Rabu, 02 April 2008

EPISTEMOLOGI FEMINIS DALAM TRADISI BUDAYA JAWA

Antonius Agus Sumaryono

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah


Apa itu feminisme? Gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.[2] . Hal ini telah mulai dipikirkan oleh gerakan feminisme. Kaum perempuan menentang dominasi pengetahuan oleh kaum laki-laki. Secara realitas epistemologi merupakan konsep kebenaran yang dimiliki oleh laki-laki. Feminisme menentang konsep epistemologi rasionalis. Feminisme adalah usaha mendobrak budaya patriarki yang menindas ruang gerak perempuan.
Timbulnya gerakan ini adalah suatu hal yang wajar karena kaum perempuan merasakan adanya ketidak-adilan yang dialami. Masyarakat Jawa dan budaya patriaki masih memandang bahwa kaum perempuan itu adalah mahkluk yang lemah dan perlu untuk mendapat perlindungan dari kaum laki-laki. Begitu pula dalam bidang pendidikan perempuan masih memperoleh porsi yang sekunder dalam struktur masyarakat khususnya Jawa.
Dari permasalahan ini kaum perempuan mencoba untuk membongkar tradisi yang ada dalam budaya Jawa bahwa perempuan juga mampu berbuat seperti laki-laki. Feminisme ini berusaha mengangkat harkat dan martabat perempuan dalam usahanya menyetarakan persamaan hak. Dalam bidang ilmu pengetahuan kaum perempuan juga tak kalah jika dibandingkan dengan kaum laki-laki. Kaum perempuan telah mengakui bahwa klaim pengetahuan universal oleh akademi hanya benar-benar mengabdi pada kepentingan dan milik nilai bagi kaum laki-laki dari budaya, kelas, dan ras tertentu.[3] Mereka menganggap bahwa rasionalisasi bukan hanya milik kaum laki-laki saja.
Epistemologi feminis ini diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang terjadi dalam tradisi budaya Jawa. Bagaimanapun juga kaum perempuan mengharapkan suatu perubahan struktur dalam masyarakat yang masih bersifat patriaki. Budaya Jawa seolah-olah mempersempit ruang gerak kaum perempuan. Dengan ini feminisme berupaya menentang epistemologi-epistemologi konvensional dengan mengembangkan paradigma alternatif.[4]

1.2 Tujuan Pembahasan

Tujuan pembahasan ini untuk memberikan pandangan bagaimana epistemologi feminis yang ada dalam tradisi budaya Jawa dimengerti dan dipahami oleh kebanyakan orang dewasa ini. Epistemologi feminis ini dimaksudkan supaya kaum perempuan semakin bisa memandang secara lebih luas mengenai pengetahuan. Kaum perempuan dalam tradisi budaya Jawa masih sangat minim dalam berpengetahuan. Tradisi budaya Jawa kurang mendapat perhatian untuk menumbuhkan semangat menambah pengetahuan terhadap kaum perempuan. Ada istilah dalam budaya Jawa “kangge opo wong wedok sekolah dhuwur-dhuwur akhire ya mbalik neng pawon” hal ini menjadi suatu paradigma yang melekat pada diri kaum perempuan sehingga mereka tidak pernah memperoleh pendidikan yang layak.
Semoga dengan adanya penulisan paper ini semakin menambah khasanah baru bagi kaum perempuan “Jawa” dalam menelaah setiap perkembangan ilmu pengetahuan. Program mencerdaskan kehidupan bangsa adalah cita-cita dari bangsa Indonesia kepada seluruh lapisan masyarakatnya. Penulis berusaha memberikan apa yang menjadi buah pemikirannya terhadap tradisi budaya Jawa yang seakan-akan menomorduakan kaum perempuan dalam memperoleh pengetahuan.

2. Pembahasan
2.1 Siapakah Orang Jawa

Sebelum mengulas tentang feminisme dalam tradisi budaya Jawa sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu siapa orang Jawa dan bagaimana pandangan tradisi budaya Jawa. Dari aspek antropologis, orang Jawa telah lama ada ribuan tahun yang lalu. Hal ini dikuatkan dengan diketemukannya fosil-fosil tua di sekitar Bengawan Solo, Jawa Tengah.[5] Orang Jawa selalu mengatakan bahwa mereka adalah keturunan leluhur Jawa. Leluhur Jawa adalah mereka yang bêbadra (mendirikan) tanah Jawa. Orang Jawa tempo dulu, tampaknya memang tak sedikit yang berumur panjang, karena dilihat dari pembagian sistem kekerabatan, orang Jawa sering kali masih menganut turun pitu (keturunan ke tujuh). Keturunan sampai tujuh ini, merupakan gambaran bahwa orang Jawa rata-rata bisa berumur sampai 150-200 tahun.[6] Adapun cukup rumit untuk mendeskripsikan kebudayaan Jawa karena sesungguhnya kebudayaan Jawa itu tidak homogen. Orang Jawa sebenarnya adalah suatu kontruksi teoritis dan tidak menunjuk kepada kelompok orang perorangan secara konkret tertentu.[7]
Secara umum tipe khas “Orang Jawa” sulit untuk ditentukan. Masyarakat Jawa tidak ada yang mempunyai tipe khas Jawa, masyarakat yang disebut Jawa hanya berpatokan bahwa meraka penduduk pribumi yang lahir di Jawa. Sedangkan secara fisikpun orang Jawa juga sulit untuk ditentukan karena sudah banyak mengalami perkawinan silang dengan suku lain. Untuk memilah-milah secara pasti mengenai “Orang Jawa” kebanyakan orang hanya mengelompokkan berdasarkan nenek moyang secara turun-temurun.
Masyarakat Jawa pada umumnya masih memegang erat tradisi. Orang Jawa sangat menghargai dimensi nilai kemanusiaan dan nilai kesusilaan. Kesusilaan adalah masalah nilai yang melekat dengan kodrat manusia. Nilai kesusilaan adalah bagian dari falsafah hidup orang Jawa. Oleh karena itu hidup harus berhubungan dengan orang lain, agar hidup memenuhi fungsinya, maka semuanya itu dibingkai dalam norma dan adat istiadat. Norma ini menyangkut sikap, tingkah laku, etika bahasa, dan etika pertemuan. Orang Jawa masih kental dengan adat istiadat. Tradisi ini yang mempengaruhi semua aspek kehidupan dari masyarakat Jawa, sehingga setiap tindakan seseorang selalu dikaitkan dengan norma-norma. Norma dalam budaya Jawa menjadi salah satu tolok ukur dalam menilai tingkat kesusilaan dan kesopanan dari seseorang, sehingga setiap perilaku seseorang selalu disoroti dengan norma sehingga manusia tidak mempunyai suatu kebebasan dalam berekspresi. Semua ini pada akhirnya akan mematikan daya kreatifitas dalam diri setiap manusia.

2.2 Latar Belakang Budaya Jawa

Penduduk-penduduk asli Jawa adalah masyarakat yang menggunakan bahasa ibunya bahasa Jawa, mereka inilah yang seringkali dikatakan orang Jawa. Di Jawa dipergunakan empat bahasa yang berbeda.[8] Masyarakat yang dikatakan Jawa ini kebanyakan mendiami bagian tengah dan bagian timur Pulau Jawa. Orang Jawa dibedakan dari kelompok-kelompok etnis lain di Indonesia karena latar belakang sejarah yang berbeda, oleh bahasa dan kebudayaan mereka.
Kebudayaan dari tiap-tiap bangsa dapat dibagi ke dalam unsur-unsur yang tidak terbatas jumlahnya. Namun demikian, unsur kebudayaan itu dapat dikualifikasikan ke dalam dua unsur hakiki, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Kebudayaan merupakan unsur yang paling hakiki dalam membentuk suatu kepribadian dari suatu masyarakat. Dengan mengetahui dan memahami kebudayaan kita mulai bisa melihat bagaimana kebudayaan memandang dan melihat segala sesuatunya.
Epistemologi Feminis dalam tradisi budaya Jawa diharapkan membawa para pembaca setidak-tidaknya mengetahui bagaimana latar belakang budaya dan cara pandang budaya Jawa terhadap feminisme. Budaya Jawa secara umum menganut sistem patriaki yang artinya semua kegiatan dalam rumah tangga, tradisi adat, struktur kepemimpinan dan sistem pemerintahan yang ada kebanyakan masih ditangani oleh kaum laki-laki. Bagi kaum perempuan hal seperti ini menjadi suatu ketidak-adilan padahal pada dasarnya manusia mempunyai kodrat yang sama.
Secara umum budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha. Hal ini terlihat dengan sangat jelas bahwa kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa mempunyai motif kebudayaan Hindu dan Budha. Peninggalan-peninggalan sejarah berupa candi dan ritus-ritus keagamaan banyak dipengaruhi oleh Hindu dan Budha. Ide-ide Jawa asli sudah bercampur dengan budaya Hindu dan Budha[9] dengan bentuk tradisi yang mirip dengan yang ada di India.
Tidak mengherankan, orang-orang Jawa kuno masih kental dengan adat-istiadat yang menjadi tradisi dari nenek moyang. Tradisi ini juga mengadopsi tradisi dari Hindu dan Budha dalam setiap upacara keagamaan dan ritual adat. Dari tradisi ini, kebudayaan Jawa mengalami suatu inkulturasi sehingga budaya asli atau murni yang menggambarkan suatu ciri tertentu dari budaya Jawa sudah tidak bisa dibedakan lagi. Dengan kata lain, budaya Jawa asli sulit untuk dikenali lagi.

2.3 Pandangan Dunia Jawa Mengenai Epistemologi Feminis

Apa yang dimaksud pandangan dunia Jawa? Pandangan dunia Jawa adalah keseluruhan semua keyakinan deskriptif tentang realitas sejauh suatu kesatuan yang daripadanya manusia memberi suatu struktur yang bermakna kepada alam pengalamannya.[10] Pandangan dunia Jawa bukan suatu pandangan yang abstrak tetapi mempunyai fungsi sebagai suatu sarana menuju kepada keberhasilan. Masyarakat Jawa pada umumnya masih mempunyai pandangan mengenai dunia mistik. Pandangan dunia Jawa ini tidak bisa terlepas dari tradisi.
Tradisi budaya Jawa masih melekat terhadap alam semesta sebagai dunia yang memberikan kehidupan. Tradisi ini sangat bersifat irasional. Mereka mengakui tentang keberadaan dari Sang Pemberi Kehidupan. Tradisi yang ada tidak bisa dirumuskan secara ilmiah, tetapi masyarakat modern masih memegang tradisi itu. Pandangan ini sudah mengakar pada individu yang memegang tradisi budaya Jawa.
Ilmu pengetahuan bukanlah sebagai jawaban atas dunia mistik. Dunia mistik atau mitos sangat berkembang dalam tradisi budaya Jawa karena ini berkait erat dengan kepercayaan atau keyakinan. Mitos mengenai feminisme sebenarnya sudah ada dan cukup berkembang. Tokoh Dewi Sri sangat diyakini sebagai dewa pelindung padi. [11] Mitos ini sebenarnya sudah mengangkat martabat dari kaum perempuan, tetapi pada prakteknya kaum perempuan Jawa tidak memperoleh porsi yang sama dalam berpengetahuan.

2.4 Epistemologi Feminis dalam Tradisi Budaya Jawa dan Perkembangannya

Sebenarnya dalam sejarah bangsa Indonesia perempuan mampu untuk tampil sebagai pemimpin. Hal ini terbukti pada jaman kerajaan Mojopahit yang pernah dipimpim oleh seorang ratu yang bernama Tri Buana Tungga Dewi. Bukan hanya itu saja masyarakat tradisional Jawa dalam mitos kuno juga memuja-muja Dewi Sri yang dianggap sebagai dewi kesuburan dan pemelihara tanaman padi. Perempuan sebenarnya memiliki posisi penting dalam tradisi Jawa kuno.
Dilihat dari kebudayaan Jawa, feminisme pernah mengalami suatu masa yang penuh dengan perjuangan. Tokoh pejuang kaum feminisme ini adalah RA. Kartini yang sangat menolak tindakan yang menyepelekan kaum perempuan. Perjuangan RA. Kartini ini menunjukkan bahwa pada dasarnya kaum perempuan juga ingin mendapat perlakuan yang sama dengan kaum laki-laki. Hal ini dilatar belakangi oleh tradisi Jawa yang memandang kaum perempuan atau feminis hanya sebagai “Konco Wingking” artinya hanya teman di dapur saja sehingga semua ini yang membuat kaum perempuan Jawa tidak bisa berkembang.
Pandangan tradisional Jawa yang mengangap bahwa kaum perempuan itu hanya berurusan dengan posisinya sebagai seorang istri. Ada isitilah yang sangat melekat pada kaum perempuan Jawa dengan sebutan ma telu “manak, macak, masak”.[12] Hal tersebut juga pernah dikatakan oleh Nietzsche mengenai kebenaran tentang perempuan: “Perhaps truth is a woman who has reasons for not letting us see her reason?”[13] Meskipun Nietzsche kelihatan menghargai perempuan, tetapi ia tidak bisa melihat perempuan secara utuh. Baginya, seksualitas perempuan apalagi organ seksualitasnya tetap menakutkan dan gelap. Nietzsche sendiri bukanlah orang yang mengklaim bahwa dirinya adalah penganut aliran feminisme.
Dalam budaya Jawa sebagian besar kaum perempuan memperoleh perlakuan yang kurang adil dalam memperoleh haknya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Orang Jawa menganggap bahwa kaum perempuan itu tidak perlu untuk sekolah dan menuntut ilmu pengetahuan ke jenjang yang lebih tinggi karena pada hakekatnya nanti akan kembali pada urusan “belakang”[14]. Paradigma semacam ini sudah melekat kaum perempuan Jawa. Dengan permasalahan tersebut di atas kaum perempuan berusaha untuk berjuang dalam kesetaraan memperoleh kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam bidang menuntut ilmu pengetahuan.
Kedudukan ini kurang menguntungkan bagi kaum perempuan Jawa yang pada dasarnya menganut budaya patriaki. Kaum laki-laki memperoleh prioritas utama untuk mempelajari suatu ilmu pengatahuan. Semua itu tidak bisa dipungkiri lagi, karena rasionalitas merupakan monopoli dari kaum laki-laki. Walaupun demikian, para epistemolog tidak semua menerima definisi ini yakni “cara perempuan berpengetahuan”. Pendapat para epistemolog sangat skeptis karena tidak menghiraukan konteks sosial dalam pengetahuan dan intervensi status pengetahuan.
Budaya Jawa menganggap bahwa kaum perempuan adalah kaum lemah sehingga perlu mendapatkan suatu perlindungan dari kaum laki-laki. Kaum perempuan mempunyai peranan penting dalam membangun kehidupan keluarga, karena mereka sangat berpengaruh dalam mendidik dan membesarkan anak. Kaum perempuan dianggap kurang mampu dan cakap dalam urusan yang bersifat rasional. Tradisi budaya Jawa telah mengkerdilkan dan menutup perkembangan bagi kaum perempuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Kaum perempuan Jawa secara radikal bersikeras untuk menyatakan persamaan hak dengan kaum laki-laki. RA. Kartini sebagai motor penggerak kaum feminis di Indonesia berusaha memberikan jalan agar budaya Jawa membuka diri terhadap liberalisasi. Gerakan feminisme yang dilakukan oleh para kaum perempuan Jawa telah memberikan satu kedudukan yang lebih terhormat lagi pada masa sekarang ini. Kaum perempuan Jawa sudah bisa menempati kedudukan yang dahulu dipegang oleh kaum laki-laki. Secara konvensional kaum perempuan sedikit banyak terangkat martabatnya. Dengan ini feminisme berupaya menentang epistemologi-epistemologi konvensional dengan mengembangkan paradigma alternatif.[15]
Sekarang kaum perempuan Jawa mengalami banyak perubahan seiring dengan perkembangan pengetahuan yang gencar masuk dalam struktur masyarakat. Pengetahuan sudah bukan lagi menjadi monopoli untuk kaum laki-laki. Sudah cukup banyak posisi-posisi penting dalam struktur masyarakat jawa yang dipegang oleh kaum perempuan. Usaha memperoleh pengetahuan bagi kaum perempuan telah menjadi sesuatu yang penting dalam mengembangkan sumber daya manusia Indonesia, khususnya kaum perempuan Jawa.
Dalam perkembangannya, kaum perempuan Jawa bukan hanya sebagai puncak birahi kaum laki-laki saja. Pendapat Charles Mills’s yang dikembangkan oleh Nancy Tuana “concept of "epistemologies of ignorance" by looking at the ways in which ignorance, rather than knowledge, is constructed by studies of sexuality and public school sex education programs.[16] Secara natural perempuan adalah sebagai penerus atau pemelihara kehidupan dengan memberikan keturunan. Pada dasarnya kaum perempuan tidak mau hanya sebagai pemuas hubungan seks.
Tradisi Budaya Jawa yang mulai memasuki era baru telah berani membuka pintu bagi peran serta aktif kaum perempuan dalam kancah masyarakat. Hal ini mengangkat martabat kaum perempuan kepada kesetaraan dengan kaum laki-laki. Ternyata dalam prakteknya kaum perempuan juga mampu untuk produktif dalam usahanya membantu perekonomian keluarga. Seiring dengan perkembangan dunia ilmu pengetahuan sangat menuntut bagi setiap orang untuk bersaing dan hal ini tidak menutup kemungkinan juga bagi kaum perempuan.
Sekarang perempuan bukan hanya sebagai alat pemuas laki-laki. Peran serta kaum perempuan telah banyak terangkat oleh maraknya dunia entertainment. Pennie dalam bukunya menyatakan “Women exist to gratify men. Women are part of a man’s conquest. She enchances his manhood. An ad for jag jeans porttrays a young man carying a pretty woman flung over his shoulders with her buttocks prominently displayed in tight-fitting jeans. The ad of “Palomino” jeans and slacks portrays a woman who has cought the attention of two men. The copy reads in part: “The fiercest slacks in town...dares to take offense and stir the senses...and for the purely feminine, our ladies’ slacks are juat like you. Close to the curve, and surely close to your man.”[17] Dia menekankan bukan pada eksploitasi kaum perempuan tetapi bagaimana kaum perempuan telah mampu mengambil peran penting dalam dunia bisnis.
Sudah banyak kaum perempuan yang telah berhasil untuk mandiri dan tidak bergantung pada kaum laki-laki. Mereka telah menunjukkan eksistensinya terhadap kaum laki-laki. Kaum perempuan Jawa sudah tidak asing lagi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang seringkali menjadi dominasi bagi kaum laki-laki. Ilmu pengetahuan memberikan banyak solusi bagi kaum perempuan dalam sumbangsihnya terhadap dunia secara global. Dengan menguasai ilmu pengetahuan kaum perempuan semakin mampu bersaing dengan kaum laki-laki.


3. Kesimpulan

Dari uraian tersebut di atas kaum perempuan bukan saja menjadi “boneka” bagi ilmu pengetahuan. Kaum perempuan dalam tradisi budaya Jawa mengalami perubahan yang cukup signifikan baik dalam taraf pola berpikir maupun hidupnya. Ilmu pengetahuan menghantar kaum perempuan Jawa kepada tingkat yang lebih baik dalam kedudukannya terhadap kaum laki-laki. Pemahaman inteletual bagi kaum perempuan sudah seharusnya menjadi prioritas. Hal ini terkait dengan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia pada umumnya yang relatif minim terhadap kaum perempuan.
Ilmu pengetahuan merupakan jendela untuk masuk dalam dunia modern. Dengan adanya ilmu pengetahuan kaum perempuan memperoleh banyak informasi yang berguna dalam mengembangkan kemampuannya. Kaum perempuan berpengetahuan membantu dalam usaha memelihara kehidupan berkeluarga. Pendidikan ilmu pengetahuan bermula dari keluarga dan kaum perempuan mempunyai peranan yang vital.
Saya sangat mendukung dengan adanya kaum perempuan yang berpengetahuan, karena semakin banyak kaum perempuan yang berpengetahuan akan meningkatkan masyarakat yang berintelektual. Dengan keberadaan dari kaum perempuan yang berintelektual semakin meningkatkan Sumber Daya Manusia Jawa pada khususnya. Pemberdayaan kaum perempuan diharapkan dapat membantu negara dalam pembangunan.




DAFTAR PUSTAKA DAN SUMBER BACAAN LAIN


Azarcon-de la Cruz, Pennie S. Images of Women in Philippine Media, Manila: Normine Printing House, 1988.

Brook, Ann, Postfeminisme, Yogyakarta: Jalasutra, 2005.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Endraswara, Suwardi, Falsafah Jawa, Tangerang: Cakrawala, 2003.

Evans, E. E-Pritchard, The Position of Women in Primitive Societies and Other Essays in Social Anthropology, London: Faber and Faber LTD, 1965.

Jatman, Darmanto, Psikologi Jawa, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000.

Nietzsche, The Gay Science, terj. Walter Kaufmann, New York: Vintage Books, 1974.

Sudarminta, J, Epistemologi Dasar, Kanisius: Yogyakarta, 2002.

Suseno, Franz Magnis, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia, 2001.

Tong, Rosemarie Putnam, Feminist Thought, Yogyakarta: Jalasutra, 2005.

Tuana, Nancy, "Coming to Understand: Orgasm and the Epistemology of Ignorance," Hypatia, 2003.

[1] Cabang ilmu filsafat yang khusus menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan, J.Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar filsafat pengetahuan, hlm. 18.
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 315.
[3] Ann Brooks, Postmoderisme, hlm. 44.
[4] Ibid, hlm. 45.
[5] Fosil tertua disebut Pithecantropus Erectus dan fosil termuda disebut Homo Soloensis yang diketemukan di wilayah Jawa Tengah dan diduga bahwa propinsi ini yang menjadi nenek moyang orang Jawa. Suwardi Endraswara, Falsafah Jawa, hlm. 1.
[6] Ibid. hlm. 12.
[7] Darmanto Jatman, Psikologi Jawa, hlm. 23.
[8] Penduduk asli Ibukota Jakarta menggunakan dialek Melayu-Betawi. Di bagian tengah dan selatan Jawa Barat menggunakan bahasa Sunda, sedang Jawa Timur bagian utara dan timur menggunakan bahasa Madura karena sebagian besar adalah imigran asal Madura, sedang di Jawa Tengah dan Jawa timur menggunakan bahasa Jawa. bdk. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, hlm. 11.
[9] Ibid. hlm. 27.
[10] Ibid. hlm. 82.
[11] Dia adalah pembawa berkah dalam bidang pertanian, karenanya pada awal menanam padi dan memanen padi orang Jawa selalu memitoskan Dewi Sri. Caranya, dengan melaksanakan selamatan agar hasil pertanian yang dihasilkan lebih bermanfaat. Suwardi Endraswara, Op. Cit. hlm. 202.
[12] Pandangan demikian telah menghantar posisi perempuan pada tempat yang “terhormat” di hadapan laki-laki. Perempuan yang dianggap setia, jika dapat memenuhi tiga hal tersebut. Menurut salah satu teori feminis, secara psikologis, ideologis, dan filosofis, perempuan tidak lagi sebagai objek laki-laki, atau “pemuas”. Terlebih di kalangan para pangeran atau priyayi, jelas menganggap perempuan adalah pemuas seks. Suwardi Endraswara, op. cit. hlm. 56.
[13] Nietzsche, The Gay Science, hlm. 38
[14] Istilah “belakang” ini sebenarnya memberikan suatu gambaran bahwa kaum perempuan Jawa tidak sangat identik dengan urusan dapur, mengasuh anak, dan kurang mendapatkan status sebagai pemegang kendali baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
[15] Ann Brooks, Op. Cit, hlm. 45.
[16] Nancy Tuana, Coming to Understand: Orgasm and the Epistemology of Ignorance," Hypatia, hlm. 1-35
[17] Bdk. Pennie S. Azarcon-dela Cruz, Images of Women in Philippine Media, hlm. 37.

Tidak ada komentar: