Senin, 29 Juni 2009

KEKERASAN ANAK JALANAN SEBAGAI DAMPAK PENYIMPANGAN FUNGSI SOSIAL MASYARAKAT

(Analisis Kasus Kekerasan Anak Jalanan di Sanggar Pelangi)

By. Antonius Agus Sumaryono

Pendahuluan

Banyak perhatian ditujukan kepada anak jalanan. Setiap hari media massa di kota Malang menyuguhkan tentang kejahatan. Sebagian besar diantaranya melibatkan anak kecil sebagai korban kejahatan. Beranjak dari keprihatinan ini, kelompok mencoba untuk menganalisis masalah kekerasan anak untuk mencapai objektivitas dan mendapat fakta tentang kekerasan pada anak.
Tindak kekerasan bukan lagi menjadi suatu realitas yang dirahasiakan. Dewasa ini banyak terjadi tindak kekerasan dalam masyarakat, keluarga, maupun dalam suatu institusi-institusi tertentu, baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Tindak kekerasan terhadap anak jalanan merupakan salah satu bentuk kekerasan yang kurang mendapat perhatian dari banyak pihak. Bahkan, kekerasan itu dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah yang mulai melenceng dari fungsinya. Selain itu, kekerasan terhadap anak jalanan juga sebagian besar dilakukan oleh keluarga atau kerabat dekat si anak.
Analisis pertama kelompok berpijak dari hipotesa hubungan antara kemiskinan dan kekerasan terhadap anak jalanan. Semakin tinggi tingkat kemiskinan semakin tinggi tingkat kekerasan. Pemicu kekerasan karena faktor kemiskinan ini lebih dominan karena keadaan perekonomian keluarga. Faktor keadaan perekonomian keluarga menjadi alasan utama, akan tetapi masih ada faktor-faktor lain yang juga menjadi sebab terjadinya kekerasan.
Untuk mempersempit sudut pandang pendalaman terhadap anak jalanan, disini hanya akan dipaparkan tentang tindak kekerasan yang dialami anak jalanan yang ada di Sanggar Pelangi sebagai sebuah institusi sosial. Kebanyakan anak jalanan yang ada di Sanggar Pelangi adalah mereka yang masih mempunyai orang tua, keluarga dan sebagian besar dari mereka memilih turun ke jalanan karena pilihan.

Tujuan penelitian

1. Penelitian ini kami lakukan karena semakin maraknya tindakan kekerasan yang terjadi pada anak jalanan.
2. Mengidentifkasi dan memberikan gambaran terhadap bentuk-bentuk kekerasan yang dialami anak jalanan yang ada di Sanggar Pelangi Malang.
3. Untuk mengetahui terjadinya kekerasan pada anak jalanan berhubungan dengan faktor-faktor penyebabnya baik secara individual maupun struktural (struktur sosial).
4. Sebagai ajakan untuk menanamkan tanggungjawab dan perhatian terhadap anak jalanan.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan kelompok dalam penelitan ini adalah metode deskriptif melalui quisioner, wawancara dan studi pustaka. Tujuannya ialah mempelajari masalah kekerasan yang timbul seiring dengan perubahan sosial. Sejauh mana indiviu dan sistem sosial mempengaruhi fenomena kekerasan anak jalanan.
Kelompok memilih sample di daerah Lowokwaru yang mewakili masyarakat perkotaan Malang. Lowokwaru dianggap memiliki variable yang cukup seimbang dalam hal komposisi penduduk miskin dan kaya. Sedangkan untuk penelitian kekerasan anak jalanan dipilih Sanggar Pelangi. Sanggar ini menjadi rumah singgah dan pusat rehabilitasi anak jalanan daerah Lowokwaru. Setelah konsultasi dengan pengurus Sanggar, kami memilih 17 orang untuk dijadikan responden yang mewakili populasi anak jalanan dengan standar kehidupan dibawah UMR kota Malang. Dari 17 responden dianggap mewakili variasi kekerasan yang terjadi di kota Malang. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah metode quisioner, lalu dilanjutkan dengan wawancara dengan anak atau pengurus Sanggar jika ada yang perlu penyelidikan lebih lanjut. Yang terkait dengan sistem sosial dan kekerasan kami menggunakan studi pustaka.
UU No. 4 tahun 1979 mengatakan bahwa yang dikategorikan anak ialah mereka yang berusia dibawah 21 tahun. Maka responden yang kami gunakan ialah usia 10–15 tahun yang dianggap sangat labil dalam kekerasan dan perlu mendapat perhatian lebih karena usia seperti itu sangat kondusif dengan tindak kekerasan, krisis identitas, sulit menyesuaikan diri, konflik mental dan menjadi objek kekerasan baik secara fisik maupun mental.
Untuk mengetahui latar belakang tingginya tindak kekerasan terhadap anak jalanan, diadakan pendekatan individual dan struktural. Dalam pendekatan individu, individu menjadi pemicu kekerasan yang ada terjadi atasnya. Sedangkan pendekatan sistim lebih pada bagaimana sistim sosial membuat dan melanggengkan kekerasan. Dalam penelitian diketemukan bahwa ada refleksi diri antara tindakan anak dengan kekerasan yang dialaminya. Sedangkan dalam lingkup lebih tinggi lagi terjadi antara tingginya kekerasan terhadap anak jalanan diakibatkan adanya kepincangan sistim sosial artinya fungsi-fungsi sosial tidak berjalan dengan semestinya. Pranata keluarga ditekan dan dipengaruhi oleh struktur ekonomi yang akhirnya memicu kekerasan terhadap anak.

Kerangka konsep
1.1 Anak jalanan

Untuk memberikan pengertian dan memperjelas tentang masalah anak jalanan, maka perlu kiranya dikemukakan terlebih dahulu pengertian anak jalanan. Menurut Ilsa (1996) anak jalanan adalah anak-anak yang bekerja di jalanan. Studi yang dilakukan oleh Soedijar (1989/1990) menunjukkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berusia antara 7–15 tahun yang bekerja di jalanan dan dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan dirinya sendiri. Sementara itu, Direktorat Bina Sosial DKI menyebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berkeliaran di jalan raya sambil bekerja mengemis atau menganggur saja.
Hasil temuan lapangan yang diperoleh Panji Putranto menunjukkan bahwa ada dua tipe anak jalanan, yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan antara kedua kategori ini adalah kontak dengan orang tua. Mereka yang bekerja masih memiliki kontak dengan orang tua sedang yang hidup di jalanan sudah putus hubungan dengan keluarga. Hal ini sejalan dengan kategori anak jalanan menurut Azas Tigor Nainggolan menunjukkan ada tiga kategori anak-anak yang bekerja di jalanan. Pertama, anak-anak miskin perkampungan kumuh yaitu anak-anak kaum urban yang tinggal bersama orang tuanya di kampung-kampung yang tumbuh secara liar di perkotaan. Kedua, pekerja anak perkotaan yaitu mereka yang hidup dan bekerja tetapi tidak tinggal bersama orang tua. Kategori ketiga, adalah anak-anak jalanan yang sudah putus hubungan dengan keluarga. Kelompok akan lebih menyoroti anak jalanan kategori pertama dalam hubungannya dengan kekerasan anak.
Anak jalanan adalah sebutan bagi anak-anak yang turun ke jalanan karena adanya situasi dan keprihatinan tertentu, termasuk situasi dalam keluarga dan keprihatinan seorang anak terhadap situasi keluarga mereka. Akan tetapi, pengertian ini tidak terbatas pada mereka yang tidak mempunyai orang tua maupun mereka yang lepas dari tanggung jawab orang tua. Banyak anak jalanan yang masih mempunyai keluarga bahkan tidak sedikit dari mereka yang masih berada dalam tanggung jawab orang tuanya. Mereka memilih turun ke jalanan karena kesadaran mereka akan situasi keluarga yang tidak mampu maupun karena anak merasa terpaksa meninggalkan keluarga mereka yang tidak mendukung keberadaannya untuk tetap tinggal di rumah, misalnya, keluarga yang broken home.

1.2 Kekerasan anak jalanan

Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari kelompok. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk dimana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering dilanggar.
Anak jalanan seharusnya masih berada di sekolah tetapi mereka telah menjalani kehidupan jalanan untuk mencari nafkah. Anak-anak ini tidak dapat mengakses pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal dalam hal ini termasuk pendidikan keluarga. Sudah menjadi tugas orang tua untuk memberikan pendidikan dan perlindungan kepada orang tua. Tetapi jika menilik latar belakang kepergian anak-anak tersebut meninggalkan rumah orang tuanya karena kekecewaan terhadap pendidikan sekolah atau kekerasan yang dilakukan orang tua.


Hasil penelitian

Untuk dapat menangani lebih lanjut kekerasan terhadap anak jalanan kita perlu melihat akar kekerasan itu. Disini, kami mencoba menganalisa beberapa faktor yang menurut kami dominan sebagai penyebab terjadinya kekerasan. Menurut .... bahwa kekerasan anak jalanan terjadi karena ketidakstabilan ekonomi, nilai sosial dan norma sosial. Kelompok menambahkan bahwa ada penyebab lain yang perlu digunakan sebagai jalan pendekatan yakni : faktor individu itu sendiri, faktor keluarga, kekerasan karena kemiskinan, dampak media massa, nilai sosial, norma sosial, kebijakan pemerintah.

1.3 Faktor Indinvidu

Selain faktor luar, kami memiliki hipotesa bahwa pribadi anak sendiri memicu tindak kekerasan terhadap si anak. Tetapi sejauh mana hal itu terjadi? Kami akan meneliti dengan pendekatan Hagedorn berkenaan dengan teori sosialisasi.
Sosialisasi keluarga menentukan seluruh dimensi eksistensi anak. Banyak anak yang mengalami kekerasan mengatakan bahwa orang tua mereka galak, kasar, dan sering memukul atau membentak dengan kata-kata kotor. Banyak anak yang menjadi objek kekerasan memiliki perilaku yang kurang lebih sama dengan orang tua dan lingkungannya yang keras. Dibandingkan dengan anak Sanggar lainnya yang tidak termasuk anak jalanan di Sanggar Pelangi, mereka lebih agresif dan lebih suka mencari hiburan dari pada belajar atau bekerja. Hal itu terjadi sebagai pengidentifikasian dari orang tua sebagai figur utama sosialisasi awal.
Pengidentifikasian diri terhadap indisipliner ini menjadikan anak berperilaku seperti orang tuanya. Kebiasaan tidak disiplin dan cenderung malas-malasan memicu orang untuk melakukan tindakan kekerasan. Dalam penelitian kami anak dipukul dicubit dijewer dimaki dan disuruh pergi dari rumah saat mereka: bermain 8 orang (47,06%), tidak mengerjakan tugas seperti: cuci piring, cuci pakaian, menyapu, membersihkan rumah, belanja dll 4 orang (23,53%), nonton TV 3 orang (17,67%), dan tanpa sebab 2 orang (11,74%). Padahal sifat ini sama dengan yang dilakukan orang tua yang memiliki etos kerja rendah. Ini membuktikan indikasi sifat negatif dari sosialisasinya dengan keluarga memicu kekerasan dalam relasinya yang lebih luas dalam masyarakat.

1.4 Faktor Struktur Sosial
1.4.1 Keluarga “Broken Home”

Keluarga yang kurang harmonis “Broken Home” memunculkan terjadinya anak jalanan. Munculnya anak jalanan pertama-tama dilihat dari bagaimana kehidupan mereka dalam keluarga. Keluarga broken home bisa terjadi antara lain:
a) Hubungan bapak dan ibu yang kurang baik
Hubungan bapak dan ibu yang kurang baik merupakan salah satu faktor dari timbulnya anak jalanan, karena anak kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari keluarga. Kurang baiknya relasi bapak dan ibu yang terjadi pada anak jalanan di Sanggar Pelangi menjadi penyebab, mengapa mereka lebih memilih menjadi anak jalanan. Dari hasil penelitian quisioner anak jalanan di Sanggar Pelangi hubungan bapak dan ibu kurang baik dikarenakan poligami ada 4 orang (23,53%), bapak tidak bekerja tetap ada 11 orang (64,71%), orang tua bercerai ada 2 orang (11,76%).
Pertengkaran antara bapak dan ibu menyulut kemarahan emosional mereka, karena kemarahan orang tua yang tidak tersalurkan ini berimbas pada anak, sehingga anak menjadi korban dari pertengkaran yang dialami oleh orang tua karena bapak atau ibu yang sedang marah tidak pernah pergi dari rumah melainkan menjadi penyalur kemarahan. Dalam hal ini, anak seolah-olah hanya sebagai obyek dari kemarahan mereka. Pertengkaran bapak dan ibu memberikan tendensi buruk bagi anak untuk betah tinggal di rumah, akibatnya anak akan lebih banyak meluangkan waktunya di luar rumah.
Kekerasan dalam keluarga
Kekerasan dalam keluarga juga membawa dampak dari meningkatnya anak jalanan. Kekerasan dapat membuat anak menjadi takut dan enggan tinggal di rumah dan akhirnya mereka lebih senang untuk turun di jalanan dan tinggal di Sanggar Pelangi.
Tindakan kekerasan dalam keluarga yang sering terjadi pada anak jalanan yang tinggal di Sanggar Pelangi antara lain: pemukulan 5 kasus (29,41%), dimarahi 9 kasus (52,94%), pemaksaan 3 kasus (17,65%). Dari prosentase tersebut dapat disimpulkan bahwa tindakan kekerasan dalam keluarga membawa dampak pada peningkatan jumlah anak jalanan. Sanggar Pelangi sebagai wadah yang menampung anak jalanan ini berusaha untuk memberikan perhatian kepada mereka melalui pendidikan ketrampilan. Dengan begini diharapkan anak jalanan mempunyai ketrampilan.



1.4.2 Kekerasan karena kemiskinan

Dampak kenaikan harga BBM terhadap kemiskinan sangat tergantung terhadap kenaikan harga bahan kebutuhan hidup dan inflasi. Inflasi akan mendorong peningkatan garis kemiskinan. Jika inflasi yang ditimbulkan oleh kenaikan BBM khususnya inflasi bahan makanan cukup tinggi maka dampak kenaikan BBM terhadap kemiskinan juga tinggi. Berdasarkan hasil simulasi data Susenas 2004 menunjukkan bahwa kenaikan jumlah penduduk miskin akibat kenaikan harga BBM bulan Maret 2006 (asumsi inflasi sebesar 0,9%) adalah sebesar 0,24% (dari 16,25%-16,49%) dan jika inflasi yang terjadi semakin besar maka angka kemiskinan juga akan membesar. Berdasarkan kenyataan diatas kemungkinan besar kenaikan BBM Oktober 2006 akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 1% atau sekitar 2 juta orang.
Kami menyimpulkan bahwa dampak inflasi harga ini menjadi faktor tingginya kekerasan karena timbulnya kekerasan itu berkaitan dengan tingkat kemiskinan. Menurut hasil penelitian kami pada tahun 2006 anak lebih banyak mengalami kekerasan dibandingkan tahun sebelumnya. Pengurus Sanggar mengatakan bahwa kekerasan tahun 2006 naik 44% dari pada tahun 2005. Dari hasil wawancara, penggurus sanggar mengatakan bahwa intensitas kekerasan yang dalam satu minggu 3 kali meningkat menjadi 3-5 kali satu minggu.
Menurut pembina Sanggar, anak banyak lari dari rumah dan tinggal di Sanggar Pelangi karena ada tekanan dari rumah. Karena tekanan ekonomi, orang tua mengalami tekanan yang berkepanjangan. Dari hasil penelitian kami bahwa semakin tinggi harga kebutuhan pokok maka semakin tinggi kekerasan terhadap anak, dalam artian anak diekploitasi untuk menghasilkan uang.
Karena tekanan ekonomi, orang tua juga mengalami stress yang berkepanjangan. Banyak dari orang tua mereka ialah buruh kecil, pekerja tak tetap atau bahkan ada yang menganggur. Hasil penelitian kelompok 83% dari pendapatan mereka itu tidak mencapai 20.000 perhari dengan tanggungan 3-5 anak. Bagaimana mereka akan memenuhi kebutuhan keluarga? Dari mana biaya untuk makan, pendidikan anak, dana sosial dan kesehatan? Tuntutan yang tinggi dan tidak tetapnya pendapat membuat orang tua menjadi sangat sensitif. Ia mudah marah. Kelelahan fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anaknya. Maka terjadilah kekerasan emosional. Pada saat tertentu bapak bisa meradang dan membentak anak di hadapan banyak orang. Menurut Jalaluddin Rahmat inilah yang dinamakan kekerasan verbal. Kejengkelan yang bergabung dengan kekecewaan dapat melahirkan kekerasan fisik. Ia bisa memukuli atau memaksa anaknya melakukan pekerjaan berat.
Indikasi ini didapat oleh kelompok dengan melihat bagaimana seringnya orang tua menyelipkan kata “uang untuk hidup” dalam pemukulan dan pencacian anak. Dari 17 responden yang ada hanya 5 orang yang mengatakan bahwa orang tua mereka melakukan kekerasan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

5.2.3 Dampak media massa

Indonesia adalah negara berkembang. Dalam perkembangannya ternyata banyak terjadi perubahan dalam sektor industri, teknologi, dan informasi. Tentu saja hal ini juga dialami di Malang. Kami ingin meneliti bagaimana dampak informasi terhadap anak jalanan di Sanggar Pelangi.
Menurut data yang kami peroleh, semua keluarga dari koresponden memiliki barang-barang sekunder seperti TV, radio, tape dan bahkan beberapa orang memiliki sepeda motor sebagai barometer pengukuran dampak media massa. Intensitas nonton TV atau mendengar radio rata-rata 4-6 jam sehari. Tentu saja banyak informasi yang masuk dalam diri orang tua maupun si anak. Marcuse mengatakan bahwa akan terjadi kepincangan kebenaran atau sering dinamakan kebutuhan semu. Artinya bahwa tidak ada kesadaran antara impian yang dimiliki individu akibat informasi yang masuk dengan fakta sosialnya. Marcuse menegaskan: “Kebutuhan semu adalah segala kebutuhan yang ditanamkan ke dalam masing-masing individu demi kepentingan sosial tertentu dalam represinya. “Kebutuhan ini bisa dikatakan sebagai kebutuhan yang diciptakan oleh pihak lain yang kemudian oleh pihak tersebut diinternalisasikan dalam pikiran kita sehingga kita tidak menyadari lagi apakah memang kita benar-benar membutuhkan apa yang ditawarkan oleh pihak tertentu.” Bagaimana mendapat uang untuk membeli banyak produk yang ditawarkan? Sedangkan orang tua tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, rata-rata pendapat orang tua dibawah Rp 20.000 per hari. Tentu saja hal ini membawa dua dampak. Kami mengamati dampak yang ditimbulkan ialah pertama, keinginan orang tua dan keluarga terhadap barang-barang sekunder membuat tekanan mental orang tua. Artinya bila keinginan meraka tidak terpenuhi maka biasanya kejengkelan dan kemarahan diluapkan kepada anak. Dari 17 responden 9 anak mengalami kekerasan lebih tinggi dari yang lain. Dari data tersebut dilihat bahwa 9 anak itu lebih banyak memiliki barang-barang sekunder seperti TV, Radio, Tape. Kedua, anak dipaksa bekerja untuk mencari uang, bahkan ada target yang harus dicapai selama sehari. Rata-rata mereka harus mendapat Rp 15 000/hari.
Kelompok menyimpulkan bahwa kekerasan anak untuk mencari uang ditimbukan bukan hanya oleh kebutuhan primer saja tetapi juga sekunder keluarga, terlebih kebutuhan sekunder orang tua. Dari ......% responden mengatakan bahwa anak diminta untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Artinya anak secara tidak langsung diberikan satu tanggung jawab untuk mencari uang sendiri dalam pemenuhan segala kebutuhannya.

5.2.4 Nilai sosial

Hubungan orang tua dan anak yang dialami mereka seperti hubungan struktural masyarakat. Strata sosial yang lebih tinggi harus dihargai dan dihormati. Inilah yang menjadi pengalaman anak jalanan. Orang tua dirasa selalu ingin ditaati termasuk untuk mencari uang di jalanan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika anak mulai menolak maka mereka akan dipukul atau dicacimaki.
Ternyata nilai sosial ini menjadi jebakan bagi anak. Masyarakat melihat bahwa orang tua harus dipatuhi dan didengar. 17 responden yang menjadi sampel mengatakan walau disuruh untuk mencari uang ke jalanan mereka merasa berbakti kepada orang tua. Ketika mereka dimarahi tanpa sebab dan ditindas, mereka melihat itu sebagai sebuah pendidikan. Bahkan mereka merasa yang bersalah meskipun kekerasan itu menjadi pelampiasan kekesalan semata-mata.
Ketika kekerasan terhadap anak dianggap menjadi sesuatu sistem pendidikan yang diterapkan orang tua terhadap anak, dan hal menjadi hukum nilai yang benar pada setiap orang maka anak jalanan tidak dapat lari dengan kekerasan. Bagaimana dengan anak yang diekpoitasi dengan disuruh mencari kerja untuk makan keluarga, dan itu dianggap sebagai pengabdian dan membantu keluarga? Nilai sosial ternyata menjadi sarana kekerasan individu terhadap individu yang terjadi dalam keluarga. Hasil penelitian dan wawancara kami menunjukkan bahwa dari 17 responden, dapat dikatakan bahwa cara mendidik orang tua terhadap anak menggunakan pukulan, cacian dan pengusiran dari rumah. Prosentasi bapak memukul anak (76%), orang tua memaki-maki dan membentak anak (85%), orang tua mengusir anak (26%). Orang tua, dirasa selalu ingin ditaati termasuk untuk mencari uang di jalanan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika anak mulai menolak maka mereka akan dipukul atau dicacimaki. Anak tidak lagi dianggap sebagai buah hati melainkan proses produksi. Anak diibaratkan sebagai alat produksi yang hanya dapat bekerja jika ada pemicunya. Artinya anak adalah lahan untuk memperoleh uang bagi kehidupan keluarga
Dari data penelitian kami, terlihat bahwa 100% anak mengatakan bahwa mereka ngamen dan menjual koran dijalanan karena disuruh orang tua merupakan pengabdian terhadap orang tua. Sedangkan kekerasan dirumah dengan pemukulan dan pencacimakian dianggap bentuk rasa cinta orang tua terhadap mereka.

5.2.5 Norma sosial

Norma seringkali dikaitkan dengan penyimpangan sosial, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan dengan aturan dan norma dari kelompok atau masyarakat yang berlaku dalam masyarakat. Dari sini muncul beberapa teori yang menjelaskan soal penyimpangan sosial sebagai bentuk pelanggaran norma. Salah satunya, teori Anomie. Ia mengatakan bahwa penyimpangan sosial adalah kondisi masyarakat dimana anggotanya tidak lagi melihat norma sosial yang tepat.
Kekerasan juga dikatakan sebagai pelanggaran norma sosial karena kaitannya dengan bentuk-bentuk kekerasan yang menyangkut seorang individu dalam masyarakat. Bentuk kekerasan itu bisa berupa kekerasan fisik maupun kekerasan mental.
Sedangkan kekerasan oleh kelompok, dalam lingkungan masyarakat, terjadi karena hubungan yang kurang baik antara keluarga dengan tetangga maupun perangkat masyarakat, sikap masyarakat, dan perhatian dari masyarakat sehingga tidak ada kontrol terhadap kekerasan anak dalam keluarga. Jangankan menjadi kontrol bagi anak, bahkan relasi mereka dengan masyarakat pun kurang baik. Dari 17 responden sebagian besar menyatakan hubungan dan sikap masayarakat terhadap mereka kurang baik. Dicaci maki orang lain (selain keluarga) 7 orang, sikap kurang baik dari masyarakat, termasuk dicacimaki 9, tindakan premanisme 6, dan sikap dari pemerintah 3. Realitas ini tampak dari perlakuan yang diterima anak. Bapak yang mencambuk anaknya dengan cemeti tidak pernah dipersoalkan oleh tetangganya, selama anak itu tidak meninggal dunia (lebih spesifik lagi tidak dilaporkan kepada pihak yang bertanggungjawab, ketua RT/RW atau Polisi). Tidak adanya perhatian dari tetangga atau masyarakat sendiri inilah yang menimbulkan kekerasan semakin tinggi.
Banyak anak yang diwawancari mengatakan kalau mengadu mereka memilih Sanggar Pelangi. Kami melihat tidak adanya tanngungjawab karena sedikitnya tetangga yang menghentikan kekerasan itu. Dari semua responden hanya 1 orang saja yang pernah dilerai. Meskipun demikian dari sepuluh kali pemukulan hanya 3 kali saja tetangga itu datang. Seolah-olah tindakan orang tua itu sudah dianggap sewajarnya. Pemukulan dan cacimaki dianggap seolah-olah yang tepat untuk mereka. Tidak adanya perlindungan masyarakat inilah yang membuat tingginya kekerasan anak jalanan. Memang tidak semua pernah mengadu pada pihak yang berwajib atau tetangga, tetapi dari beberapa yang mengadukan keluh kesah yang mereka dapat ialah “itu kan demi kebaikanmu” atau sering dikatakan “kamu sih yang nakal”.
Anak-anak sendiri menyadari bahwa tidak ada hukum yang dapat menampung atau mencegah kekerasan atas mereka. Hal itu sebagai sesuatu yang semestinya mereka terima. Pranata hukum yang ada di Indonesia secara nyata sudah mandul. Hukum itu sendiri sudah diputarbalikkan dengan uang.
Kami menyimpulkan bahwa kurangnya kontrol sosial memicu tingginya kekerasan terhadap anak. Hal ini terjadi baik karena kurangnya relasi yang baik dari orang tua terhadap masyarakat maupun karena tidak adanya perhatian dari masyarakat.

5.2.6 Kebijakan Pemerintah

Ternyata selain dalam sektor yang disadari di lingkungan sekitar, ada pula sektor laten yang tidak disadari. Kami melihat bahwa ada ketidaksesuaian yakni antara kebijakan pemerintah dengan pelaksanaan di lapangan. Dalam Undang-Undang dikatakan:

Penanganan Kemiskinan Dan Ketunaan Sosial
Kebijakan
Penanganan Kemiskinan Dan Ketunaan Sosial MOU antara Gubernur Jawa Timur dengan Walikota Malang, Nomor 120.1/021/012/2004 tentang Kerjasama Penanganan MKS khususnya 050/04/420.112/2004 Anak Jalanan, Wanita Tuna Susila, Gelandangan, Gelandangan Psikotik dan Pengemis.
Keputusan Walikota Malang Nomor 333 Tahun 2004 tentang Uraian Tugas Pokok, Fungsi dan Struktur Organisasi Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD Kota Malang Pasal 45, 46, 47 dan 48.
Undang-undang ini diterjemahkan dalam tiap-tiap kelurahan di kota Malang dengan Penyaluran Anak Terlantar/Nakal ke Panti Sosial Rehabilitasi Bina Remaja di Luar Kota Malang, Pemberian Bimbingan Sosial Bimbingan sosial, Pelatihan Keterampilan dan Pemberian UEP bagi 30 eks Gepeng di Kelurahan Lowokwaru (membuat kue, wirausaha jual bakso dan soto).
Tetapi dalam kenyataannya, penerjemahan perda tidak sesuai dengan undang-undang. Kami hendak mengatakan bahwa fungsi pemerintah sebagai penanggung jawab terhadap anak jalanan menjadi semacam hakim. Dengan alasan sebagai berikut:
Alasan pertama, semua anak yang kami wawancarai tidak tahu soal uang atau program pemerintah yang diterapkan. Seharusnya keluarahan Lowokwaru lebih menekankan pada pengembangan karya usaha kecil. Kenyataannya tidak tetapi pengejaran dan pemukulan. Padahal yang dipublikasikan dalam media massa ialah anak dijaring kemudian diberi pembinaan.
Alasan kedua, dalam empat kali ditangkap petugas Pamong Praja, anak tidak pernah diberi pendidikan tetapi dimarahi dan dianggap sebagai pembuat kekacauan. Dalam empat kali penangkapan, tiga kali mereka mendapat pemukulan. Bahkan uang hasil kerja mereka (ngamen, jual koran) dirampas.
Kekerasan anak jalanan dari segi hipotesa interaksi simbolis didapat bahwa kekerasan anak ditimbulkan pula dari pandangan masyarakat tentang anak jalanan. Menurut Ertanto orang cenderung mengkaitkan anak jalanan dengan tiga hal: pertama, memandang anak-anak jalanan sebagai bagian dari gejala dalam bidang ketenagakerjaan. Dalam bidang ini, gejala anak jalanan sering dikaitkan dengan alasan ekonomi keluarga dan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Kecilnya pendapatan orang tua sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga memaksa terjadinya pengerahan anak-anak. Ciri kedua, memandang gejala anak jalanan sebagai permasalahan sosial. Anak-anak jalanan dipandang merupakan bukti dari para deviant yang mengancam ketentraman para penghuni kota lainnya. Ciri ketiga, adalah menempatkan anak jalanan sebagai anak-anak yang diperlakukan sebagai orang dewasa. Akibatnya, ia memiliki resiko yang sangat besar untuk dieksploitasi atau menghadapi masa depan yang suram. Ciri ketiga ini sangat dipengaruhi oleh pendekatan hak anak.
Kami melihat steriotipe inilah yang membuat kekerasan terhadap anak menjadi semakin tinggi. Dalam hipotesa kami dikatakan bahwa banyak anak tidak diterima dalam lingkungan sekitar. Tetangga cuek bahkan memalingkan muka ketika melihat mereka melintas di depan rumah. Selain itu, masyarakat mengidentifikasikan mereka dengan pembuat kerusuhan, kekacauan dan bahkan disebut sebagai sampah masyarakat. Kenyataan inilah yang mereka terima sebgai tanggapan dari lingkungan sekitarnya.
Hal ini tentu saja merujuk pada kekerasan mental terhadap anak. sehingga setiap kali anak bergaul dengan anak sebayanya di sekitar rumah, ada pandangan sinis terhadap mereka. Alasan mereka tidak bergaul karena minder. Minder ini muncul dari pengalaman penolakan terhadap diri mereka. Setiap anak di Sanggar Pelangi hampir memiliki pengalaman yang serupa. Bagaimana cara tetangga sekitar menolak? Dengan menyuruh anaknya pulang ketika terlihat bersama anak Sanggar, memarahi, dan berlagak memarahi anak sendiri.


Kesimpulan

Kekerasan menjadi realitas sosial yang sering terjadi di masyarakat. Kerap kali kekerasan diangggap sesuatu yang wajar dan harus terjadi di masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia yang berkembang dalam banyak aspek, kekerasan anak menjadi hal yang dominan sebagai efek globalisasi. Hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat. Tanpa penanganan yang baik akan terjadi ledakan ketidakstabilan sosial. Sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi seluruh aspek yang ada itu. Oleh karena itu, perlu kiranya tanggungjawab dari setiap pihak baik dari masyarakat maupun dari pemerintah sendiri sebagai pengatur kestabilan sosial. Anak Sanggar Pelangi menjadi contoh baik dalam memberi wacana tentang apa itu kekerasan anak. Kelompok berharap bahwa penelitian ini memicu banyak orang memiliki kesadaran bahwa perlindungan terhadap anak jalanan dari kekerasan menjadi tanggung jawab bersama.
Berdasarkan realita yang kami analisis, kami menemukan bahwa kekerasan terhadap anak jalanan merupakan suatu bentuk penyimpangan sosial dalam masyarakat yang diakibatkan oleh individu itu sendiri (anak jalanan) dan oleh lingkungan sekitarnya (keluarga, masyarakat tempat tinggalnya dan pemerintah) yang menyangkut juga sistem nilai dan norma sosial. Pertama-tama individu adalah subjek sekaligus korban tindakan kekerasan tersebut. Individu sebagai subjek kekerasan dalam artian pengidentifikasikan dirinya dengan perilaku dan etos kerja orang tua menimbulkan kekerasan terhadap dirinya.
Dilain pihak, kekerasan disebabkan pula oleh faktor struktural. Individu itu sebagai korban kekerasan, mereka mengalami perlakuan yang kurang baik dari keluarga atau orang tua karena kurangnya tanggung jawab orang tua untuk mendidik dan memelihara anak-anak. Hal ini kemudian terkait dengan tuntutan hidup keluarga. Kebanyakan dari mereka mengalami tekanan karena keinginan untuk memenuhi kebutuhan sekunder di samping untuk memenuhi kebutuhan primer. Tingkat perekonomian keluarga menjadi faktor yang dominan timbulnya kekerasan. Dari sini, ditemukan bahwa kemiskinan menjadi faktor utama munculnya kekerasan terhadap anak. Kemiskinan berpotensi menimbulkan kekerasan, artinya kemiskinan sebagai suatu realita memunculkan realita baru, yakni kekerasan. Faktor lain yang memicu kekerasan terhadap anak jalanan adalah kebijakan pemerintah. Kebijakan dari pemerintah diharapkan mampu membebaskan anak dari keadaan dan keterpurukannya karena tekanan dari keluarga maupun masyarakat. Tetapi, dari penelitian kami terhadap kebijakan pemerintah tersebut ditemukan ketidaksesuaian antara kebijakan yang dibuat dengan realisasinya. Di daerah Lowokwaru kami menemukan bahwa anak-anak yang berada di Sanggar Pelangi sebagian besar pernah mengalami perlakuan yang kurang baik dari realisasi kebijakan pemerintah tersebut. Kekerasan anak sanggar sering terjadi karena kebijakan Pemerintah Daerah itu disalahrealisasikan. Seharusnya yang terjadi adalah anak jalanan diberi pengarahan dan ketrampilan-ketrampilan usaha. Tetapi, anak-anak jalanan malahan ditangkap, dicacimaki bahkan dipukul.
Kiranya penelitian yang kami buat ini menjadi sarana yang baik untuk memberi kesadaran bagi banyak pihak dalam memberi perhatian terhadap anak jalanan dan kekerasan yang ada padanya.


Daftar Pustaka

Fromm, Erich, (terj. Imam Muttaqin), Akar Kekerasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Lauer, H, Robert, (terj. Alimandan SU), Persfektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rineka Utama, 2003.
Kirik Ertanto & Siti Rohana dalam www.humana.20m.com/babII/htm.
Koentjaraningrat., Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1993.
Shadily, Hasan., Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Rineka Utama, 1993.
.

Minggu, 31 Mei 2009

SAKRAMEN PENEBUSAN

Sakramen Penebusan (Redeptorist Scramentum)

TINDAKAN PEMULIHAN
169. Bila terjadi penyelewengan dalam perayaan Liturgi suci, maka hal itu harus dipandang sebagai suatu pencemaran Liturgi Katolik. St. Thomas menulis: "Kejahatan dibuat oleh siapa saja yang atas nama Gereja beribadat kepada Allah menurut suatu cara yang berlawanan dengan apa yang oleh Gereja telah ditetapkan sesuai wewenang ilahi dan sudah menjadi kebiasaan dalam Gereja".
170. Demi membuat pemulihan terhadap penyelewengan-penyelewengan yang demikian, maka "amat perlulah pembinaan biblis dan liturgis bagi umat Allah, baik para pastor maupun umat", sehingga iman Gereja serta peraturannya menyangkut Liturgi suci dijelaskan dan dipahami dengan tepat. Akan tetapi kalau di suatu tempat penyelewengan-penyelewengan terus terjadi, maka perlulah, sesuai dengan hukum, diambil langkah untuk mengamankan warisan spiritual serta hak Gereja dengan mempergunakan daya upaya yang sah.
171. Di antara berbagai penyelewengan ada beberapa yang secara obyektif termasuk kejahatan amat besar (graviora delicta) atau sebaliknya merupakan pelanggaran berat dan yang lain sebagai penyimpangan-penyimpangan yang harus dihindarkan dan diperbaiki. Sambil memperhatikan terutama apa yang sudah diuraikan dalam Bab I dari Instruksi ini, maka perlulah diberi perhatian kepada hal-hal yang berikut ini.

1. Kejahatan amat besar (Graviora Delicta)
172. Kejahatan-kejahatan amat besar (graviora delicta) melawan kekudusan Kurban yang Mahaluhur serta melawan Sakramen Ekaristi harus ditangani sesuai dengan ‘Norma-norma tentang graviora delicta yang hanya dapat diampuni oleh Kongregasi Ajaran Iman’, yaitu:
membawa pergi atau menyimpan Hosti yang telah dikonsekrir untuk maksud sakrilegi, ataupun menbuangnya;
usaha merayakan Ekaristi oleh seorang yang tidak menerima tahbisan imamat atau meniru perayaan dimaksud;
konselebrasi terlarang dalam Kurban Ekaristi bersama pelayan-pelayan Persekutuan-Persekutuan Gerejani yang tidak mempunyai suksesi apostolik dan tidak mengakui martabat Pentahbisan Imam;
dalam perayaan Ekaristi, dengan maksud sakrilegi, mengkonsekrir satu bahan tanpa yang lain, atau juga mengkonsekrir keduanya di luar perayaan Ekaristi.

2. Pelanggaran Berat
173. Tentu saja berat atau seriusnya sesuatu hal harus dinilai sesuai dengan ajaran umum Gereja serta norma-norma yang sudah ditetapkan olehnya. Namun secara obyektif hal-hal yang harus dipandang sebagai pelanggaran berat ialah segala sesuatu yang membahayakan sahnya serta keluhuran Ekaristi yang Mahakudus: ialah segala apa saja yang bertentangan dengan apa yang diuraikan lebih awal dalam Instruksi. Selain itu perlu juga diperhatikan penetapan-penetapan lain dalam Kitab Hukum Kanonik, khususnya apa yang tersirat dalam kanon 1364, 1369, 1373, 1376, 1380, 1384, 1385, 1386, 1398.

3. Penyelewengan-penyelewengan lain
174. Perlu ditambahkan bahwa perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan peraturan-peraturan lain, yang dibahas di lain tempat dalam Instruksi ini atau dalam norma-norma yang tercantum dalam hukum, tidak boleh dipandang enteng, melainkan termasuk penyelewengan-penyelewengan lain, yang harus dengan seksama dielakkan dan diperbaiki.
175. Segala yang dikemukakan dalam Instruksi ini tentu saja tidak mencakup semua pelanggaran melawan Gereja serta peraturannya yang terungkapkan dalam kanon-kanon, dalam undang-undang liturgi dan dalam peraturan Gereja lain demi Ajaran yang benar atau tradisi yang sehat. Kalau dilakukan kesalahan, maka haruslah diperbaiki menurut norma hukum.

4. Uskup Diosesan
176. Uskup Diosesan, "karena ia adalah pembagi utama misteri-misteri Allah, maka hendaknya ia senantiasa berusaha agar orang-orang beriman Kristiani yang dipercayakan kepada reksanya, dengan perayaan Sakramen-Sakramen tumbuh dalam rahmat, dan agar mereka mengenal dan menghayati misteri Paskah. " Menjadi tanggung jawabnya untuk "dalam batas-batas kewenangannya memberikan norma-norma mengenai Liturgi yang harus ditaati oleh semua".
177. "Karena harus melindungi seluruh Gereja, maka Uskup wajib memajukan tata-tertib umum untuk seluruh Gereja dan karenanya harus mendesak agar semua undang-undang Gerejani ditaati. Hendaknya ia menjaga agar kebiasaan yang tak baik jangan menyelinap ke dalam tata-tertib Gerejani, terutama dalam hal pelayanan sabda, perayaan sakramen-sakramen dan sakramentali serta penghormatan terhadap Allah dan para Kudus".
178. Dari sebab itu, bilamana saja seorang Ordinaris lokal atau Ordinaris dari sebuah komunitas Hidup Bakti atau dari sebuah Institut Sekulir menerima informasi yang patut menjadi perhatian tentang suatu pelanggaran atau penyelewengan menyangkut Ekaristi Mahakudus, hendaknya ia mengadakan pemeriksaan seksama, entah dia sendiri entah dengan pengantaraan seorang klerikus lain yang pantas, baik menyangkut fakta-fakta dan situasi maupun mengenai pelanggaran itu sendiri.
179. Pelanggaran terhadap iman dan juga graviora delicta yang dilakukan dalam perayaan Ekaristi serta Sakramen-Sakramen lain, harus dengan segera dilapor kepada Kongregasi Ajaran Iman, yang "akan menyelidikinya dan – seperlunya – akan mengucapkan deklarasi atau peneterapan sanksi-sanksi kanonik sesuai dengan norma hukum umum atau partikular".
180. Dalam hal-hal lain, hendaknya Ordinaris bertindak sesuai dengan norma-norma kanon-kanon suci, dengan memberikan hukuman kanonik bila ada pelanggaran, seraya menimbang dan menerapkan secara khusus apa yang ditetapkan dalam kan. 1326. Jika masalahnya sungguh serius, hendaknya diberitahukan kepada Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen.

5. Takhta Apostolik
181. Bilamana saja Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen menerima laporan tentang suatu pelanggaran atau penyelewengan menyangkut Ekaristi Mahakudus , yang sedikitnya patut diperiksa lebih lanjut, maka Kongregasi tersebut memberitahukannya kepada Ordinaris sehingga dia dsapat membuat penyelidikan terhadap masalah itu. Jika ternyata masalahnya serius, Ordinaris harus secepat mungkin – kepada Dikasteri yang sama – mengirim photocopy dari akta-akta pemeriksaan yang telah dilaksanakan dan – dimana perlu – hukuman yang telah diberlakukan.
182. Dalam kasus-kasus yang lebih sulit, Ordinaris, demi keselamatan Gereja universal – di dalamnya ia pun terlibat berdasarkan tahbisannya yang suci – tidak boleh gagal dalam hal menangani masalah itu setelah memperoleh nasehat dari Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen. Kongregasi tersebut, atas kuasa yang diberikan kepadanya oleh Sri Paus, akan – sesuai dengan itu – mendampingi Ordinaris seraya memberikan kepadanya fasilitas untuk memberikan dispensasi-dispensasi yang perlu atau memberikan kepadanya instruksi atau petunjuk, yang harus dijalankannya dengan seksama.

5. Keluhan tentang Pelanggaran di Bidang Liturgi
183. Semua orang dengan caranya yang khusus sekali hendaknya berusaha dengan segala kemampuannya untuk menjamin bahwa Sakramen Ekaristi yang Mahakudus itu terlindung dari segala pencemaran dan dari setiap nista dan bahwa semua penyelewengan diperbaiki dengan sungguh-sungguh. Inilah suatu kewajiban berat yang mengikat setiap orang, dan semua orang wajib melaksakannya tanpa pandang muka.
184. Setiap warga Katolik, entah dia seorang Imam, Diakon atau awam dalam persekutuan beriman, berhak untuk memasukkan laporan tentang suatu pelanggaran di bidang Liturgi pada Uskup diosesan atau Ordinaris yang menurut hukum sama wewenangnya atau pada Takhta Apostolik berdasarkan primat Sri Paus. Namun, sejauh mungkin, patutlah laporan atau keluhan itu disampaikan kepada Uskup diossesan terlebih dahulu. Tentu saja hal ini harus dibuat sesuai dengan kebenaran dan dalam semangat cinta kasih.

MISTISISME HEIDEGGER

MISTISISME HEIDEGGER

By. Antonius Agus Sumaryono

Pendahuluan
Buku Heidegger “Sein und Zeit” merupakan suatu kritik atas pendapat Nietszche yang mengatakan bahwa Allah sudah mati. Heidegger mempertanyakan dalam kebisingan globalisasi informasi dan ekonomi pasar, nomad pemuja tubuh, petarung kapital, pendaki karier dan penjilat kekuasaan mengubur kecemasan eksistensial dalam kesibukan keseharian mempertanyakan “ke manakah Allah?”1. Dalam hidup keseharian manusia kerapakali mengalami suatu kecemasan. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena manusia pada dasarnya mempunyai sifat religius.
Heidegger merupakan seorang filosof yang teologis, karya-karya besarnya sangat bersifat teologis mistis. Dalam karyanya “Sein und Zeit” Heidegger mengungkapkan tentang subyek kesadaran sebagai suatu cara untuk mengungkapkan realitas diri khususnya dirinya sendiri. Subyek kesadaran bukanlah segala-galanya, oleh karena itu aspek realitas dipakai untuk mengungkapkan totalitas melalui refleksi.
Paper ini akan membahas mengenai mistisisme dari pemikiran Heidegger dalam bukunya “Seit und Zeit” sebagai titik tolak analisis mengenai Dasein. Ulasan-ulasan akan memfokuskan tentang suasana hati dalam hidup sehari-hari manusia dewasa ini seiring dengan perkembangan era globalisasi informasi.

Fenomenologi Heidegger
Fenemenologi merupakan suatu penampakan dari gejala alam yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Heidegger memakai fenomenologi sebagai perenungan mengenai “Being” atau “Sein” untuk mengungkapkan penampakan yang ada dalam diri sendiri.2 Dalam hal ini, penampakan janganlah membawa pada pemaksaan untuk ditafsirkan saja melainkan bagaimana membuka diri terhadap penampakan. Sikap terhadap penampakan bukanlah sekedar untuk menganalisa melainkan bagaimana membuka diri terhadap “Sein” untuk mendekati fenomen tersebut. Dari sikap inilah maka timbullah pertanyaan “mengapa aku ada?” Pertanyaan ini yang kerapkali menyelimuti kehidupan manusia sehari-hari.
Pendekatan fenemenologi Heidegger merupakan suatu kesadaran terhadap sesuatu memiliki format tematis tertentu. Artinya, bahwa kesadaran dalam dunia mempunyai suatu bentuk, misalnya suasana takut maka kesadaran yang muncul juga suasana takut. Fenemenologi Heidegger merupakan suatu ontologi yang berhubungan dengan realitas. Heidegger menolak pendapat dari Descartes mengenai “Cogito Ergo Sum” yang menyatakan kesadaran berdasarkan atas subyektifitas. Kesadaran merupakan suatu cara penampakan dari realitas ”Sein” itu sendiri.
Konsep kesadaran merupakan suatu pemahaman “Sein” sebagai sesuatu yang mewahyukan diri kepada dirinya sendiri, hal ini adalah suatu hubungan subye dengan obyek yang dilampaui melalui satu pendekatan holistis-estetis terhadap realitas.3 Artinya, bahwa kita diajak untuk melihat realitas yang nampak sebagai peristiwa fenomen. Kesadaran merupakan suatu peristiwa Ada sebagai salah satu cara membuka dirinya bagi kita.
Fenomenologi Heidegger merupakan suatu pendekatan kesadaran melalui membuka diri terhadap realitas Ada sebagai suatu pewahyuan dari diri Ada itu sendiri. Dalam hal ini tidak dibutuhkan adanya penafsiran atau pemikiran tetapi suasana keheningan. Pemikiran Heidegger lebih mengarahkan kepada suatu yang mistik terhadap adanya penampakan-penampakan dari adanya realitas Ada.

Realitas Ada
Filsafat Heideggernadalah suatu pemahaman mengenai realitas Ada. Permulaan filsafat menurut Heidegger adalah suatu pertanyaan mengenai apa itu realitas Ada. Artinya, bahwa suatu yang ada tidak sekedar ada melainkan ada dalam dirinya sendiri. Seuatu yang mempertanyakan tentang Ada-nya oleh Heidegger disebut sebagai Dasein. Kata Dasein dalam bahasa Jerman mempunyai arti “Ada-di-sana”4. Ada-di-sana yang dimaksud adalah suatu yang Ada itu sebatas Ada yang di sana dan bukan Ada yang lain. Ada-di-sana merupakan realitas Ada yang tampak serta Ada dalam dunia. Ada ini ada dengan sendirinya dan merupakan ada yang penuh bukan mengada-ada.
Ada Dasein adalah kemungkinan ada itu sendiri dan ditentukan oleh Ada itu sendiri. Ada Dasein merupakan suatu yang khas dari Ada itu sendiri sehingga membedakan Ada itu dengan Ada-Ada yang lain, inilah yang dinamakan eksistensi. Eksistensi itu sendiri merupakan fakta Ada dari Dasein yang berpikir untuk mewujudkan kemungkinan yang melampaui dari dirinya. Sebagai contoh orang yang senang termenung akan merasa tidak tahan hidup karena akan selalu mempertanyakan mengapa dia ada.
Permasalahan yang diangkat oleh Heidegger mengenai masalah Ada merupakan suatu ontologis yang diambil dari penampakan. Heidegger mengkontekstualitaskan mengenai Ada dari Dasein yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari manusia dalam dunia (In-der-Welt-sein). Dalam hal ini konsep Ada sangat berhubungan ada dalam ruang Dasein itu berada dalam ruang atau menempati suatu tempat. In-der-Welt-sein merupakan satu ciri dasar yang sifatnya eksistensial. Jadi, Dasein secara menyeluruh mempunyai makna berada dalam dunia, dalam hal ini sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari.
Realitas Ada Dasein pada hakekatnya terletak pada eksistensinya. Artinya, bahwa Dasein merupakan suatu kemungkinan dari Ada yang menjadi itu dalam dirinya sendiri. Dasein tidak hanya sekedar ada dalam suatu yang temporer In-Zeit mungkin juga In-Zeit itu sendiri. Heidegger menghubungkan Ada Dasein dengan realitas sehari-hari khususnya dengan waktu. Manusia dalam realitasnya berada dalam putaran waktu. Waktu merupakan realitas Ada yang setiap saat melingkupi hidup sehari-hari manusia, oleh karena itu manusia tidak bisa lepas atau terpisah dengan realitas waktu. Semua perilaku manusia dalam hidup sehari-hari berada dalam putaran waktu yang mengikat manusia.
Dunia Dasein adalah dunia bersama Ada-Ada yang lain. Ada-nya Dasein ini tidak bisa lepas dari kehadiran dari Ada-Ada yang berada disekelilingnya. Realitas Ada ini juga menempati ruang dan waktu yang sama dengan Ada dari Dasein itu sendiri. Heidegger dalam analisanya mengenai Ada bersama dengan Ada-Ada yang lain menggambarkan suatu konsep yang sifatnya adalah sosial. Dasein itu sendiri merupakan bentuk sosial maksudnya keberadaan Dasein itu berada bersama-sama dengan Ada-Ada yang lain. Hal ini sangat bersinggungan dengan keberadaan dari Ada-Ada yang lain yang secara bersama-sama berada dalam ruang dan waktu yang sama.5 Dunia Dasein merupakan berada dalam kehidupan bersama-sama dengan yang lain.

Keterlemparan
Ada Dasein merupakan suatu usaha untuk mengungkapkan diri melalui peristiwa-poeristiwa yang terjadi. Teori Heidegger dalam Sein und Zeit penuh dengan pemahaman mistik, yakni pembukaan diri. Artinya, manusia dihadapkan pada sisi untuk membuka hati untuk melihat realitas Ada yang mewahyukan diri. Dalam hal ini Dasein membuka hati untuk memperoleh pencerahan terhadap fenomen yang terjadi. Pengungkapan ini bertujuan untuk menyingkap tabir misteri yang hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia mencoba untuk mencari jawaban yang menggelisahkan hati berdasarkan fenomen yang dialaminya. Dengan kata lain, manusia berusaha untuk masuk dalam kondisi psikologis yang menggetarkan hati. Hal ini yang dimaksudkan bahwa manusia “terlempar” dari dunia realitas untuk menggapai suatu yang sifatnya misteri. Manusia “terlempar” dari dunia dan memasuki suatu kegelisahan hati. Dunia sebagai realitas yang dialami oleh manusia menempati suatu ruang dan waktu sedangkan suasana hati manusia berusaha untuk mengungkapkan kegelisahan yang menggelitik terhadap fenomen yang dialami.
Dasein di dunia merupakan suatu fakstisitas niscaya yang beralasan bahwa “Fakta ia ada”6. Dasein berkaitan erat dengan suasana hati, misalnya: rasa takut, gembira. Suasana hati ini merupakan suatu pengungkapan perasaan manusia. Dasein ada berdasarkan suatu fenomen yang menggelitik suasana hati sehingga mengganggu akal budi untuk merespeknya. Pemikiran Heidegger seperti ini dilandasi atas pengalaman pribadinya dalam permenungan.
Hal ini yang dimaksud oleh Heidegger dengan keterlemparan yakni bahwasanya Dasein terlempar untuk penyerahan diri. Pendapat Heidegger bahwa memang sejak awalnya manusia menyerahkan diri dalam hidupnya. Hidup adalah eksistensi keniscayaan, suatu “lompatan” keberanian yang tidak aktual. Artinya, bahwa manusia pada awalnya sudah berada pada keterlemparan kepada ketidakberanian untuk menghadapi realitas sesungguhnya. Manusia hidup pada umumnya mengikuti realitas dunia sehingga tidak mempunyai keberanian untuk masuk kedalam realitas dirinya sendiri.
Pemahaman keterlemparan yakni manusia tidak mengetahui berasal dari mana dan akan ke mana di dalam dunia ini. Memahami keterlemparan sama artinya dengan menyadari eksistensi diri sendiri, dalam artian bahwa manusia memahami rancangan yang mempunyai orientasi ke masa depan. Fenomena pemahaman diri sendiri menurut Heidegger adalah suatu pembukaan diri terhadap realitas dunia dengan cara merenungkan dan menafsirkan. Pemehaman ini bukan hanya sekedar aktualisasi dari eksistensi melainkan suatu tindakan yang lebih mengarah kepada reflektif.
Pemahaman ini merupakan alunan dari suasana hati untuk bergerak dan bertindak. Hal ini dilandasi dengan suasana pengosongan diri. Manusia adalah mahkluk yang tidak mempunyai inti dalam dirinya sendiri singkatnya adalah kosong7. Kekosongan inilah yang menentukan Ada-nya manusia itu. Ada manusia merupakan semacam dasar jurang yang tidak berdasar karena manusia tidak mampu untuk mengukur seberapa dalamnya. Misteri hati manusia merupakan suatu eksistensi yang menyelimuti hidup manusia sehari-hari. Obyek keterlemparan Heidegger merupakan suatu kecemasan akan kejatuhan yang berdasar pada kecemasan suasana hati.

Refleksi Filosofis
Pemikiran Heidegger pada intinya adalah pemikiran umum banyak mengandung unsur mistis. Heidegger adalah salah satu filsuf yang mistikus. “Sein und Zeit” merupakan suatu bentuk permenungan Heidegger atas penampakan-penampakan yang dialaminya. Filsafat Heidegger sangat penuh dengan unsur refleksi teologis. Sebagai seorang yang mendalami filsafat sangat bertolak belakang dengan pemikirannya yang cukup banyak mengungkapkan sisi mistik.
Heidegger berfokus pada filosofis teologis dalam mengungkapkan realitas Ada dengan berdasarkan pada fenomena-fenomena yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari. Ia berusaha menyelami palung terdalam dari hati manusia untuk memaknai hidup. Inti dari Sein und Zeit merupakan suatu bentuk penawaran jalan untuk kembali kepada jati diri manusia. Jadi, Ada yang terlempar itu berusaha untuk mengungkapkan diri, dan suatu bentuk undangan manusia untuk menyadari dan memahami eksistensinya.

DAFTAR PUSTAKA
Hardiman, F. Budi, Heidegger dan Mistik Keseharian, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2003.
Heidegger, Martin, Sein und Zeit, Tubingen: Max Niemeyer, 1953.
1 Bdk. Prolog F. Budi Hardiman, Heidegger dan mistik keseharian, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2003, hlm. 1.
2 Ibid. hlm. 26.
3 Ibid. hlm. 31.
4 Ibid. hlm. 47.
5 Bdk. Martin Heidegger, Sein Und Zeit, Tubingen: Max Niemeyer, 1953, paragraph 24 A, hlm 118.
6 Op. Cit. F. Budi Hardiman, hlm. 70.
7 Op. Cit. F. Budi Hardiman, hlm. 79.

Sabtu, 07 Februari 2009

TINDAKAN BEBAS SEBAGAI KEBEBASAN SUARA HATI

(Tinjauan Moral Kristiani)

By. Antonius Agus Sumaryono

I. Pengantar
Setiap orang mempunyai kebebasan bertindak untuk mengekspesikan suara hatinya. Suara hati merupakan pusat eksistensi manusia sebagai pribadi dan prinsip tanggung jawab moral. Orang seharusnya mematuhi perintah suara hati. Prinsipnya bahwa suara hati adalah piranti dalam diri manusia, dan suara hati itu adalah ”suara” dari tindakan atau perbuatan moral.[1]
Dalam suara hati, manusia menemukan suatu ajaran yang membawa dirinya kepada suatu tindakan atau perbuatan. Oleh karena itu, suara hati manusia juga merupakan suatu tempat untuk menilai, menimbang dan memutuskan suatu tindakan atau perbuatan moral. Suara hati adalah sebagai suatu kesanggupan moral untuk menerapkan prinsip-prinsip moral dalam keadaan tertentu yang dihadapi oleh seseorang.
Manusia didorong untuk menghargai keputusan tindakan atau perbuatan manusia yang lain karena semua itu bersumber dari suara hati. Suara hati manusia bersifat “bebas”[2]. Suara hati merupakan kemampuan moral untuk dapat mengatakan bahwa secara subjektif seseorang dapat mengetahui apa yang baik dan yang jahat dan apa yang menjadi kewajiban moralnya.
Akan tetapi, prinsip suara hati sebagai piranti dalam diri menusia dan sebagai “suara” dari tindakan moral kerap kali dihadapkan pada “kekeliruan” suara hati sehingga membawa manusia pada suatu suasana yang tidak bebas. Yang menjadi pokok persoalan adalah, sejauh mana tindakan seseorang dapat dibenarkan secara moral? Bagaimana pandangan kristiani melihat tindakan moral seseorang? Dan apakah suara hati itu bisa salah? Dan sejauh mana kebebasan suara hati? Penulis ingin membahas beberapa pertanyaan tersebut dengan menjelaskan bagaimana tindakan moral dapat dibenarkan dan sampai sejauh mana kebebasan suara hati.
II. Tindakan Moral
2.1. Arti Umum
Secara umum tindakan moral berkenaan dengan ajaran tentang tatanan nilai. Tindakan moral dipahami sebagai suatu ajaran baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap, akhlak, budi pekerti, susila, dll. Semua perilaku seseorang dapat dibenarkan berdasarkan dari nilai baik dan buruk sesuai dengan norma-norma yang ada dalam tatanan masyarakat. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.[3]

2.2. Arti Khusus
Dalam artian khusus tindakan moral adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dilihat berdasarkan suara hati untuk mencapai suatu kesempurnaan. Moralitas mendapat wujud nyata yang subjektif dan pribadi dalam konteks suara hati.[4] Jadi, tindakan dan keputusan dikaitkan dengan suatu konteks makna hidup yang diyakini manusia.

III. Pandangan Kristiani tentang Tindakan Moral
3.1. Tindakan Moral menurut Kitab Suci
Di dalam Kitab Suci, kita banyak mendapatkan pesan dan makna moral bagi kehidupan para pengikutnya. Kitab Suci merupakan sumber inspiratif moral. Peringatan moral melalui Kitab Suci terjadi secara langsung, karena semua pesan moral yang terkandung didalamnya memberikan kebebasan suara hati dari manusia. Kitab Suci sebagai sumber utama nilai-nilai dasar, kebajikan-kebajikan dan visi yang memberikan jati diri bagi orang Kristen.[5]
Allah memanggil manusia untuk bersekutu dengan-Nya dan memenuhi kehendak-Nya. Sebagai jawaban atas panggilan itu Allah memberikan kebebasan dalam suara hati manusia untuk menanggapinya. Kebebasan suara hati manusia ini merupakan sikap yang fundamental dan mempunyai sifat yang universal. Sabda Allah dalam Kitab Suci mempunyai sasaran yang sama dan bertujuan dalam penentuan nasib manusia.
Keputusan moral menuntut kesiagaan mendengarkan kehendak Allah. Perjanjian Lama merumuskan kehendak Allah dalam perintah-perintah Allah (Kel 20:1-17). Pemazmur mengatakan bahwa Allah sudah mengetahui dan menyelami lubuk hati manusia (Mzm 139), sebelum manusia mengeluarkan perkataan Allah telah mengetahuinya. Suara hati merupakan saksi dari nilai moral tindakan manusia (Ayb 27:6). Suara hati adalah sumber dari segala hukum Allah supaya manusia bertindak sesuai dengan kesusilaan. Perjanjian Baru menawarkan keselamatan melalui Putera Yang DikasihiNya (Mat 7:14, 11:10, 14:28, Luk 1:69-71, 77; 2:11, 2:30, 3:6). Petunjuk-petunjuk menyangkut jalan hidup didalam Kitab Suci berupa kiblat moral. Dalam dimensi religius suara hati dilukiskan sebagai suara Allah. Pengetahuan akan tujuan eksistensial manusia dan tuntutan-tuntutan utama moral disimpulkan dari pengetahuan yang dirujuk kepada keaslian atau kemurnian suara hati.
Dalam Perjanjian Baru, ditemukan pula teks-teks yang berkenaan dengan suara hati dan tindakan moral. Pada satu kesempatan, Yesus mencela kaum Farisi yang hanya mengajarkan tindakan moral, tetapi mereka sendiri tidak melakukannya (Luk 11:46). Pada kesempatan lain, Yesus memberikan pengertian yang mendalam perihal suara hati. Hati nurani bukanlah perintah lahiriah melainkan bagaimana kita menghayati dalam batin manusia (Mrk 7:21). Tuntutan utama Yesus adalah harus ada keharmonisan dalam batin.
Dalam Kisah Para Rasul, Paulus mengetuk “moral” orang-orang Yunani dalam kotbah misionernya di Athena yang juga bertalian dengan suara hati. Dalam perjalanannya ke Athena, Paulus memberikan suatu gambaran konkrit perihal keadaan orang-orang Athena. Dalam segala hal orang-orang Athena sangat beribadah kepada dewa-dewa. Paulus menunjukkan keheranan kepada orang Athena yang melakukan penyembahan kepada allah yang tidak mereka kenal (Kis 17:23). Bagaimana mungkin mereka menyembah kepada allah yang tidak mereka kenal? Pada titik ini, moralitas Yunani -yang dipengaruhi oleh filosofis- mulai bertanya-tanya dengan suara hatinya. Optio Fundamentalis[6] orang-orang Yunani mulai terusik dengan pernyataan Paulus. Dalam hal ini Pualus memberikan satu pencerahan baru.

3.2. Pandangan Ajaran Gereja (KV II)
Dokumen Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes (GS) 16 menegaskan bahwa suara hati adalah inti yang paling rahasia dan tempat suci manusia. Di sana ia berada sendirian dengan Allah. “Suara” yang bergema dalam lubuk hatinya. Dengan kata lain bahwa suara hati adalah suara Allah yang mengontrol tindakan atau perbuatan manusia. Suara hati yang adalah suara yang mengandung suatu unsur kebenaran.
Konsili Vatikan II menyoroti suara hati adalah untuk mengemukakan bahwa gambaran suara hati adalah suatu tempat pertemuan antara manusia dengan Allah. Suara hati merupakan nilai yang luhur dari martabat manusia. Dalam suara hati manusia dapat menemukan satu kemungkinan untuk berdialog yang mujarab dengan siapapun dalam proses mencari kebenaran moral. Kesalahan yang terjadi pada manusia bukan karena suara hati yang salah melainkan suara hati tidak sanggup memberitahukan tingkah laku lain bahwa itu tindakan atau perbuatan yang salah.
Pedoman dan petunjuk untuk pembentukan suara hati diberikan dalam magisterium Gereja (Dignitatis Humanae 14). Hal ini sangat berkaitan langsung petunjuk Magisterium Gereja Katolik dan berlaku secara otoritas religius dan sosial dengan suatu rumusan tuntutan moral dan memberikan kiblat moral.[7] Ajaran Magisterium menjadi bantuan bagi pengembangan iman kristiani untuk mengetahui bentuk kehidupan iman kristiani. Otoritas gerejani ini tidak identik dengan Kristus dalam penilaian bahwa suara hati harus tunduk kepada penilaian otoritas agama. Dalam artian bahwa Suara hati manusia yang bertentangan dengan ajaran Gereja itu bersalah, tetapi setiap manusia harus berhati-hati dalam bersikap.[8] Manusia dikatakan bersalah karena menjalankan tindakan atau perbuatan yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu Magisterium mengajarkan ini dengan konsekuensi manusia tunduk kepada tata susila berdasarkan dalam terang kebenaran.
Pernyataan Konsili mengenai kebebasan suara hati sebagai sikap pribadi atau hakekat manusia. Konsili mempunyai tujuan untuk memperjuangkan martabat manusia sebagai pribadi. Martabat itulah yang menuntut bahwa manusia “bertindak berdasarkan pandangan sendiri, pengertian sendiri, atas kesadarannya sendiri akan tugas kewajibannya, tidak lagi di dorong oleh paksaan atau anjuran yang seringkali dibawa dari luar.[9]

IV. Apa Suara Hati bisa Salah?
Suara hati adalah kesadaran seseorang dalam menjalankan kewajibannya. Suara hati mempunyai tugas sebagai penilaian moralitas perilaku seseorang. Bagaimana seseorang bisa dikatakan benar dan salah dalam memutuskan suara hati secara moral?
Suara hati secara rasionalitas bukanlah sebatas benar dan salah. Suara hati pada hakikatnya merupakan masalah perasaan, dan masalah perasaan tidak dapat disebut benar atau salah.[10] Misalnya seorang ibu sedang mengandung tetapi setelah diketahui bahwa janin yang dikandungnya mengandung resiko. Maksudnya, jika janin dibiarkan akan membahayakan keselamatan si ibu dan di lain pihak jika diangkat janin akan mati. Dalam hal ini secara medis berhadapan dengan dua pilihan dan harus diambil salah satu, sedangkan secara moral mengakhiri hidup manusia itu suatu tindakan yang tidak bermoral.
Dalam hal ini, suara hati dokter yang menjadi persoalan moralnya. Secara moral si dokter berada dalam situasi yang sulit yakni melakukan perbuatan dengan akibat ganda. Yang dimaksud prinsip perbuatan dengan akibat ganda adalah perbuatan positif tidak boleh lewat sarana negatif sebagai jalan untuk pemecahan kasus.[11] Posisi dilematis ini membawa dokter untuk mengikuti suara hatinya. Dalam persoalan moral masalah yang berakibat ganda ini, dokter dapat mengambil keputusan yang membawa akibat paling kecil (minus malum), tetapi dokter juga harus menghargai keputusan yang akan diambil oleh si ibu. Maksudnya, apabila si ibu tetap mempertahankan bayi yang dikandungnya meskipun akibatnya si ibu harus mengalami kematian.
Jawaban atas masalah ini mempunyai dua bagian. Pertama, suara hati manusia dapat salah sedangkan Allah tidak dapat salah, maka sudah jelas bahwa suara hati tidak bisa disamakan dengan suara Allah.[12] Pernyataan ini sangat bertolak belakang dengan pernyataan dalam dimensi religius seperti yang penulis uraikan pada poin 3.1. sebelumnya. Dalam suara hati ada unsur-unsur yang tidak dapat diterangkan oleh manusia secara rasional. Suara hati merupakan suatu kesadaran insani setiap manusia. Oleh karena itu suara hati masing-masing orang tidak mutlak benar.

V. Sejauh mana kebebasan suara hati?
Arti kebebasan pada hakikatnya terdiri dalam kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan tidak menekankan pada segi bebas dari apa, melainkan bebas untuk apa. Kebebasan mendapat wujud nyata secara positif dalam tindakan seseorang yang disengaja.
Sekarang kebebasan suara hati itu yang seperti apa? Kebebasan bagi manusia pertama-tama berarti, bahwa ia dapat menentukan apa yang mau dilakukan secara fisik. Suara hati adalah kesadaran moral seseorang secara konkret. Banyak orang mengatakan kita harus berbuat seperti ini atau seperti itu, tetapi dalam hati, kita sadar bahwa hanya kita sajalah yang mengetahui suara hati kita. Jika suara hati setuju dengan pendapat moral lingkungan maka suara hati itu yang dinamakan suara hati yang bebas, tetapi sebaliknya jika suara hati kita tidak setuju dengan pendapat moral lingkungan, maka suara hati itu tidak dalam keadaan bebas.
Jadi kebebasan suara hati itu tidak mutlak benar secara moral lingkungan. Apabila suara hati kita tak dapat menyesuaikan dengan pendapat moral lingkungan, maka kita seolah-olah merasa bersalah. Arti kebebasan suara hati adalah kesadaran seseorang bahwa ia berkewajiban secara mutlak untuk menghendaki apa yang menjadi tanggungjawab dan kewajibannya, dari hal itu tergantung kebaikan sebagai manusia dalam situasi konkret.[13]

VI. Kesimpulan
Secara umum kebebasan suara hati merupakan suatu kesadaran seseorang berdasarkan tindakan moral secara universal. Maksudnya, bahwa suara hati seseorang itu memang “bebas” tetapi dalam kebebasan itu tidak dinilai secara subyektif saja. Kebebasan suara hati seseorang menuntut tindakan moral yang menjadi tolok ukur penilaian dari lingkungan masyarakat sekitarnya karena yang memberi penilaian tindakan seseorang dapat dikatakan benar dan salah adalah norma-norma yang ada di lingkungan masyarakat tersebut.
Ditinjau dari moral kristiani, kebebasan hati nurani berhadapan dengan kepribadian manusia sebagai penentu atas tindakannya. Penentuan diri manusia ini secara pribadi menuntut pertanggung jawaban di hadapan Allah. Secara umum Allah menghendaki semua manusia memperoleh keselamatan tetapi semua itu dikembalikan kepada manusia yang dengan sukarela menentukan sendiri untuk mencari Penciptanya dan mengabdi kepadaNya secara bebas dalam mencapai kesempurnaannya.

DAFTAR PUSTAKA
Chang, William Dr, OFMCap, Pengantar Teologi Moral. Yogyakarta: Kanisius ,2001.
Go, Piet, Dr, O.Carm, Diktat teologi Moral Fundamental. Malang: STFT Widya sasana, 2003.
Hadiwardoyo, AL. Purwa, MSF, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Hajon Kallix.s. SVD. Mencintai dalam kebebasan. Maumere. Penerbit ledalero, 2000.
Kieser, Bernhard, SJ, DR., Moral Dasar Kaitan Iman dan Perbuatan, Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Klein, Paul, Dr, SVD, Diktat hati Nurani, Malang: STFT Widya Sasana, 2004.
Peschke, Karl-Heinz, SVD, Etika Kristiani Jilid I Pendasaran Teologi Moral. Maumere: Penerbit Ledalero, 2003.
Schuller, Bruno, SJ., Moral Theology Vol. 3, Charles E. Curran and Richard A. McCormick, SJ, (ed), New York: Paulist Press, 1982.
Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius, 1987.

SUMBER SUMBER LAIN
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1997.
Dokumen Konsili Vatikan II, ter. Dr. J. Riberu, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI –Obor,1991.


[1] Bdk. Karl Heinz Peschke, SVD, Etika Kristiani Jilid I Pendasaran Teologi Moral, Maumere: Penerbit Ledalero, hlm. 187.
[2] Term “bebas “ dalam hal ini memaksudkan bebas memutuskan tindakan yang dianggap benar sesuai dengan keadaan Suara Hati Nuraninya. Apakah hati nuraninya tumpul, sesat, peka dll. Hal itu menjadikan persoalan yang lain.
[3] Bdk. Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 19.
[4] Bdk. Dr. Bernhard Kieser, SJ, Moral Dasar Kaitan Iman dan Perbuatan, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 144.
[5] Bdk. Karl Heinz Pesckhe, SVD, Op. Cit., hlm. 241.
[6] Optio Fundamentalis merupakan sikap dasar manusia untuk memilih secara bebas sesuai dengan keinginan suara hati dan setiap keputusan dasar seseorang tidak dapat dipaksakan, karena hal ini adalah hak setiap manusia yang paling hakiki.
[7] Bdk. Karl Heinz Peschke SVD, Op. Cit., hlm. 232.
[8] Bdk. Bruno Schuller, SJ, Moral Theology Vol. 3. New York: Paulist Press, hlm. 15. In our brief remarks about the authentic teaching of the Church’s magisterium, we shall presume the distinction of the two forms of magisterium as found in traditional theology: the infallible and the merely authentic.
[9] Bdk. Dr. Bernhard Kieser, SJ, Op. Cit., hlm. 119-120.
[10] Bdk. Franz Magnis Suseno, Op. Cit., hlm. 64.
[11] Bdk. Piet Go, O.Carm, Diktat Teologi Fundamental, hlm. 23.
[12] Bdk. Franz Magnis Suseno, Op. Cit., hlm. 77.
[13] Ibid. hlm. 53-54.

Kamis, 05 Februari 2009

PENGATAHUAN DAN REALITAS

NYAYA – VAISHESHIKA
By. Antonius Agus Sumaryono

Abstraksi
Filsafat Nyaya dan Vaisheshika pada inti ajarannya adalah mencari kebenaran yang esensi dari suatu ilmu pengetahuan. Keduanya menekankan bahwa suatu realitas yang dilihat oleh indera belum tentu mewakili dari realitas yang sesungguhnya. Ajaran filsafat Nyaya dan Vaisheshika pada umumnya membahas mengenai korelasi antara pengetahuan dan realitas. Menurut filosof Nyaya Vaisheshika pengetahuan yang diiderawi merupakan hasil dari pengalaman yang di konkritkan dengan realitas “ada” dari benda-benda sejauh dapat ditangkap oleh indera, tetapi indera bukanlah sebagai suatu pengetahuan yang valid. Jadi, pengetahuan yang valid adalah ketika indera menangkap suatu objek yang sesuai dengan realitas sesungguhnya.

Masalah Ilmu Pengetahuan
Masalah pokok pengetahuan adalah penetapan pengakuan apa pengetahuan memang benar-benar sebagai pengetahuan, daripada sekedar opini yang keliru. Kekeliruan terjadi dengan mudah dalam banyak persoalan seputar persepsi dan penyimpulan. Sebagai suatu contoh, dalam pencahayaan yang suram tali yang tergeletak akan nampak menjadi seperti ular. Jadi semua yang nampak di mata kita bisa berbeda dengan realitas yang sesungguhnya.
Skeptisisme seperti ini menarik para filosof untuk menganalisa kebenaran dari pengetahuan. Bagaimana dan kapan pengetahuan itu dinyatakan benar-benar valid. Indera manusia bukanlah satu tolok ukur yang baik untuk menganalisa suatu kebenaran dari pengetahuan. Apa yang ditangkap oleh indera manusia bisa menipu dari dari realitas yang sesungguhnya.
Nyaya membahas analisa pengetahuan dalam terminus subyek yang mengetahui terhadap obyek yang akan diketahui. Ada empat faktor yang terkait dalam pengetahuan untuk menyatakan pernyataan terhadap pengetahuan. Empat faktor itu antara lain: 1. Subyek yang mengatahui, 2. Obyek yang akan diketahui, 3. Obyek yang sedang diketahui dan 4. Alat pengetahuan untuk mengetahui Obyek.

Alat Pengetahuan
Karakter dari Nyaya adalah sebuah pengetahuan merupakan pengetahuan untuk menerangi serta menampakkan yang ada. Contohnya, rumput itu berwarna hijau, darimana orang tahu bahwa itu rumput yang berwarna hijau. Mata sebagai alat penglihatan menampakkan apa yang dilihat. Alat pengetahuan dibedakan menjadi empat hal yang prinsipil: 1. Persepsi, 2. penyimpulan, 3. Analogi dan 4. Kesaksian. Keempat hal tersebut merupakan elemen dasar sumber pengetahuan. Hal tersebut dibedakan karena pada kenyataannya manusia melakukan berbagai hal dalam usahanya untuk mengetahui segala sesuatu. Teori Nyaya mendiskusikan analisa dari empat alat pengetahuan dan bagaimana menetapkan cara yang berbeda untuk mengatahuinya.

Persepsi Pengetahuan
Definisi dari persepsi pengetahuan adalah sebagai pengetahuan yang benar dan pasti yang dihasilkan idera dengan obyek sesungguhnya. Dengan alat persepsi dapat diketahui bahwa huruf-huruf yang tampak di kertas berkontak dengan indera mata kita. Huruf-huruf yang tertera dapat ditangkap oleh indera dan kemudian diidentifikasikan. Orang bisa saja mengidentifikasi obyek secara keliru meskipun keliru sebagai obyek yang sesungguhnya. Dengan asumsi bahwa persepsi dapat terpikir tanpa menangkap obyek berarti suatu tindakan perspektif itu menciptakan obyek daripada apa yang tampak. Nyaya menanyakan tentang bagaimana persepsi yang salah itu dapat dideteksi atau dikoreksi.
Bagaimana persepsi yang murni dapat dibedakan dari kekeliruan penglihatan. Nyaya menjelaskan bahwa pendapat ini didasarkan pada pembedaan antara dua persepsi yakni persepsi pasti dan persepsi tak pasti. Persepsi yang pasti yakni persepsi huruf-huruf pada kertas ini yang didahului oleh kontak tak pasti antara indera dengan coretan-coretan pada kertas sebelum dikenali dan diklasifikasi sebagai huruf. Persepsi yang tidak pasti adalah kontak antara indera dengan obyek. Semua ini adalah pengalaman sensorik awal. Pengalaman ini membatsi dengan seksama apa yang diterima oleh kontak inderawi.
Pengetahuan perseptual memerlukan persepsi yang pasti dari pengalaman sensorik dasar yang tidak dipastikan menjadi suatu hal dengan kualitas dan relasi yang beragam. Prinsip dari persepsi yang pasti tidak dapat dinamai. Pembedaan dibuat antara pengalaman sensorik langsung dan persepsi. Jadi, ada pembedaan antara ketidaktahuan dan kekeliruan.
Ketidaktahuan berarti suatu kekurangan akan pengalaman sensorik langsung. Ketidaktahuan juga dimengerti sebagai kekurangan persepsi pasti. Di lain pihak, kekeliruan menghasilkan kesalahan apa yang diberikan dalam pengalaman sensorik langsung sebagai yang lain dari sesungguhnya. Dari contoh term ular tetapi ternyata seutas tali. Dengan demikian, hasil pengalaman sensorik ini adalah suatu pernyataan keliru bahwa yang terlihat sebagai ular ternyata hanya seutas tali. Jadi, pengetahuan perseptual yang benar terjadi ketika persepsi menangkap obyek sesuai dengan realitas yang ada pada obyek tersebut.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana keputusan konseptual partikular diketahui sebagai kebenaran. Kenyataannya suatu hal tidak mungkin diuji langsung antara persepsi dengan realitas yang ditangkap oleh indera. Artinya, kita bisa mengetahui pengetahuan yang benar dengan cara keluar dari pengetahuan. Hal ini dapat terjadi tanpa menampakkan sesustu yang aktual antara klaim pengetahuan dan realitas.
Nyaya menekankan klaim pengetahuan yang keliru dapat dideteksi pada term keberhasilan praktik. Persepsi seseorang terhadap suatu obyek dapat keliru. Indera dapat menipu realitas yang ada nampak dan ditangkap oleh indera. Contohnya, di meja ada butiran-butiran putih adalah gula, hal ini bisa keliru, karena kenyataannya butiran-butiran putih itu adalah garam. Filsup Nyaya memberikan definisi persepsi yang benar dalam term koresponden dari realitas. Artinya, mereka menyatakan bahwa latihan adalah alat untuk menentukan kebenaran yang ditangkap oleh indera.
Jenis lain pengetahuan persepsi dibedakan dengan cara kontak yang dibentuk antara indera dengan obyeknya. Persepsi ini terjadi ketika kontak indera dengan obyek sehingga pikiran mencapai kontak fisik dan diolah. Pengetahuan persepsi tersebut menghasilkan persipsi yang tidak pasti, melainkan pengalaman sensorik dari indera. Pengetahuan persepsi yang tidak abadi adalah sarana penyadaran dari pengalaman sensorik. Hal tersebut berkorespondensi dengan persepsi yang pasti.
Pengetahuan persepsi dapat dibedakan berdasarkan metode atau cara kontak antara indera dengan obyek. Persepsi terjadi ketika indera menangkap atau menerima sensorik yang dirasakan oleh fisik. Nyaya memberikan persepsi yang tidak biasa. Artinya bahwa pengalaman sensorik dasar dan persepsi individual belum tentu sesuai dengan realitas yang ada.

Penyimpulan
Persepsi adalah dasar dari pengetahuan, tetapi dalam Nyaya ada alat lain untuk mengenal pengetahuan. Alat ini adalah penyimpulan. Penyimpulan adalah alat dari pengetahuan yang valid. Nyaya Sutra mendefinisikan bahwa penyimpulan adalah sebagai alat yang bebas dari pengetahuan yang valid dengan memproduksi pengetahuan yang hadir sesudah pengetahuan yang lain. Pengalaman persepsi adalah penyimpulan sesuatu realitas yang secara nyata tidak diterima secara langsung. Misalnya, Dinosaurus pernah hidup di dunia ini, karena hal ini dapat diketahui dengan penemuan fosil.
Penyimpulan disusun dari sesuatu yang diterima oleh alat pengetahuan yang disebut rasio. Rasio berfungsi sebagai term untuk menalar silogisme. Contoh penyimpulan silogisme: “di gunung ada api karena ada asap, di mana ada asap di situ ada api”. Contoh di atas secara universal menunjukkan adanya hubungan antara asap dan api. Jadi secara rasio dapat dibenarkan bahwa ada asap pasti ada api meskipun secara langsung api itu tidak dapat ditangkap oleh indera.
Bentuk silogisme pada contoh tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut menurut Nyaya:
1. Di gunung ada api
2. Sebab gunung berasap
3. Apa saja yang berasap itu berapi, contohnya: kompor.
4. Di gunung ada asap, di mana ada asap di situ ada api.
5. Jadi gunung yang berasap itu ada api.
Hal yang esesnsial dari penyimpulan contoh tersebut adalah pada pengetahuan itu (the coming to know) bahwa di gunung ada api dengan dasar: 1. adanya asap yang ditangkap oleh indera 2. penalaran yang didasarkan oleh hubungan tidak variabel antara api dan asap. Proposisi pertama menunjuk pada klaim pengetahuan baru. Propisisi kedua dasar-dasar perceptual klaim pengetahuan baru yang ada pada proposisi pertama. Proposisi ketiga menyatakan penalaran yang bergerak dari sebuah klaim mengenai asap ke klaim yang satunya yaitu api. Proposisi keempat menyatakan penalaran berfungsi pada kasus ini. Proposisis kelima mengulangi klaiam sebagai bangunan penalaran yang dihasilkan.
Secara jelas, bagian penting proses penyimpulan merupakan bagian yang membangun hubungan tidak variabel antara dua objek. Para filosof Nyaya mendapat sebutan objek-objek dari individual sebagai suatu bagian penting dari pendirian hubungan universal antara kejadian atau objek. Umpama ada sepuluh burung gagak hitang dan tidak satupun burung gagak berwarna hitam, ada satu kemungkinan seseorang akan menuju pada hubungan universal antara burung gagak dan warna hitam. Umpama ribuan burung gagak diamati dan semua berwarna hitam, kemungkinan untuk membangun hubungan universal meningkat. Tetapi, apabila ada jutaan burung gagak dan semuannya berwarna hitam sudah di observasi, tetapi susudah diobservasi ditemukan ada burung gagak berwarna putih kemungkinan disinyalir ada hubungan universal antara burung gagak dengan warna hitam menjadi nihil. Kemungkinan itu sangat besar bahwa burung gagak dari beberapa juta akan berwarna hitam.
Hal ini nampak tidak ada jumlah dari objek contoh yang menegaskan akan membangun hubungan penting antara kejadian dan objek. Kasus yang diobservasi akan datang dapat menyangkal perlunya koneksifitas. Nyaya menempatkan banyak perhatian pada kehadiran yang menegaskan dan ketidakhadiran pengalaman tidak menegaskan. Sarana itu tidak ditempatkan di sini. Mereka berargumen ada perbedaan antara klaim-klaim misalnya: di mana ada asap di situ ada api, di lain pihak semua burung gagak berwarna hitam. Perbedaan itu menunjukkan ketiadaan pada kodrat seekor burung gagak memerlukan warna hitam. Kodrat alami asap berhubungan dengan api sebagai variabel.
Nyatanya, ada satu perbedaan antar kasus yang muncul dan penting, hal ini merupakan suatu yang kasual, sementara di lain pihak hubungan ini adalah koinsidensi saja tanpa ada dasar yang kausal. Penyimpulan menghasilkan pengetahuan perceptual, jika pengetahuan sebuah hubungan universal yang penting. Dengan berdasarkan pada semua itu Nyaya memasukkan persepsi kelas kodrat dari individu pada pengetahuan perceptual adalah jenis persepsi yang tidak melalui individu yang ditangkap menjadi keadian particular saja.
Ada dua jenis penyimpulan-penyimpulan yang melibatkan hubungan universal:
1. Akibat yang tidak ditangkap dapat disimpulkan dari penyebab yang ditangkap.
2. Penyebab yang tidak ditangkap disimpulkan dari akibat yang ditangkap.

Kekeliruan inferensial
Para filsof Nyaya mencatat beberapa kekeliruan dengan mengambarkannya dalam penyimpulan-penyimpulan yang berguna mencegah adanya kesalahan-kesalahan. Suatu kekeliruan didefinisikan sebagai apa yang muncul dalam penalaran yang valid untuk dapat memberikan kesimpulan. Hal ini bukan penalaran yang valid. Contoh penyimpulan bahwa “di gunung ada api karena ada asap”. Pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa ada api di gunung. Term “api” disebut Sadhya. Term “gunung” disebut Paksha. Penalaran pernyataan “ada api” disebut hetu. Penalaran ini diambil untuk menghubungkan antara Sadhya dengan Paksha sebagai penalaran, penyimpulan itu tidak valid. Penalaran yang diberikan akan menjadi benar penalaran apabila mengandung peraturan sebagai berikut:
1. Penalaran ditampilkan pada paksha dan pada obyek lain yang mengandung Sadhya.
2. Penalaran tidak boleh dihadirkan dari obyek yang tidak memiliki Sadhya.
3. Klaim yang disimpulkan tidak boleh kontradiksi dengan persepsi yang valid.
4. Penalaran tidak boleh memungkinkan konklusi yang kontradiksi dengan klaim yang disimpulkan.

Perbandingan
Alat ketiga pengetahuan yang valid dari filosof Nyaya adalah pengetahuan perbandingan yang berdasarkan pada kesamaan. Contohnya, kamu tahu sapi dan kamu mengatakan bahwa rusa seperti sapi. Kamu berpikir bahwa hewan yang ditemukan di dalam hutan adalah rusa. Hal yang berbeda akan kamu katakan untuk menyebut obyek yang pasti. Contohnya, orang yang baru pertama kali melihat seekor rusa mengatakan bahwa itu adalah rusa, pengetahuan itu dibentuk dari pengakuan, bukan berdasarkan perbandingan. Alat perbandingan merupakan gabungan dari suatu obyek yang diketahui dengan obyek yang tidak diketahui. Hal krusial dari alat pengetahuan adalah observasi kesamaan obyek. Pemikir Nyaya memegang bahwa persamaan itu adalah obyek yang dapat dipahami. Berdasarkan pada hal tersebut, pengetahuan mengenai keaslian dari obyek baru sama persisnya terhadap obyek yang dikenal mendasari alat terpisah dari pengetahuan. Sedang, pengetahuan komparatif melibatkan persepsi dan penyimpulan. Hat tersebut tidak dapat mengurangi pada keduanya, karena diperhitungkan sebagai alat ketiga pengetahuan.

Pengakuan
Alat keempat pengetahuan yang valid dalam Nyaya secara teknis disebut Shabda. Secara tertulis, itu mempunyai arti “sabda”, dan menunjuk kepada pengetahuan yang dicapai sebagai hasil yang akan dinyatakan seseorang yang bisa dipercaya. Opini berbeda dengan pengetahuan, sebab opini dapat keliru. Tetapi, pengetahuan tidak dapat keliru. Opini yang didengarkan dari seseorang bukan merupakan alat pengetahuan, tetapi klaim pengetahuan dari orang yang kita dengar dan pahami menjadi pengetahuan yang murni dapat dicapai.
Ada 3 kriteria pengetahuan berdasarkan pada pengakuan orang lain antara lain:
1. Orang yang berbicara harus jujur dan bisa dipercaya.
2. Orang yang berbicara harus mengerti apa yang dikomunikasikan.
3. Pendengar mesti memahami apa yang didengarkan.

OBJEK-OBJEK PENGETAHUAN: KATEGORI VAISHESHIKA
Sesudah menganalisa alat-alat pengetahuan yang valid, cara berikutnya adalah meyakini objek-objek pengetahuan yang valid, jenis-jenis dari hal yang ada dan dapat diketahui. Brdasar pada Nyaya Sutra, hal yang dapat diketahui antara lain: diri, tubuh, indera, objek-objek indera, pikiran, pengetahuan, tindakan, ketidaksempurnaan mental, kesenangan, dan duka, penderitaan, kebebasan dari penderitaan. Catatan penting bahwa semua objek pengetahuan merupakan objek fisik. Pengetahuan dapat menjadi objek pengetahuan seperti yang dilakukan oleh Nyaya, yakni menyelidiki pengetahuan tersebut dan mencoba mengetahui.
Berbagai jenis hal berdasarkan pada hubungan antara seorang subjek yang sudah mengetahui dan dunia objek. Seumpama berbagai jenis hal yang ada dapat menjadi objek pengetahuan sebagai tujuan dari keberadaannya yang bebas, maka kita mendaki bersama kategori dari Vaisheshika. Kategori ini antara lain: 1. Substansi, 2. kualitas, 3. gerak, 4. keumuman, 5. partikularitas, 6. inherensi, 7. ketidakberadaan.
Semua kategori ini adalah tipe dari hal-hal yang berkorespondensi pada tipe-tipe yang berbeda dari objek-objek yang dapat diketahui. Pengetahuan mengarah pada pewahyuan objek-objek diri yang mengetahui, perbedaan-perbedaan dalam objekyang diketahui mengarah pada objek riil yang berbeda dari jenis hal-hal yang ada.

Substansi
Pertama, hal yang berada adalah substansi. Hal ini mengacu pada itu yang ada secara bebas dari jenis yang bermacam hal, tetapi yang merupakan tempat eksistensi bagi jenis yang lain dari sesuatu. Sesuatu yang riil dalam dirinya (self). Kategori dari substansi adalah: 1. bumi, 2. air, 3. cahaya, 4. udara, 5. eter, 6. waktu, 7. ruang, 8. diri, 9. pikiran. Bumi, air, cahaya, udara, eter sebagai elemen fisik karena darinya dapat diketahui melalui indera eksternal yang partikular, bumi melalui pembauan, air melalui pengecap, cahaya melalui penglihatan, udara melalui sentuhan, eter melalui pendengaran.
Substansi ini dimengerti dalam dua cara. Pertama, semua itu dapat dipikirkan sebagai atom-atom abadi yang tidak dapat dibagi. Kedua, semua itu adalah hasil dari kombinasi atom-atom. Substansi itu dalam nilai rasa dari gabungan hal-hal seperti kendi dibuat dari atom dalam dasar penyimpulan. Jika kendi itu pecah, hal itu direduksi dalam beberapa bagian. Tiap-tiap bagian dapat dipecah lagi dipecah dalam banyak bagian. Hal ini tidak mungkin setiap bagian dapat dirusak, karena bagian yang terkecil merupakan suatu gabungan. Hal ini penting bahwa ada unsur-unsur pokok tertinggi yang sederhana menurut Vaisheshika. Unsur pokok dari substansi adalah atom.
Ruang dan waktu substansi diketahui karena ada persepsi di sana dan di sini, jauh dekat, masa lalu masa sekarang dan akan datang. Eksistensi dari ruang disimpulkan dalam dasar bahwa suara ditangkap karena suara adalah kualitas, hal tersebut mewariskan bahwa hal tersebut termasuk ruang. Waktu disimpulkan dalam dasar bahwa perubahan ditangkap sebagai kualitas, hal tersebut termasuk waktu. Pengetahuan adalah kualitas dari yang tahu dan hal tersebut ada dalam substansi yang disebut diri yang adalah dasar kesadaran. Pikiran disimpulkan pada dasar bahwa perasaan dan kehendak yang diketahui, hal tersebut tidak diketahui oleh indera eksternal melainkan oleh pikiran. Hal tersebut mengarah pada indera dan mengumpulkan kontak ke dalam pengalaman. Pikiran adalah substansi indera yang berkontak sebagai kualitas.

Kualitas
Kategori kedua dari objek terletak pada kualitas. Kualitas mengacu pada berbagai kualifikasi dari substansi termasuk warna, bau, kontak, suara, jumlah, ukuran, perbedaan, koneksi, pemisahan, durasi, jarak, pengetahuan, kebahagiaan,, duka-cita, kemauan, kebencian, usaha, keberatan, ketidakstabilan, potensi, kebaikan, kekurangan. Daftar kualifikasi tersebut adalah cara mengungkapkan bahwa substansi dapat ada, misalnya: merah atau biru, menyengat atau harum, terikat atau terlepas, lembut atau kasar, tunggalatau jamak, besar atau kecil, sama atau berbeda, terpisah atau bersama, panjang atau pendek, jauh atau dekat, pandai atau bodoh, senang atau sedih, ingin atau tidak ingin, cinta atau benci, mencoba atau tidak mencoba, ringan atau berat, bergerak atau tidak bergerak, mampu atau tidak mampu, baik atau buruk. Banyak pembagian kualitas. Daftar tersebut termasuk jenis-jenis dsar kualifikasi substansi.

Gerakan
Jenis ketiga dasar dan realitas yang tidak dapat direduksi adalah gerakan. Jenis yang berbeda dari gerakan adalah: 1. gerakan ke atas, 2. gerakan ke bawa, 3. kontraksi, 4. ekspansi, 5. gerakan lokalis. Jenis gerakan adalah jenis realitas yang menghitung perubahan yang dialami substansi.

Universal
Kategori keempat adalah esensi universal. Esensi universal menghitung kesamaan yang ditemukan dalam substansi, kualitas atau perbuatan. Empat ekor sapi, empat buah berwarna merah, dan empat kali gerakan ke atas, masing-masing memiliki kesamaan dalam esensi universal yakni sapi, warna merah, gerakan ke atas. Kesamaan tersebut dianggap sesuatu yang objektif masuk di dalamnya hal individual yang benar-benar sama dengan kualitas. Alasannya bahwa keempat ekor sapi tersebut semuanyadapat dikenal sebagai sapi bahwa hal tersebut terbagi dalam esensi yang sama atau kodrat dari “sapi”. Esensi tersebut adalah universal. Hal tersebut memungkinkan orang membentuk konsep-konsep kelas (klasifikasi) dan menetapkan hal-hal individual kelas yang benar.

Partikularitas
Kemampuan menangkap objek secara partikular dan membedakan objek pada kategori partikularitas, yang termasuk objek yang ditangkap. Secara berkelanjutan penginderaan dan aktivitas mental, objek-objek partikular ditangkap. Banyak hal tidak mempunyai karakter yang membedakan dari yang lain, tidak ada alasan sesuatu ditangkap sebagai yang partikular. Semua ini ditangkap sebagai partikular yang berbeda, ada beberapa pondasi yang membedakan semua ini dalam realitas. Oleh karena itu, partikular ada dalam realitas.

Inherensi
Kategori dari inherensi merupakan refleksi fakta bahwa semua hal berbeda, contohnya: substansi, kualitas, perbuatan, dan lainnya yang nampak sebagai satu kesatuan. Untuk itu, ukuran dari objek, warna dari objek, sifat dari objek dan partikularitas objek sebagai objek. Semua muncul secara menyeluruh sehingga kita berpikir tentang suatu hal yang muncul, daripada sebuah kumpulan banyak hal yang muncul di depan kita. Keseluruhan itu berinherensi pada tiap bagiannya: kendi dalam tanah liat, pensil dalam kayu, dan lainnya. Dasar kesatuan jenis berbeda dari berbagai hal dalam substansi, seperti kategori itu mempunyai pondasi dalam realitas. Inherensi tidak dapat direduksi dalam berbagai jenis dari sesuatu, hal tersebut dikenal sebagai suatu jenis yang bebas dari realitas.

Noneksistensi
Penambahan jenis-jenis dari objek yang dapat diketahui ini, Vaisheshika mengenal kategori yang disebut noneksistensi. Noneksistensi bisa nampak sebagai suatu realitas jenis yang asing, eksistensinya tidak dapat ditanyakan, berdasarkan Vaisheshika, pertanyaan ini bertanya dengan tujuan memberi sugesti mengenai hal yang tidak ada. Hal ini ditanyakan guna mengafirmasi kategori noneksistensi itu. Argumen pokokuntuk mengklaim noneksistensi sebagai sebuah kategori bahwa hal tersebut tidak mungkin tanpa negasi.
Kategori eksistensi menetapkan penemuan berbagai jenis hal yang ada, menurut Nyaya dan Vaisheshika. Nyaya meletakkan perkembangan khusus dalam diri yang mengetahui, mengingat Vaisheshika mengembangkan jenis ada sebagai objek pengetahuan.

Penahu
Nyaya menyatakan mengenai diri yang kenal subjek adalah suatu substansi unik. Kualitas-kualitas substansi merupakan diri adalah: pengetahuan, perasaan (feeling), dan kemauan. Berdasar dengan itu, diri diidentifikasikan sebagai suatu substansi kualitas dari kemauan, keengganan, kesenangan, luka, dan lainnya diwariskan bagi semua pengetahuan, perasaan, dan kemauan. Tidak ada satupun diantara hal tersebut adalah kualitas fisik, sebab hal tersebut tidak dapat ditangkap sebagai kualitas fisik oleh indera. Hal itu termasuk substansi lain dari substansi fisik, menurut Nyaya.
Diri dibedakan dari objek fisik, sensasi, kesadaran, dan pikiran (the mind), sebab diri mengalami semuanya sebagai objek pengetahuan. Seseorang mungkin bertanya: siapa yang mengetahui realitas, siapa yang menangkap, siapa yang sadar, dan lainnya? Pada setiap kasus, jawaban yang diberikan adalah diri. Sebab segala sesuatu yang lain menjadi objek diri, namun objek sebagai objek memerlukan suatu subjek yang menjadi objek. Berdasarkan penjelasan tersebut, diri tidak menjadi objek. Tidak juga untuk alasan yang sama, hal tersebut identik dengan segala sesuatu yang menjadi objek, contohnya pikiran dan tubuh, sebab diri didefinisikan sebagai objek.
Diri adalah substansi unik dan kesadaran termasuk kualitas, diri tidak mendasarkan pada eksistensi kesadaran. Kenyataannya berdasarkan Nyaya kebebasan tertinggi atau kemerdekaan merupakan kemerdekaan kesadaran. Alasan terhadap hal tersebut adalah bahwa kesadaran nampak sebagai kesadaran terhadap suatu hal. Hal tersebut diduga sebuah dualitas antara subjek dan objek. Ketika terdapat suatu dualitas, penderitaan dan perbudakan adalah suatu hal yang mungkin, sebab subjek dikelilingi objek dan dibuat menderita. Untuk menghilangkan penderitaan dan perbudakan, dualitas harus dihilangkan. Hal ini dilakukan dengan menghilangkan penderitaan kesadaran. Jika diri secara esensial adalah kesadaran, hal ini artinya mematikan diri. Kesadaran hanya karakterdari diri, diri tidak dapat dihancurkan ketika kesadaran dihilangkan. Diri ini tidak diturunkan dan tidak direduksi menjadi hal lain dari diri sendiri. Kesimpulan dapat kita katakan bahwa diri dalam keadaan merdeka adalah suatu hal yang sederhana dari diri.

PENUTUP: CATATAN KRITIS
Filsafat Nyaya Vaisheshika
Sejarah perkembangan filsafat India berkaitan erat dengan perkembangan semangat religius orang India. Semangat religius dalam Hinduisme berkembang terus mulai dari animisme, politeisme, sampai pada panteistik dan monistik.
Perkembangan filsafat India dalam Wedanta seperti menjadi puncak perkembangan religius India. Dalam aliran filsafat ini, muncul pandangan teistik. Ini merupakan suatu perkembangan yang ada dalam filsafat India. Pada aliran filsafat ini (Wedanta), mereka menemukan “adanya” realitas tertinggi dalam dunia yang mereka sebut dengan Brahman. Brahman ini kemudian mempribadi dalam wujud yang berbeda dalam bentuk dewa-dewi sesuai dengan konteks umat yang memujanya. Akan tetapi yang jelas mereka mengakui bahwa Brahman itu hanya satu. Dia adalah “Tuhan”.

TAFSIR EF 2:1-10

PERALIHAN HIDUP DAN KEUTUHAN HIDUP
DALAM KRISTUS
EF 2:1-10

By. Antonius Agus Sumaryono

I. Pengantar
Dalam Efesus ini gambaran yang dibawa adalah mengenai Gereja Universal. Bab dua ini dibagi dalam dua perikop. Bab 2:1-10 berisi tentang peralihan hidup dari kehidupan lama kepada kehidupan baru dalam Kristus, sedangkan bab 2:11-22 berisi tentang keutuhan hidup dalam jemaat.

II. Analisa Teks 2:1-10
Kamu dahulu mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu (ayat 1). Penulis Efesus pertama-tama ingin mengingatkan pembacanya bahwa mereka sekarang hidup dalam kegembiraan kristen dan memperoleh hak istimewa dari hidup kristen. Mereka diingatkan apa yang telah dirasakan sebelum menjadi kristen. Sekarang, mereka digambarkan bahwa hidup lama sebagai satu tindakan dari kematian. Mereka telah mati karena kesalahan dan dosa (traspasses, paraptõma) dan (sin, hamartia). Konsekwensi dari dosa adalah mati yang mana hidup manusia mengarah kepada sesuatu yang dapat disebut “mati”[1].
Kematian adalah satu gambaran yang tepat dari akibat dosa. Menurut Paulus tiap-tiap orang berdosa adalah orang “mati”, karena hubungannya dengan Allah telah dirusak.[2] Kata kematian dipakai sebagai kiasan dari perubahan hidup rohani dan moral. Paulus ingin menghidupkan kembali dari kematian atau disebut sebagai peralihan (transformed). Peralihan dari mati ke hidup yang dihasilkan dalam kehidupan mereka telah disempurnakan oleh karena Kristus. Hidup adalah kekayaan kesadaran baru dari kebaikan dan semua itu memperoleh kepenuhannya dalam Kristus.
Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka (ayat 2). Kesalahan dan dosa digambarkan sebagai suatu peristiwa yang berjalan dalam dunia. Maksud dari ayat ini ditujukan kepada orang non Yahudi, yang mana mereka masih percaya pada dewa penguasa lain (penguasa dunia). Dewa bangsa Yunani yang mereka sebut aiõn digambarkan sebagai seorang penguasa kekuasaan udara. Kata udara ini digunakan untuk mengindikasi ruang antara bumi dimana manusia tidak patuh dan berdosa dengan surga di mana Tuhan berkuasa dengan otoritas yang tidak diragukan. Dalam zaman kuno, udara sebagai kekuasaan dari bermacam-macam roh, diantaranya roh iblis. Aiõn ini berupa roh yang bekerja di dunia dalam anak yang tidak patuh, sedangkan dalam tradisi Yahudi anak yang tidak patuh diungkapkan dengan arti orang yang tidak patuh kepada Tuhan.
Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain (ayat 3). Arti dari ayat ini mempunyai karakteristik bahwa mereka hidup dalam penderitaan daging, karena mereka hidup di dalamnya. Mereka dipaksa hidup seperti sebelum kekristenan, artinya hidup dalam ketidakpatuhan. Kadangkala dalam Perjanjian Baru khususnya tulisan Paulus, kata daging digunakan dalam satu cara alami yang diartikan dalam aspek fisik dari kodrat manusia. Paulus menuliskan itu untuk menggambarkan dasar hukum kodrat yang mana dengan mudah menentang hukum Tuhan dan bersekutu dengan setan. Di sini, penulis Efesus berkeinginan untuk menegaskan bahwa dosa-dosa nafsu daging telah merasuk ke dalam tubuh dan pikiran.
Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita (ayat 4). Di sini, Allah digambarkan dengan dua sifat yakni kaya belaskasihan dan penuh cinta. Rahmat merupakan satu kata yang beberapa kali dipakai oleh penulis Efesus untuk menggambarkan keramahan Tuhan kepada siapa saja yang pantas menerimanya. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah adalah Maha Kasih dan kaya rahmat. Penekanan penulis Efesus ini yakni bagaimana kebesaran Allah yang kaya rahmat itu sangat mencintai manusia sebagai orang yang berdosa. Oleh karena itu, manusia memperoleh rahmat yang melimpah karena Allah sebagai sumber segala rahmat dan kasih mau mengampuni kita, orang-orang yang berdosa.
Telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita oleh kasih karunia kamu diselamatkan dan di dalam Kristus Yesus, Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di surga (ayat 5-6). Di sini Allah menunjukkan kebesaranNya dengan menghidupkan Kristus yang mati karena kesalahan-kesalahan kita. Rahasia keselamatan Allah melalui Kristus adalah wujud dari kasih Allah seperti yang telah ditulis dalam ayat sebelumnya. Allah telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus. Kristus telah dihidupkan oleh Allah supaya Ia ditinggikan begitu pula dengan kita. Hidup baru adalah keselamatan atas dasar rahmat. Tuhan menghidupkan kita bersama dengan Kristus yang bangkit dengan kita dan mendudukkan kita dalam Kerajaan Surga. Kata “made to sit” sulit untuk ditafsirkan karena kata ini dalam bentuk lampau. Kata yang serupa dalam Injil memakai bentuk akan datang (Luk 22:30; Mat 19:29). Yakobus dan Yohanes meminta untuk duduk di sebelah kiri dan kanan Yesus bila Ia datang sebagai Raja. Hak duduk dalam Kerajaan Surga merupakan hak khusus hanya untuk Tuhan, tetapi semua itu dijanjikan kepada kita yang percaya kepadaNya.
Supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus (ayat 7). Banyak ahli menuntut bahwa dalam konteks ini masa yang akan datang harus diartikan salah satu kehidupan setelah mati, atau dimulai ketika masa sekarang berakhir dengan kedatangan kedua Kristus. Kedatangan kedua Kristus sebagai pembuka dalam masa yang akan datang. Paulus melihat wajah Gereja sebagai satu kelanjutan tugas di atas dunia. Hal ini adalah bagian penting dari penulis bahwa penulis tidak hanya menghadirkan kembali esensi pengajaran dari Paulus tetapi dimana format pengajaran ini tidak lagi dapat digunakan untuk merubah waktu, penulis hanya menafsikan ulang atas teks ini.
Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya (ayat 8-10). Tiga ayat ini adalah satu kesimpulan yang mengilhami dari teologi Paulus. Keistimewaan utama dalam ayat ini adalah keselamatan, Allah mempunyai bagian dalam keselamatan manusia. Dalam Efesus, keselamatan termasuk satu kata yang mencakup banyak makna Paulus mengartikannya dalam beberapa pernyataan antara lain sebagai pembenaran, pendamaian, pengangkatan dan lain-lain. Demikian juga apa yang Paulus katakan tentang pembenaran dalam Roma. Penulis mengatakan tentang keselamatan sebagai berkat karunia iman, kita diselamatkan.
Keselamatan bukan semata-mata hasil usaha kita tetapi suatu pemberian dari Allah. Itu semua dikerjakan oleh Allah, Allah memberi dari permulaan sampai pada akhir. Oleh karena itu orang diharapkan untuk tidak memegahkan diri sendiri karena semuanya itu adalah pekerjaan Allah. Penegasan atas keselamatan dalam hal ini adalah hidup dalam iman yang diciptakan oleh Kristus Yesus. Banyak komentator mempunyai pendapat bahwa kata pemberian di sini diartikan untuk menggambarkan iman membawa kepada keselamatan.
Penulis menegaskan kembali bahwa segala sesuatu tentang keselamatan ini adalah sebagai pemberian Allah. Kita tidak selamat oleh pekerjaan kita sendiri tetapi kita diselamatkan karena pekerjaan yang baik. Pekerjaan yang baik digambarkan sebagai tindakan yang mana Allah telah mempersiapkan sebelumnya, bahwa kita akan berjalan dalam pekerjaan Allah.

III. Analisa Teks 2:11-22
Perikop kedua (2:11-22) terbagi dalam tiga bagian yaitu:
1. Situasi sebelum Kristus - keterpisahan dan perseteruan (2:11-12)
2. Perdamaian oleh darah Kristus (2:13-18)
3. Persatuan dalam jemaat (2:19-22)
1. Situasi sebelum Kristus – keterpisahan dan perseteruan
Dalam perikop ini Rasul Paulus mengawali frase ini dengan kata” karena itu”, untuk menyatukan perikop sebelumnya di mana para pendengarnya sebagai seorang Kristen telah menerima dan mengalami segala kebaikan Allah, seperti telah tertulis dalam Ef. 1:3 - 2:10. Rasul Paulus juga mengajak pendengarnya untuk mengingat kembali akan keadaan mereka di masa lampau, ketika mereka belum menjadi warga Keluarga Allah. Hal ini dikatakan oleh Paulus untuk mengajak mereka mensyukuri akan segala Kasih Allah yang saat ini mereka rasakan. Ada dua situasi yang menggambarkan hidup mereka di masa silam, yang kini semua itu telah diperdamaikan oleh Kristus. Dua situasi itu adalah: a). Relasi mereka dengan orang-orang Yahudi yang menyebut mereka “orang-orang tak bersunat” (2:11), yang membawa mereka kepada jurang keterpisahan dan perseteruan. b). Bahwa hidup mereka tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel, tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, hidup tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia (2:12).
a) Sunat menurut orang Yahudi adalah tanda istimewa, tanda perjanjian Allah dengan umatNya, tanda yang menjadikan mereka umat Allah dan milik Allah. Menurut orang Yahudi hanya mereka sajalah umat Allah itu (karena tanda sunat yang mereka lakukan), sedangkan orang-orang tak bersunat bukan termasuk umat Allah. Oleh karena itulah Orang Yahudi memandang rendah mereka yang tidak bersunat. Sebutan “tak bersunat” itulah yang membuat mereka terpisah dengan orang Yahudi dan terjadi perseteruan di antara mereka. Akan tetapi Paulus mengkritik tanda sunat yang menjadi kebanggaan Orang Yahudi itu, dengan menegaskan bahwa semua itu hanyalah tanda lahiriah belaka yang dikerjakan oleh tangan manusia. Bahkan dalam suratnya kepada jemaat lain, Paulus dengan tegas menyatakan bahwa sunat yang sejati bukanlah yang bersifat lahiriah dan jasmani, tetapi sunat yang secara rohani yaitu sunat di dalam hati. (Rm.2:28). Dalam Flp. 3:3 Paulus meneguhkan iman orang-orang Kristen, baik Yahudi maupun non Yahudi bahwa merekalah orang-orang bersunat, yang beribadah oleh Roh Allah dan bermegah dalam Kristus Yesus dan tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah”.
b) Situasi kedua yang telah diubah oleh Kristus adalah hidup mereka di dunia ini. Sebelumnya hidup mereka digambarkan sebagai hidup tanpa Kristus, yang artinya bahwa mereka tidak memiliki siapapun untuk bergantung. Karena mereka bukan orang Yahudi, mereka bukan termasuk orang yang bersunat, sehingga dengan demikian mereka tidak mendapatkan bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan. Hidup mereka dikatakan juga tanpa harapan dan tanpa Allah. Harapan dalam arti hidup sesudah kematian (tanpa masa depan), sebab bagi mereka yang tidak mengenal kebangkitan, kematian merupakan suatu keputus-asaan. Hidup tanpa Allah di dunia ini artinya bahwa mereka hidup tanpa iman akan Allah yang menopang hidup mereka seperti sekarang ini.
Semenjak mereka menjadi Kristen, hidup mereka diperdamaikan dari situasi permusuhan dan dari situasi kesendirian yang tanpa harapan. Mereka dibebaskan dari segala situasi yang tidak memberi janji yang pasti.

2. Perdamaian oleh Darah Kristus. (2:13-18)
Tetapi situasi yang dahulu itu sekarang tidak ada lagi. Mereka sekarang hidup dalam situasi yang lain, suatu situasi yang sama sekali baru, yakni suatu situasi hidup “di dalam Kristus Yesus”. Dialah yang menciptakan perubahan situasi itu. Oleh Dia atau lebih tepatnya oleh darah-Nya, mereka yang dahulu jauh sudah menjadi dekat. Yang dimaksud dengan oleh darahNya adalah lewat kematian-Nya di salib.
Oleh Paulus, Yesus disebut sebagai “Damai sejahtera” (2:14), karena Ia telah menjadi pendamai manusia, damai dengan Allah dan damai dengan sesama kristen apapun suku bangsanya. Tembok perseteruan antara dua bangsa telah dirubuhkanNya. Tembok pemisah dalam arti metafor yakni suatu pola pikir dan penafsiran yang salah, yang membawa dua suku bangsa hidup dalam permusuhan, saling curiga dan membenci satu sama lain, khususnya antara Yahudi dan orang-orang kafir. Permusuhan inilah yang telah dilebur oleh Kristus, sehingga sekarang antara Yahudi dan orang kafir bersatu dalam persahabatan yang luar biasa. Melalui kamatianNya, Kristus juga telah membatalkan hukum taurat dengan perintah-perintah dan peraturannya sebagai hal yang menentukan. Tujuan dari melakukan itu adalah untuk menciptakan ciptaan baru dalam diriNya dari dua kelompok, Yahudi dan bangsa lain (2:15). Dengan cara demikian, malalui salib, Ia mendamaikan keduanya kepada Allah dalam satu tubuh, dengan menghilangkan permusuhan diantara mereka (2:16). Tubuh yang satu ini merupakan sebuah istilah yang menunjuk baik kepada tubuh jasmani Kristus yang dibunuh, dan kepada tubuhNya, Gereja yang terdiri dari bangsa Yahudi dan bangsa lain. Maka dari itu, dengan kedatanganNya dan dengan tindakanNya, Ia memaklumkan kedamaian baik kepada bangsa Yahudi yang dekat dan bangsa lain yang berada jauh (2:17). Akibatnya, keduanya dapat mendekati Bapa dalam satu Roh (2:18).

3. Persatuan dalam Jemaat (2:19-22)
Ketika umat Allah hanya terdiri dari orang-orang Israel, orang kafir tidak termasuk di dalamnya. Mereka disebut sebagai orang asing. Akan tetapi sekarang, umat Allah itu adalah komunitas umat Kristiani yang baru, di mana orang Kristen kafir juga termasuk di dalamnya. Sejak dipersatukan oleh Kristus Yesus mereka bukan lagi orang asing melainkan kawan sewarga dengan orang-orang kudus dan menjadi anggota Keluarga Allah (2:19). Keluarga Allah itu dibangun atas dasar para rasul dan para nabi dan Kristus Yesus adalah batu penjurunya. Para Rasul di sini tidak terbatas pada kedua belas rasul Yesus, karena Paulus yang tidak termasuk kelompok ini tetap sebagai rasul. Para nabi tidak menunjuk pada tokoh-tokoh Perjanjian lama melainkan kepada sekelompok orang Kristen tertentu yang pelayanannya masih dinyatakan dalam karya-karya Kristen lama sesudah semua rasul meninggal. Kristus Yesus disebut sebagai batu penjuru GerejaNya. Arti dari kata Yunani akrogoniaios yang diterjemahkan sebagai batu penjuru ini telah menjadi bahan perdebatan yang serius. Kata batu penjuru ini terdapat hanya sekali dalam Septuaginta yaitu dalam Yes. 28:16, dan di situ kata itu memiliki arti yang jelas yaitu suatu batu yang menempati tempat yang penting dalam pondasi bangunan. Akan tetapi lepas dari arti itu, setiap ahli mengambil kata itu untuk arti yang berbeda-beda menurut bidang mereka masing-masing. Ada yang mengartikan bahwa batu penjuru itu adalah batu yang memahkotai suatu bangunan (menurut Jeremias), ada pula yang mengartikan sebagai batu yang berada di puncak pyramid atau tugu, yang diletakkan paling akhir, sebagai pengunci dari keseluruhan struktur bangunan. (dalam leksikon Patristik Yunani). Bagaimanapun juga, batu penjuru yang dimaksud dalam Efesus ini adalah batu penjuru dari suatu pondasi, dan bukan puncak dari monumen, batu terakhir yang membuat suatu bangunan sempurna.
Gereja Yesus Kristus adalah Gereja yang kuat dan langgeng (abadi), yang tetap mampu bertahan dalam lajunya waktu, jika Gereja itu tetap dibangun dalam garis yang tetap mengacu pada Kristus sebagai batu penjurunya. Gereja Kristus yang walaupun terdiri dari bermacam-macam jemaat lokal, semuanya tetap berdasar pada kebenaran melalui para rasul dan para nabi dan bersatu dalam segala hal yang mereka kerjakan dan tetap berpihak pada Yesus Kristus maka Gereja itu akan tetap tumbuh dan berkembang, menjadi suatu bangunan bait Allah yang kudus. Dalam Kristus, para pembaca bukan Yahudi ini dibangun menjadi kenisah yang kudus juga, tempat Allah bersemayam.










DAFTAR PUSTAKA

Sumber Utama
Mitton, C. Leslie, The New Century Bible Commentary Ephesian, London:, 1976.
Sumber pendukung
Abbott, T.K, A Critical and Exegetical Commentary on Epistles to the Ephesians and to the Colossians, Edinburgh: International Critical Commentary, 1897.
Abineno, J.L.CH., Dr., Tafsiran Alkitab – Surat efesus, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.
Barclay, William, Pemahaman Alkitab setiap Hari: Surat-surat Galatia dan Efesus, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Bergant, Dianne, CSA., dan Robert J. Karris, OFM. (eds), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005.
Bruce, Frederick Fyvie, The Epistle to The Ephesians, California: W.B. Eerdmans Published, 1984.
Foulkes, Francis, MA., Tyndale: The New Testament Commentaries,The Epistle of Paul to The Ephesians An Introduction and Commentary, England: Inter-Varsity Press, 1983.
Köningsmann, Josef, Dr., SVD, Tafsiran Surat kepada umat di Galatia, Surat kepada orang kudus di Efesus, Injil Markus, STFTK Ledalero, 1979.
Robinson, Joseph Armitage, St. Paul’s Epistle to The Ephesians, London: McMillan & Co,1904.

[1] Kata “mati” yang dimaksud bukan mati secara fisik tetapi mati rohani, karena latar belakang jemaat yang dituju adalah berkebudayaan Yunani, sehingga masih dipengaruhi oleh alam pemikiran Platonis yang kuat.
[2] Bdk. Dr. Josef Köningsmann, SVD, Tafsiran Surat kepada umat di Galatia, Surat kepada orang kudus di Efesus, Injil Markus, STFTK Ledalero, 1979, hlm. 88.