Sabtu, 07 Februari 2009

TINDAKAN BEBAS SEBAGAI KEBEBASAN SUARA HATI

(Tinjauan Moral Kristiani)

By. Antonius Agus Sumaryono

I. Pengantar
Setiap orang mempunyai kebebasan bertindak untuk mengekspesikan suara hatinya. Suara hati merupakan pusat eksistensi manusia sebagai pribadi dan prinsip tanggung jawab moral. Orang seharusnya mematuhi perintah suara hati. Prinsipnya bahwa suara hati adalah piranti dalam diri manusia, dan suara hati itu adalah ”suara” dari tindakan atau perbuatan moral.[1]
Dalam suara hati, manusia menemukan suatu ajaran yang membawa dirinya kepada suatu tindakan atau perbuatan. Oleh karena itu, suara hati manusia juga merupakan suatu tempat untuk menilai, menimbang dan memutuskan suatu tindakan atau perbuatan moral. Suara hati adalah sebagai suatu kesanggupan moral untuk menerapkan prinsip-prinsip moral dalam keadaan tertentu yang dihadapi oleh seseorang.
Manusia didorong untuk menghargai keputusan tindakan atau perbuatan manusia yang lain karena semua itu bersumber dari suara hati. Suara hati manusia bersifat “bebas”[2]. Suara hati merupakan kemampuan moral untuk dapat mengatakan bahwa secara subjektif seseorang dapat mengetahui apa yang baik dan yang jahat dan apa yang menjadi kewajiban moralnya.
Akan tetapi, prinsip suara hati sebagai piranti dalam diri menusia dan sebagai “suara” dari tindakan moral kerap kali dihadapkan pada “kekeliruan” suara hati sehingga membawa manusia pada suatu suasana yang tidak bebas. Yang menjadi pokok persoalan adalah, sejauh mana tindakan seseorang dapat dibenarkan secara moral? Bagaimana pandangan kristiani melihat tindakan moral seseorang? Dan apakah suara hati itu bisa salah? Dan sejauh mana kebebasan suara hati? Penulis ingin membahas beberapa pertanyaan tersebut dengan menjelaskan bagaimana tindakan moral dapat dibenarkan dan sampai sejauh mana kebebasan suara hati.
II. Tindakan Moral
2.1. Arti Umum
Secara umum tindakan moral berkenaan dengan ajaran tentang tatanan nilai. Tindakan moral dipahami sebagai suatu ajaran baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap, akhlak, budi pekerti, susila, dll. Semua perilaku seseorang dapat dibenarkan berdasarkan dari nilai baik dan buruk sesuai dengan norma-norma yang ada dalam tatanan masyarakat. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.[3]

2.2. Arti Khusus
Dalam artian khusus tindakan moral adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dilihat berdasarkan suara hati untuk mencapai suatu kesempurnaan. Moralitas mendapat wujud nyata yang subjektif dan pribadi dalam konteks suara hati.[4] Jadi, tindakan dan keputusan dikaitkan dengan suatu konteks makna hidup yang diyakini manusia.

III. Pandangan Kristiani tentang Tindakan Moral
3.1. Tindakan Moral menurut Kitab Suci
Di dalam Kitab Suci, kita banyak mendapatkan pesan dan makna moral bagi kehidupan para pengikutnya. Kitab Suci merupakan sumber inspiratif moral. Peringatan moral melalui Kitab Suci terjadi secara langsung, karena semua pesan moral yang terkandung didalamnya memberikan kebebasan suara hati dari manusia. Kitab Suci sebagai sumber utama nilai-nilai dasar, kebajikan-kebajikan dan visi yang memberikan jati diri bagi orang Kristen.[5]
Allah memanggil manusia untuk bersekutu dengan-Nya dan memenuhi kehendak-Nya. Sebagai jawaban atas panggilan itu Allah memberikan kebebasan dalam suara hati manusia untuk menanggapinya. Kebebasan suara hati manusia ini merupakan sikap yang fundamental dan mempunyai sifat yang universal. Sabda Allah dalam Kitab Suci mempunyai sasaran yang sama dan bertujuan dalam penentuan nasib manusia.
Keputusan moral menuntut kesiagaan mendengarkan kehendak Allah. Perjanjian Lama merumuskan kehendak Allah dalam perintah-perintah Allah (Kel 20:1-17). Pemazmur mengatakan bahwa Allah sudah mengetahui dan menyelami lubuk hati manusia (Mzm 139), sebelum manusia mengeluarkan perkataan Allah telah mengetahuinya. Suara hati merupakan saksi dari nilai moral tindakan manusia (Ayb 27:6). Suara hati adalah sumber dari segala hukum Allah supaya manusia bertindak sesuai dengan kesusilaan. Perjanjian Baru menawarkan keselamatan melalui Putera Yang DikasihiNya (Mat 7:14, 11:10, 14:28, Luk 1:69-71, 77; 2:11, 2:30, 3:6). Petunjuk-petunjuk menyangkut jalan hidup didalam Kitab Suci berupa kiblat moral. Dalam dimensi religius suara hati dilukiskan sebagai suara Allah. Pengetahuan akan tujuan eksistensial manusia dan tuntutan-tuntutan utama moral disimpulkan dari pengetahuan yang dirujuk kepada keaslian atau kemurnian suara hati.
Dalam Perjanjian Baru, ditemukan pula teks-teks yang berkenaan dengan suara hati dan tindakan moral. Pada satu kesempatan, Yesus mencela kaum Farisi yang hanya mengajarkan tindakan moral, tetapi mereka sendiri tidak melakukannya (Luk 11:46). Pada kesempatan lain, Yesus memberikan pengertian yang mendalam perihal suara hati. Hati nurani bukanlah perintah lahiriah melainkan bagaimana kita menghayati dalam batin manusia (Mrk 7:21). Tuntutan utama Yesus adalah harus ada keharmonisan dalam batin.
Dalam Kisah Para Rasul, Paulus mengetuk “moral” orang-orang Yunani dalam kotbah misionernya di Athena yang juga bertalian dengan suara hati. Dalam perjalanannya ke Athena, Paulus memberikan suatu gambaran konkrit perihal keadaan orang-orang Athena. Dalam segala hal orang-orang Athena sangat beribadah kepada dewa-dewa. Paulus menunjukkan keheranan kepada orang Athena yang melakukan penyembahan kepada allah yang tidak mereka kenal (Kis 17:23). Bagaimana mungkin mereka menyembah kepada allah yang tidak mereka kenal? Pada titik ini, moralitas Yunani -yang dipengaruhi oleh filosofis- mulai bertanya-tanya dengan suara hatinya. Optio Fundamentalis[6] orang-orang Yunani mulai terusik dengan pernyataan Paulus. Dalam hal ini Pualus memberikan satu pencerahan baru.

3.2. Pandangan Ajaran Gereja (KV II)
Dokumen Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes (GS) 16 menegaskan bahwa suara hati adalah inti yang paling rahasia dan tempat suci manusia. Di sana ia berada sendirian dengan Allah. “Suara” yang bergema dalam lubuk hatinya. Dengan kata lain bahwa suara hati adalah suara Allah yang mengontrol tindakan atau perbuatan manusia. Suara hati yang adalah suara yang mengandung suatu unsur kebenaran.
Konsili Vatikan II menyoroti suara hati adalah untuk mengemukakan bahwa gambaran suara hati adalah suatu tempat pertemuan antara manusia dengan Allah. Suara hati merupakan nilai yang luhur dari martabat manusia. Dalam suara hati manusia dapat menemukan satu kemungkinan untuk berdialog yang mujarab dengan siapapun dalam proses mencari kebenaran moral. Kesalahan yang terjadi pada manusia bukan karena suara hati yang salah melainkan suara hati tidak sanggup memberitahukan tingkah laku lain bahwa itu tindakan atau perbuatan yang salah.
Pedoman dan petunjuk untuk pembentukan suara hati diberikan dalam magisterium Gereja (Dignitatis Humanae 14). Hal ini sangat berkaitan langsung petunjuk Magisterium Gereja Katolik dan berlaku secara otoritas religius dan sosial dengan suatu rumusan tuntutan moral dan memberikan kiblat moral.[7] Ajaran Magisterium menjadi bantuan bagi pengembangan iman kristiani untuk mengetahui bentuk kehidupan iman kristiani. Otoritas gerejani ini tidak identik dengan Kristus dalam penilaian bahwa suara hati harus tunduk kepada penilaian otoritas agama. Dalam artian bahwa Suara hati manusia yang bertentangan dengan ajaran Gereja itu bersalah, tetapi setiap manusia harus berhati-hati dalam bersikap.[8] Manusia dikatakan bersalah karena menjalankan tindakan atau perbuatan yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu Magisterium mengajarkan ini dengan konsekuensi manusia tunduk kepada tata susila berdasarkan dalam terang kebenaran.
Pernyataan Konsili mengenai kebebasan suara hati sebagai sikap pribadi atau hakekat manusia. Konsili mempunyai tujuan untuk memperjuangkan martabat manusia sebagai pribadi. Martabat itulah yang menuntut bahwa manusia “bertindak berdasarkan pandangan sendiri, pengertian sendiri, atas kesadarannya sendiri akan tugas kewajibannya, tidak lagi di dorong oleh paksaan atau anjuran yang seringkali dibawa dari luar.[9]

IV. Apa Suara Hati bisa Salah?
Suara hati adalah kesadaran seseorang dalam menjalankan kewajibannya. Suara hati mempunyai tugas sebagai penilaian moralitas perilaku seseorang. Bagaimana seseorang bisa dikatakan benar dan salah dalam memutuskan suara hati secara moral?
Suara hati secara rasionalitas bukanlah sebatas benar dan salah. Suara hati pada hakikatnya merupakan masalah perasaan, dan masalah perasaan tidak dapat disebut benar atau salah.[10] Misalnya seorang ibu sedang mengandung tetapi setelah diketahui bahwa janin yang dikandungnya mengandung resiko. Maksudnya, jika janin dibiarkan akan membahayakan keselamatan si ibu dan di lain pihak jika diangkat janin akan mati. Dalam hal ini secara medis berhadapan dengan dua pilihan dan harus diambil salah satu, sedangkan secara moral mengakhiri hidup manusia itu suatu tindakan yang tidak bermoral.
Dalam hal ini, suara hati dokter yang menjadi persoalan moralnya. Secara moral si dokter berada dalam situasi yang sulit yakni melakukan perbuatan dengan akibat ganda. Yang dimaksud prinsip perbuatan dengan akibat ganda adalah perbuatan positif tidak boleh lewat sarana negatif sebagai jalan untuk pemecahan kasus.[11] Posisi dilematis ini membawa dokter untuk mengikuti suara hatinya. Dalam persoalan moral masalah yang berakibat ganda ini, dokter dapat mengambil keputusan yang membawa akibat paling kecil (minus malum), tetapi dokter juga harus menghargai keputusan yang akan diambil oleh si ibu. Maksudnya, apabila si ibu tetap mempertahankan bayi yang dikandungnya meskipun akibatnya si ibu harus mengalami kematian.
Jawaban atas masalah ini mempunyai dua bagian. Pertama, suara hati manusia dapat salah sedangkan Allah tidak dapat salah, maka sudah jelas bahwa suara hati tidak bisa disamakan dengan suara Allah.[12] Pernyataan ini sangat bertolak belakang dengan pernyataan dalam dimensi religius seperti yang penulis uraikan pada poin 3.1. sebelumnya. Dalam suara hati ada unsur-unsur yang tidak dapat diterangkan oleh manusia secara rasional. Suara hati merupakan suatu kesadaran insani setiap manusia. Oleh karena itu suara hati masing-masing orang tidak mutlak benar.

V. Sejauh mana kebebasan suara hati?
Arti kebebasan pada hakikatnya terdiri dalam kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan tidak menekankan pada segi bebas dari apa, melainkan bebas untuk apa. Kebebasan mendapat wujud nyata secara positif dalam tindakan seseorang yang disengaja.
Sekarang kebebasan suara hati itu yang seperti apa? Kebebasan bagi manusia pertama-tama berarti, bahwa ia dapat menentukan apa yang mau dilakukan secara fisik. Suara hati adalah kesadaran moral seseorang secara konkret. Banyak orang mengatakan kita harus berbuat seperti ini atau seperti itu, tetapi dalam hati, kita sadar bahwa hanya kita sajalah yang mengetahui suara hati kita. Jika suara hati setuju dengan pendapat moral lingkungan maka suara hati itu yang dinamakan suara hati yang bebas, tetapi sebaliknya jika suara hati kita tidak setuju dengan pendapat moral lingkungan, maka suara hati itu tidak dalam keadaan bebas.
Jadi kebebasan suara hati itu tidak mutlak benar secara moral lingkungan. Apabila suara hati kita tak dapat menyesuaikan dengan pendapat moral lingkungan, maka kita seolah-olah merasa bersalah. Arti kebebasan suara hati adalah kesadaran seseorang bahwa ia berkewajiban secara mutlak untuk menghendaki apa yang menjadi tanggungjawab dan kewajibannya, dari hal itu tergantung kebaikan sebagai manusia dalam situasi konkret.[13]

VI. Kesimpulan
Secara umum kebebasan suara hati merupakan suatu kesadaran seseorang berdasarkan tindakan moral secara universal. Maksudnya, bahwa suara hati seseorang itu memang “bebas” tetapi dalam kebebasan itu tidak dinilai secara subyektif saja. Kebebasan suara hati seseorang menuntut tindakan moral yang menjadi tolok ukur penilaian dari lingkungan masyarakat sekitarnya karena yang memberi penilaian tindakan seseorang dapat dikatakan benar dan salah adalah norma-norma yang ada di lingkungan masyarakat tersebut.
Ditinjau dari moral kristiani, kebebasan hati nurani berhadapan dengan kepribadian manusia sebagai penentu atas tindakannya. Penentuan diri manusia ini secara pribadi menuntut pertanggung jawaban di hadapan Allah. Secara umum Allah menghendaki semua manusia memperoleh keselamatan tetapi semua itu dikembalikan kepada manusia yang dengan sukarela menentukan sendiri untuk mencari Penciptanya dan mengabdi kepadaNya secara bebas dalam mencapai kesempurnaannya.

DAFTAR PUSTAKA
Chang, William Dr, OFMCap, Pengantar Teologi Moral. Yogyakarta: Kanisius ,2001.
Go, Piet, Dr, O.Carm, Diktat teologi Moral Fundamental. Malang: STFT Widya sasana, 2003.
Hadiwardoyo, AL. Purwa, MSF, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Hajon Kallix.s. SVD. Mencintai dalam kebebasan. Maumere. Penerbit ledalero, 2000.
Kieser, Bernhard, SJ, DR., Moral Dasar Kaitan Iman dan Perbuatan, Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Klein, Paul, Dr, SVD, Diktat hati Nurani, Malang: STFT Widya Sasana, 2004.
Peschke, Karl-Heinz, SVD, Etika Kristiani Jilid I Pendasaran Teologi Moral. Maumere: Penerbit Ledalero, 2003.
Schuller, Bruno, SJ., Moral Theology Vol. 3, Charles E. Curran and Richard A. McCormick, SJ, (ed), New York: Paulist Press, 1982.
Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius, 1987.

SUMBER SUMBER LAIN
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1997.
Dokumen Konsili Vatikan II, ter. Dr. J. Riberu, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI –Obor,1991.


[1] Bdk. Karl Heinz Peschke, SVD, Etika Kristiani Jilid I Pendasaran Teologi Moral, Maumere: Penerbit Ledalero, hlm. 187.
[2] Term “bebas “ dalam hal ini memaksudkan bebas memutuskan tindakan yang dianggap benar sesuai dengan keadaan Suara Hati Nuraninya. Apakah hati nuraninya tumpul, sesat, peka dll. Hal itu menjadikan persoalan yang lain.
[3] Bdk. Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 19.
[4] Bdk. Dr. Bernhard Kieser, SJ, Moral Dasar Kaitan Iman dan Perbuatan, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 144.
[5] Bdk. Karl Heinz Pesckhe, SVD, Op. Cit., hlm. 241.
[6] Optio Fundamentalis merupakan sikap dasar manusia untuk memilih secara bebas sesuai dengan keinginan suara hati dan setiap keputusan dasar seseorang tidak dapat dipaksakan, karena hal ini adalah hak setiap manusia yang paling hakiki.
[7] Bdk. Karl Heinz Peschke SVD, Op. Cit., hlm. 232.
[8] Bdk. Bruno Schuller, SJ, Moral Theology Vol. 3. New York: Paulist Press, hlm. 15. In our brief remarks about the authentic teaching of the Church’s magisterium, we shall presume the distinction of the two forms of magisterium as found in traditional theology: the infallible and the merely authentic.
[9] Bdk. Dr. Bernhard Kieser, SJ, Op. Cit., hlm. 119-120.
[10] Bdk. Franz Magnis Suseno, Op. Cit., hlm. 64.
[11] Bdk. Piet Go, O.Carm, Diktat Teologi Fundamental, hlm. 23.
[12] Bdk. Franz Magnis Suseno, Op. Cit., hlm. 77.
[13] Ibid. hlm. 53-54.

Tidak ada komentar: