Senin, 05 Mei 2008

KESELAMATAN JIWA (Menurut Sokrates)

By. Antonius Agus Sumaryono


Pendahuluan
Filsafat Sokrates adalah suatu pencarian tentang kebenaran. Dan fokus utamanya terletak pada manusia. Kematiannya merupakan akibat dari pencariannya mengenai kebenaran. Hal ini menunjukkan satu bukti bahwa Sokrates memiliki keteguhan hati yang kuat. Kebenaran menurut Sokrates adalah bukan mengenai dunia tetapi terlebih menitik beratkan pada “Tuhan”[1]. Sikap religius ini menunjukkan bahwa Sokrates adalah orang yang beragama.


Ajaran Filsafat Sokrates
Sokrates dalam berfilsafat menggunakan metode bercakap-cakap atau dialog (dialegestia/dialegestia). Metode ini dinamakan dialektika[2]. Dengan metode ini Sokrates ingin lebih jauh memahami makna kebijaksanaan dari orang-orang yang dianggap bijaksana. Cara berfilsafat Sokrates adalah dengan mendatangi kaum Sofis[3]. Kaum Sofis adalah orang-orang yang dianggap bijaksana oleh orang-orang Yunani. Dengan metode filsafat ini Sokrates dapat menemukan cara berpikir induksi[4]. Cara berpikir ini untuk mengacu pada proses pemikiran akal budi manusia.
Dari metode berpikir itu Sokrates ingin menyelidiki apa yang dimaksud dengan kata “arete” aretê (keutamaan). Oleh kerena itu Sokrates bertanya kepada tukang-tukang, ahli hukum, dan orang yang mempunyai keahlian. Dengan jawaban-jawaban yang didapat dari mereka Sokrates suatu definisi penting untuk pengetahuan ilmiah. Definisi memberikan sesuatu yang mantap mengenai hakekat itu. Hakekat Sokrates dalam definisinya merupakan Idea.
Sokrates dalam Apology Plato mengingatkan warga negara Athena mengenai keutamaan Jiwa bukan kesehatan, kekayaan, kehormatan dan lainnya yang kurang sebanding dengan jiwa (are you not ashamed that you give your attention to acquiring as much money as possible, and similarly with reputation and honour...understanding and the perfection of your soul). Sokrates menyebutkan bahwa tujuan tertinggi manusia adalah “psikhe” psikhe (jiwa) untuk menjadi sebaik mungkin. Jiwa manusia bukanlah nafas semata-mata tetapi asas hidup manusia dalam artian lebih mendalam. Jiwa adalah inti sari manusia, hakekat manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab. Tingkah laku manusia dapat disebut baik bila manusia menurut kepada intisarinya psikhe. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Menurut Sokrates, manusia dapat mencapai kebahagiaan dengan kebajikan dan aretê. Memiliki kebajikan berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia.
Sebenarnya Sokrates ingin mengutarakan bahwa kebijaksanaan yang ada pada manusia adalah kebijaksanaan yang kecil. Kebijaksanaan yang dimaksud oleh Sokrates adalah Tuhan karena hanya Tuhanlah yang bijaksana. Kebijaksanaan manusia adalah kebijaksanaan menurut takaran manusia bukan merupakan suatu kebijaksanaan sejati. Dari kesimpulan ini dapat dikatakan bahwa Sokrates adalah orang yang sudah mengenal “Tuhan” secara lebih baik. Satu pertanda bahwa Sokrates adalah seorang filsup yang religius.
Sokrates memahami bahwa para penemu misteri memiliki makna sejati dengan memanfaatkan waktu bukan dengan gemar membuang waktu yang untuk hak yang tidak berguna. Pemikiran orang-orang Yunani berkaitan dengan jiwa adalah suatu ketakutan ketika jiwa meninggalkan tubuh pada hari kematian. Kematian bukanlah suatu yang perlu untuk ditakutkan. Pemahaman mereka bahwa jiwa yang meninggalkan tubuh adalah jiwa itu keluar ke udara dan lenyap dalam ketiadaan.
Gagasan tentang jiwa menurut Sokrates adalah memahami tubuh sebagai suatu jalinan yang dipersatukan oleh unsur-unsur panas dan dingin, basah dan kering dan semacamnya[5]. Jiwa merupakan suatu harmoni yang pas dari semua unsur tersebut. Sokrates berpendapat bahwa keutamaan hidup manusia adalah mengenai keselamatan jiwa. Ajaran Sokrates mengenai keselamatan jiwa ini merupakan suatu bukti bahwa Sokrates mempunyai pandangan tentang hidup abadi dari jiwa.
Doktrin Yunani Kuno[6] mengatakan jiwa pergi dari sini ke alam lain. Jiwa merupakan keabadian dari manusia oleh karena itu segala tindakan hendaknya diarahkan kepada hidup abadi jiwa. Jiwa manusia akan mengalami pemurnian[7] untuk mencapai suatu keabadian. Pemurnian merupakan pemisahan jiwa dari tubuh. Melalui pemurnian jiwa Sokrates adalah orang yang mempunyai kehidupan religius pemahaman yang baik mengenai “Tuhan”.


Kesimpulan
Filsafat Sokrates menitik beratkan pada keselamatan jiwa. Sokrates adalah seorang filsup yang berperilaku penuh dengan kebajikan. Ajaran Sokrates menandakan bahwa dalam kehidupan manusia bukan hal-hal duniawi saja yang paling utama tetapi juga rohani. Saya terkesan dengan sikap dan ajaran Sokrates yang mendasar dalam pemahaman mengenai “Tuhan” yang merupakan satu-satunya sumber dari kebajikan. Maka Sokrates menyadarkan orang-orang Yunani untuk mengutamakan keselamatan jiwa supaya memperoleh kehidupan abadi.


DAFTAR PUSTAKA

Asnawi, A, Matinya Plato, Yogyakarta: Bentang, 2003.

Bertens, Kess, Dr., Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1975.

Capra, Fritjof., Titik Balik Peradaban, Yogyakarta: Bentang, 1997.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Hadiwijono, Harun, Dr., Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Penerbit UI (UI Press), 1986.

Jowett, Benjamin, Declaration of Independence, Chicago: The Great Books Foundation, 1955.

Riyanto, Armada, CM, Dr., Beriman Seperti Sokrates, Malang: STFT Widya Sasana.

The Philosophy of Socrates, www.classicphilosophy.com, 23 Oktober 2005.


[1] Tuhan menurut Sokrates bukanlah Tuhan seperti yang diimani oleh orang Kristen seperti sekarang, melainkan mengarah pada “dewa” atau “dewa-dewa” yang menjadi mitos orang Yunani. Teks Apology.
[2] Dalam kutipan terkenal “theaitetos” Theaitêtos. Sokrates sendiri mengusulkan nama lain untuk menunjukkan metodenya yaitu “maieutike tekhne” Maieutikê tekhnê (seni kebidanan). Bdk. Dr. Kees Bartens, Sejarah Filsafat Yunani, hal. 87.
[3] Sebutan “Sofis” mengalami perkembangan sendiri. Sebelum abad ke V istilah itu berarti: sarjana, cendikiawan dan tukang. Pada abad IV para guru yang berkeliling dari kota ke kota untuk mengajar. Dan para guru itu meminta uang dari ajaran mereka. Dr. Harun Hadiwijono, Sejarah Filsafat Barat I, hal. 32.
[4] Metode pemikiran yang bertolak dari kaidah khusus untuk menemukan hukum yang umum. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. 2003 hal. 431.
[5] Bdk. A. Asnawi, Matinya Plato, Yogyakarta: Bentang, 2003, hal. 55.
[6] Jiwa-jiwa kita pasti berada di alam yang lain kerena mereka akan lahir lagi. Dan hal ini meyakinkan bahwa orang hidup hanya lahir dari orang mati, tetapi tidak ada bukti mengenai ini. Ibid. Hal. 25
[7] Jiwa menggunakan tubuh sebagai intrumen persepsi yakni penggunaan indra penglihatan, atau indra dengar, atau indra lain. Tetapi jiwa kembali ke dalam dirinya sendiri kemudian masuk ke alam kemurnian, dan keabadian dan alam yang tidak bisa berubah. bdk. A, Asnawi, op. cit. hal. 42-43.

Tidak ada komentar: