurang yang tidak berdasar karena manusia tidak mampu untuk mengukur seberapa dalamnya. Misteri hati manusia merupakan suatu eksistensi yang menyelimuti hidup manusia sehari-hari. Obyek keterlemparan Heidegger merupakan suatu kecemasan akan kejatuhan yang berdasar pada kecemasan suasana hati.

Refleksi Filosofis
Pemikiran Heidegger pada intinya adalah pemikiran umum banyak mengandung unsur mistis. Heidegger adalah salah satu filsuf yang mistikus. “Sein und Zeit” merupakan suatu bentuk permenungan Heidegger atas penampakan-penampakan yang dialaminya. Filsafat Heidegger sangat penuh dengan unsur refleksi teologis. Sebagai seorang yang mendalami filsafat sangat bertolak belakang dengan pemikirannya yang cukup banyak mengungkapkan sisi mistik.
Heidegger berfokus pada filosofis teologis dalam mengungkapkan realitas Ada dengan berdasarkan pada fenomena-fenomena yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari. Ia berusaha menyelami palung terdalam dari hati manusia untuk memaknai hidup. Inti dari Sein und Zeit merupakan suatu bentuk penawaran jalan untuk kembali kepada jati diri manusia. Jadi, Ada yang terlempar itu berusaha untuk mengungkapkan diri, dan suatu bentuk undangan manusia untuk menyadari dan memahami eksistensinya.

DAFTAR PUSTAKA
Hardiman, F. Budi, Heidegger dan Mistik Keseharian, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2003.
Heidegger, Martin, Sein und Zeit, Tubingen: Max Niemeyer, 1953.
1 Bdk. Prolog F. Budi Hardiman, Heidegger dan mistik keseharian, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2003, hlm. 1.
2 Ibid. hlm. 26.
3 Ibid. hlm. 31.
4 Ibid. hlm. 47.
5 Bdk. Martin Heidegger, Sein Und Zeit, Tubingen: Max Niemeyer, 1953, paragraph 24 A, hlm 118.
6 Op. Cit. F. Budi Hardiman, hlm. 70.
7 Op. Cit. F. Budi Hardiman, hlm. 79.